Sabtu, 29 September 2012

Lelaki yang Berjalan Sendiri di Tengah Riuhnya Dunia


JIKA kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.

Pujian -Pujian Pembaca:
1. Sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali.
Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai.

2. Novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat. Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.
Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan, menetap di Bali.


3. Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.
Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.


4. Dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai. Novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya.
John H. McGlynnpenerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.


5. Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.
Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.


6. Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia.
Joko Pinurbo, penyair.


7. Novel yang renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung Terbang di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini.
Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan Bukan Permaisuri.


8. Membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu. 
Oka Rusmini, novelis, tinggal di Bali.


9. Disadari atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat mencengangkan. Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya!
Sanie B Kuncorocerpenis dan novelis yang cukup dikenal di dunia tulis-menulis.


10. Arafat Nur berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois, idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik.
Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.


11. Berani, genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua.
Sandi Firly, penulis novel Lampau.


12.Burung Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!
 Benny Arnas, cerpenis.


13. Burung Terbang di Kelam Malam tentulah sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan kontemplatif!
Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


14. Novel ini berkisah tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia korban perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural yang begitu segar dan memikat. Arafat Nur menyuguhkan kepada kita sejumlah snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia dalam Burung Terbang di Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.
Nezar Patria, sarjana filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra.


15. Menghadirkan situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus menghanyutkan. Malah di tengah-tengah kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala rintangan belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat: inilah Aceh hari ini.
Iyut Fitra, penyair, tinggal di Payakumbuh.


16. Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini. Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!
Bamby Cahyadi, cerpenis.


17. Tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat berkuasa. Sudut bidik cerita novel ini cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang di Aceh, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas, dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan sastra Indonesia.
Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, tinggal di Lampung.


18. Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.
Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.

19. Cerita yang disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu tanpa terasa dengan penuh tanda tanya.
Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra, tinggil di Tangerang.


20. Tema kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.
Kiai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur.


21. Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini. Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan seusai tsunami.
Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai).


22. Pada dasarnya aku tidak suka novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam, aku tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran, membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Aku suka sekali novel ini dan tidak bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Begitu indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah aku baca. Tidak ada kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan membuatku berkali-kali terpaksa menahan napas!
Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.


23. Sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran. Arafat Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan. Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita tersentak dan tercengang. Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya, memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri!
Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia dan pencinta sastra.


24. Kalau orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki, bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra. Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati berdebar.
Nanda Feriana, mahasiswi penggemar sastra.


25. Saya harap Burung Terbang di Kelam Malam akan memenangkan banyak penghargaan. Saya juga berharap suatu saat pembaca Malaysia berkesempatan membaca novel ini karena sangat penting bagi kedua negara untuk saling mengenal karya sastranya. Bahkan, kiranya perlu juga diterjemahkan dalam bahasa lain agar pembaca di seluruh dunia bisa menikmatinya.
—Sharon Bakar, pengajar penulisan kreatif, editor, dan Dosen Senior The University College of St Mark and St John, Kuala Lumpur.


26. Ada tawaran-tawaran yang berbeda bagaimana memandang Aceh dari novel Burung Terbang di Kelam Malam. Tokoh Fais yang berprofesi sebagai seorang wartawan membeberkan dengan lugas dan terbuka tentang prilaku manusia-manusia hipokrit dan amoral yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi di negeri dengan hukum syariat yang (konon) ketat. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua itu, lewat perjalanan ambisiusnya membongkar sisi kelam tuan calon walikota—yang kemudian mempertemukannya dengan banyak perempuan—tokoh aku sesungguhnya tengah mencari dirinya sendiri, juga cinta.
Yetti A.KA, penulis buku kumpulan cerita Kinoli.

27. Melalui novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita ulung. Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.

Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita Arafat Nur berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.
Ika Yuliana Kurniasih, editor Penerbit Bentang.

       ---------------------------------------------------------

Sabtu, 15 September 2012

Lampuki: Kumis, Pesek, dan Pesong


Arafat Nur di halaman DR Sutomo, Jakarta
Oleh: Bustami Bin Arbi

JUJUR SAJA, saya bukanlah sejenis orang yang maniak membaca, apalagi untuk karya sastra berupa novel yang tebalnya sampai lima ratusan halaman. Tapi membaca Lampuki karya Arafat Nur itu jadi kepayang. Baru membaca bab pertama saja, saya langsung ingin segera melahapnya. Tulisannya sangat berani, menelanjangi yang dulunya tertutup. Buku setebal 433 halaman itu pun saya khatam dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 
Teungku Muhammad-tokoh dalam cerita adalah penutur cerita yang bijak dan objektif. Bahasa Teungku Muhammad terasa sangat dekat dan akrab dengan keseharian masyarakat Aceh jamaknya. Bicaranya tegas dan lugas. Namun bagi sebagian orang yang tak terbiasa dengan bahasa demikian, Teungku Muhammad yang guru ngaji itu tentu dianggap kasar dan tak sopan.
Teungku Muhammad bukan guru ngaji yang sekaliber ulama besar, bukan pula perantau yang sering menjumpai berbagai wajah orang. Pesek, kata itu sering disebutnya untuk serdadu pemerintah yang sering melampiaskan kegeramannya pada masyarakat saat gerilyawan menyerang pos pengamanan. Maka jangan heran, tiga kata di atas; kumis, pesek, dan pesong banyak dijumpai dalam tutur katanya.
LAMPUKI
Cuma serdadu-seradadu itu yang dilihatnya kebanyakan berhidung  pesek. Maka ia pun menyebutnya asal. Selain itu mayoritas orang Aceh lebih suka menyebut nama orang dengan sebutan tertentu, seperti untuk yang kumisnya lebat dangan sebutan Si Kumis atau si Jibral yang rupawan. Begitu pula sebutan pesong. Jadi sebutan itu bukan barang aneh untuk orang seperti Teungku Muhammad yang hidup di kampung.
Arafat Nur
Membaca Lampuki, Arafat Nur mengajak pembaca untuk mengingat peristiwa masa suram saat Aceh bergejolak. Memang dari setiap kejadian memilukan itu juga ada kisah tawa bagi korban hidup setelahnya, seperti yang terjadi setelah Waluwo dan anak buahnya menghantam dan menggiring warga seperti kawanan ternak ke Meunasah untuk diberikan penyuluhan ala budak oleh tentara-tentara kiriman pemerintah itu.
Lampuki menghadirkan tokoh cerita yang manusiawi. Misalkan Ahmadi atau Si Kumis Tebal yang mantan berandal itu kemudian berpangkat Panglima Sagoe memiliki keberanian, tapi disisi lain dia juga pengecut. Begitu pula serdadu-serdadu yang memburu pemberontak, ada sisi baik dan buruknya. 
Novel itu lebih menggigit saat  menceritakan dengan gamblang bagaimana  transaksi bisnis ganja, pengutipan pajak nanggroe dan bisnis senjata begitu merajalela saat Aceh berkecamuk. Selain itu, juga dibumbui cerita tentang hubungan gelap istri Ahmadi dengan Jibral dan Laila dengan Paijo. 
 Lampuki, cerita fiksi sekaligus bisa jadi rujukan untuk lembaran yang tak direkam dalam buku-buku sejarah. Sebagai orang yang pernah merasakan hidup di tengah kekacauan politik Aceh, apa yang diceritakan itu memang benar adanya. Buku ini menambah nikmat pembaca yang menyukai gaya penulisan Bahasa Indonesia bergaya Indonesia bagian Sumatera. Selamat untuk Bang Arafat Nur!(rameunee stories)
Meulaboh, 13 Sep 2012