Rabu, 09 Januari 2013

Latar Belakang Sejarah Ngangkang di Lhokseumawe


Oleh: Musmarwan Abdullah

KETIKA cadangan gas alam yang diperkirakan mencapai 17,1 triliyun kaki kubik yang terkandung di bawah lapik kaki orang-orang Gampong Arun ditemukan pada Oktober 1971, sejak saat itu Lhokseumawe mulai dikenal sebagai Kota Petrodollar.
Sebagai sebuah kota yang gemerlap dengan kemewahan di zaman Orde Baru di mana Aceh sedang sangsai dari kewenangan mengatur Syariah Islam-nya sendiri, wajar jika wilayah selangkangan menjadi areal pertama yang tercerabut dari kehormatannya. Terutama dari “penjaja” luar Aceh yang mededah semua ketabuan itu di sana.
Empat dasawarsa sejak itu, persisnya pada tahun 2011, terbitlah Novel “Putroe Neng” karya Ayi Jufridar, lalu diikuti Novel “Lampuki” karya Arafat Nur. Kedua novel itu ada kaitannya dengan wilayah tabu di titik sentral selangkangan, dan keduanya popular di tingkat nasional dan internasional.
Di gebang 2013, Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, menerbitkan himbauan yang melarang kaum perempuan duduk mengangkang di sepedamotor yang secara tidak langsung juga ada kaitannya dengan wilayah terhormat kaum perempuan, di mana peraturan ini juga dibicarakan di tingkat nasional dan ikut disentuh oleh sejumlah media internasional.
Terus-terang, saya tidak yakin ketiga produk sepopular itu—yang berbicara dari titik subtansi yang sama—bisa terlahir hanya di Lhokseumawe secara kebetulan semata-mata. Saya tidak yakin bila itu hanya demi sensasi belaka.
Sekarang mari kita teropong ke latarbelakang untuk dapat melihat semuanya dengan pikiran semi-ilmiah, atau mari kita coba untuk mengganti gairah perspektif kita dari “Apa Itu” menjadi “Kenapa Begitu”. Mungkin semua itu adalah jeritan bawah sadar yang telah terkungkung selama hampir setengah abad, di mana saat itu kita hanya bisa menangis melihat dekadensi moral menghantam anak-anak perempuan kita, namun kita samasekali tak punya kekuatan untuk membelanya.
Di tengah gema yang timbul akibat benturan pro-kontra terhadap himbauan Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya yang melarang perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor, seorang kawan saya sedikit menelikung mengambil jurus melingkar untuk menanggapi hal itu.
Kata dia, "Sesungguhnya kalau Syariat Islam berlaku secara kaffah di Aceh, wibawa Islam akan lebih bersinar di tingkat global, mengingat Aceh sangat terkenal di dunia bersebab Tsunami dan kemelut tarik-ulur perdamaian yang melibatkan dunia internasional dalam perang Aceh-Jakarta mutakhir."
Sambung dia, "Islam di Negara-negara Timur Tengah sudah agak gimanaaaaaaa…, gitu. Itu disebabkan media internasional banyak sekali mengekspous perilaku tak seronok para raja dan pangeran penguasa negeri-negeri Islam tersebut. Walau bagaimana, mengobok-obok aib pribadi para pemimpin negeri Islam sedikit banyak akan berpengaruh pada kewibawaan Islam itu sendiri, wallahu 'a'lam bissawab."
Burung Terbang di Kelam Malam
Lalu tambahnya, "Satu lagi; sesungguhnya kalau Syariat Islam berlaku kaffah di Aceh, dalam tempo singkat satu-persatu daerah lain di Indonesia akan mengikutinya (kecuali beberapa daerah saja). Adalah telah menjadi semacam bawaan-teretorial, sabda-bumi, ketentuan-alam atau aura-tanah bahwa sejak zaman Kerajaan Pase Aceh bagaikan telah ditetapkan oleh semesta sebagai daerah pembawa inspirasi perubahan di Nusantara."
"Nah, intinya," imbuh dia, "siapa pun yang sejak dulu hingga kini merupakan penduduk Aceh (terlepas dari suku/bangsa apa pun), maka ianya adalah orang-orang yang telah ditakdirkan untuk menjadi manusia-manusia "pok tembok" di mana meski jidatnya sendiri berdarah-darah namun semua itu adalah demi perubahan berskala Asia Tenggara."
Akhir percakapan memang agak lucu. Katanya, "Memang—sekali lagi—memang, jika Syariat Islam berlaku kaffah di Aceh mungkin sayalah orang yang paling kalang-kabut di antara yang ada, karena sejauh ini gaya hidup saya agak ugal-ugalan, nyaris tanpa aturan, semua tertelan tanpa saringan, suka korupsi dan gemar selingkuh juga. Tapi jika nanti semua sudah sepakat untuk bersyariat secara kaffah, ya, sudahlah. Saya akan ikuti, meski setahun-dua tahun tentu kelimpungan. Namun mana tahu kelak justru di situlah akan saya temui hakekat sebenarnya bahwa sesungguhnya di bawah naungan hukum Tuhan-lah hidup saya akan menjadi damai."
"Tapi, tunggu dulu," pungkas dia. "Sorry, apa mungkin Syariat Islam bisa berlaku kaffah di Aceh? Soalnya dihimbau untuk tak duduk ngangkang aja orang pada mencak-mencak."[]