Rabu, 20 Februari 2013

Komentar Mereka Tentang Novel Burung Terbang di Kelam Malam

Burung Terbang di Kelam Malam
1. Sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali.
Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai.
2. Novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat. Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.
Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan, menetap di Bali.
 3. Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.
Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.
 4. Dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai. Novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya.
John H. McGlynn, penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.
5. Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.
Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.
6. Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia.
Joko Pinurbo, penyair.
7. Novel yang renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung Terbang di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini.
Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan Bukan Permaisuri.
8. Membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu.
Oka Rusmini, novelis, tinggal di Bali.
9. Disadari atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat mencengangkan. Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya!
Sanie B Kuncoro, cerpenis dan novelis yang cukup dikenal di dunia tulis-menulis.
10. Arafat Nur berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois, idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik.
Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.
11. Berani, genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua.
Sandi Firly, penulis novel Lampau.
12.Burung Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!
Benny Arnas, cerpenis.
13. Burung Terbang di Kelam Malam tentulah sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan kontemplatif!
Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
14. Novel ini berkisah tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia korban perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural yang begitu segar dan memikat. Arafat Nur menyuguhkan kepada kita sejumlah snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia dalam Burung Terbang di Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.
Nezar Patria, sarjana filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra.
15. Menghadirkan situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus menghanyutkan. Malah di tengah-tengah kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala rintangan belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat: inilah Aceh hari ini.
Iyut Fitra, penyair, tinggal di Payakumbuh.
16. Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini. Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!
Bamby Cahyadi, cerpenis.
17. Tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat berkuasa. Sudut bidik cerita novel ini cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang di Aceh, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas, dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan sastra Indonesia.
Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, tinggal di Lampung.
18. Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.
Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.
19. Cerita yang disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu tanpa terasa dengan penuh tanda tanya.
Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra, tinggil di Tangerang.
20. Tema kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.
Kiai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur.
21. Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini. Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan seusai tsunami.
Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai).
22. Pada dasarnya aku tidak suka novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam, aku tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran, membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Aku suka sekali novel ini dan tidak bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Begitu indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah aku baca. Tidak ada kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan membuatku berkali-kali terpaksa menahan napas!
Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.
23. Sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran. Arafat Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan. Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita tersentak dan tercengang. Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya, memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri!
Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia dan pencinta sastra.
24. Kalau orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki, bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra. Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati berdebar.
Nanda Feriana, mahasiswi penggemar sastra.
25. Saya harap Burung Terbang di Kelam Malam akan memenangkan banyak penghargaan. Saya juga berharap suatu saat pembaca Malaysia berkesempatan membaca novel ini karena sangat penting bagi kedua negara untuk saling mengenal karya sastranya. Bahkan, kiranya perlu juga diterjemahkan dalam bahasa lain agar pembaca di seluruh dunia bisa menikmatinya.
—Sharon Bakar, pengajar penulisan kreatif, editor, dan Dosen Senior The University College of St Mark and St John, Kuala Lumpur.
26. Ada tawaran-tawaran yang berbeda bagaimana memandang Aceh dari novel Burung Terbang di Kelam Malam. Tokoh Fais yang berprofesi sebagai seorang wartawan membeberkan dengan lugas dan terbuka tentang prilaku manusia-manusia hipokrit dan amoral yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi di negeri dengan hukum syariat yang (konon) ketat. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua itu, lewat perjalanan ambisiusnya membongkar sisi kelam tuan calon walikota—yang kemudian mempertemukannya dengan banyak perempuan—tokoh aku sesungguhnya tengah mencari dirinya sendiri, juga cinta.
Yetti A.KA, penulis buku kumpulan cerita Kinoli.
27. Melalui novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita ulung. Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.
Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita Arafat Nur berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.
Ika Yuliana Kurniasih, editor Penerbit Bentang.

Burung Terbang di Kelam Malam
Burung Terbang di Kelam Malam
Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.
Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.
Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]

Kamis, 14 Februari 2013

Siapakah Penulis Novel Pertama di Dunia?



Penulis novel pertama di dunia adalah seorang perempuan bangsawan Jepang bernama Murasaki Shikibu yang menulis novel panjang pertama di dunia berjudul Kisah si Genji. Kisahnya sendiri menceritakan tentang seorang pangeran yang mencari cinta dan kebijaksanaan. Versi terjemahan bahasa Inggrisnya mencakup 54 bab dan lebih dari 1000 halaman. Akhir tahun 1500an, gerakan anti romantisme merebak dan para tokoh antagonispun menjadi tokoh utama dalam kisah-kisah di era ini. Novel pertama dalam genre ini adalah Life of Lazarillo de Tormes yang ditulis pada tahun 1554 oleh seorang penulis yang tak dikenal, yang mengisahkan perjalanan hidup seorang anak miskin mencapai suksesnya melalui cara menipu.

Murasaki Shikibu (lahir 973 – meninggal 1014? atau 1025?) adalah novelis dan penyair Jepang, sekaligus dayang di istana kekaisaran pada zaman Heian. Ia dikenal sebagai penulis Hikayat Genji yang ditulis dalam bahasa Jepang kira-kira antara tahun 1000 dan 1012.

Murasaki Shikibu adalah nama pena, nama aslinya tidak diketahui. Beberapa sejarawan memperkirakan bahwa nama aslinya adalah Fujiwara Takako, seperti tertulis dalam nama pelayan istana dengan pangkat shōji pada tanggal 29 bulan 1 tahun 4 Kankō (19 Februari 1007) menurut Midō Kampaku Ki, sebuah buku harian yang ditulis oleh Fujiwara no Michinaga, walaupun teori ini tidak banyak didukung oleh sejarawan lainnya. Dalam buku harian pribadinya yang berjudul Buku Harian Murasaki Shikibu, ia menulis bahwa nama panggilannya di istana adalah Murasaki, seperti nama tokoh dalam novel Hikayat Genji yang ditulisnya. "Shikibu" menunjuk kepada pangkat ayahnya di Biro Protokoler Istana (Shikibu-shō).{serupedia}

Penulis yang paling produktif juga perempuan, yaitu Barbara Cartland (1901-2000) yang menerbitkan lebih dari 1 juta kopi dalam 36 bahasa sekaligus membuatnya sebagai seorang novelis terlaris sepanjang masa. Rekor penjualan buku tercepat pun dipegang oleh perempuan yaitu JK Rowling lewat buku Harry Potter and the Deathly Hallows, buku ke-7 dan terakhir dari seri ini. Buku ini terjual 11 juta kopi dalam waktu kurang dari 24 jam.

LAMPUKI merupakan hasil karya yang sangat menggugah bagi dunia sastra Nusantara (terutama novel), khusus sekali di Bumi Serambi Mekah dengan performance sebagai Pemenang Unggulan Sayembara Menulis Novel 2010. Setelah sekian lama novelis-novelis Aceh diam, kini bagai bangun dari sebuah tempat persemedian dengan pukulan yang sangat pamungkas.

Novel ini mengajak siapa saja yang jadi pembacanya untuk tidak saja mengingat atau mengenang luka lama yang merobek-robek serta mencabik segenap jiwa, tetapi juga merenung tentang makna dari sebuah perang yang sia-sia dan menyisakan penderitaan serta kerugian yang tak terkira. Aceh yang didera perang adalah contoh yang paling konyol tentang tindakan pemerintah Indonesia yang hanya menciptakan bersimbah darah bagi banyak orang di ujung Pulau Sumatera.

Rabu, 06 Februari 2013

Tragedi dan Ironi Politik Aceh dalam Novel Terbaru Arafat Nur

 
Burung Terbang di Kelam Malam
Oleh: Al Chaidar, Dosen Politik Universitas Malikussaleh

(Dimuat Harian Serambi Indonesia, Minggu, 8/12/2013) 
NOVEL Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, November 2013) karya Arafat Nur bukanlah novel biasa, bukan pula novel picisan. Novel ini merupakan potret gambaran kehidupan politik Aceh yang semakin hari semakin menuju ke arah fasisme. Demokrasi Aceh, dalam novel yang ironik ini, telah dibajak oleh segelintir orang pandir dan munafik yang menggunakan segenap kekuatan parokial untuk membungkam media tentang kehidupannya yang bergelimang dosa dan tindakan melawan hukum lainnya.
Novel setebal 400 halaman ini berlatar Aceh pada tahun 2005 hingga 2010 yang sarat dengan parodi dan tragedi. Mengisahkan tentang Fais, seorang wartawan sebuah surat kabar terkemuka, mencoba membongkar kebohongan seorang calon walikota di wilayahnya. Tuan Beransyah, sang kandidat ini, memiliki istri-istri simpanan yang berserakan di berbagai wilayah Aceh. Ia menantang semua orang untuk membuktikan petualangan seksualnya yang sudah terlanjur kondang dalam masyarakat.
Dalam upayanya menjawab tantangan tersebut, Fais menelusuri satu per satu istri-istri atau mantan istri Tuan Beransyah itu. Usaha penelusuran ini bukanlah mudah, melainkan sebuah kerja keras, sebuah upaya auto-ethnographic yang penuh tantangan dan biaya serta waktu dan pengorbanan yang mengakibatkan ia terperosok dalam lingkaran setan jaringan para istri sang Tuan. Fais akhirnya berhasil menulis hasil penyelidikannya itu dan diterbitkan di koran tempat ia bekerja—yang kemudian memecatnya karena dianggap sangat lancang. Ia kemudian melarikan diri karena hendak dibunuh, dan akhirnya bersembunyi di tempat kekasihnya yang sebelumnya telah kecewa atas kelemahannya yang tidak mampu menolak setiap godaan wanita kesepian.
Novel ini menarik karena mengungkapkan tentang situasi moral Aceh yang sudah rusak dan Fais terjerembab ke dalam pelukan perempuan-perempuan yang sudah tidak perawan lagi, sebagiannya adalah istri-istri telantar Tuan Beransyah yang mengalami alienasi dan kesepian badaniah (carnal loneliness).
Fais akhirnya diselamatkan oleh Safira, yang juga sudah tidak perawan lagi, yang mau mengerti perjuangannya dalam mengungkap dunia hitam masa lalu sang pemimpin. Fais, dalam perspektif Georg Lukacs (1963)  adalah tipe pahlawan Aceh modern yang problematik (problematic hero) di tengah nilai-nilai problematik (problematic values) peradaban Aceh pasca DOM (Daerah Operasi Militer) yang tidak menentu.
Pasca DOM, banyak perempuan yang ditinggal telantar oleh tentara bagai sepah dibuang. Perempuan-perempuan ini kemudian mencari pemuasannya sendiri dengan berbagai cara yang mungkin untuk tetap bertahan di tengah getaran dunia yang problematik (problematic world).  Dalam kalimat Georg Lukacs sendiri, “the modern novel had become 'the epic of an age in which the extensive totality of life is no longer directly given’. The novel form is therefore organised around the problematic hero in pursuit of problematic values within a problematic world.”
            Novel Arafat Nur ini adalah novel modern dalam kesusasteraan Aceh. Kendatipun novel sebagai “sastra” atau sebagai “seni” masih jarang dibicarakan, apalagi jika bicara tingkat kesusastraan Indonesia, Arafat Nur menuangkan persepsi masyarakat Aceh yang masih guyub tentang apa itu novel. Kehadiran novel Burung Terbang di Kelam Malam ini menunjukkan peradaban Aceh yang problematis mulai menemukan media ekspresi baru terutama jika dibandingkan dengan cerita epik lainnya: prosa dan puisi atau hikayat.
Padahal di abad 21 ini, novel merupakan genre kesusastraan yang bisa dibilang sangat populer, terutama jika dilihat dari kuantitas penulis maupun pembacanya, serta dari jumlah buku yang beredar. Hal ini barangkali disumbang oleh menjamurnya novel-novel yang, katakanlah, merupakan novel ringan atau novel hiburan, meskipun istilah itu pasti sangat bisa diperdebatkan. Tapi kita tak bisa menutup mata, barangkali banyak di antara penulis novel sendiri yang tak pernah peduli, tak pernah mempertanyakan, apa itu novel? Akan tetapi, Arafat Nur sangat sensitif dengan wacana tentang novel yang dipahami masyarakat Aceh.
            Lihatlah ketika dialog Fais bertemu dengan Aida, istri Tuan Beransyah yang ditelantarkan di Panton:
[“Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan tugasku sebagai wartawan,” kataku kemudian, “aku hanya ingin menulis novel. Maka, kukatakan tadi bahwa pekerjaanku adalah penulis.”
“Apa itu novel?”
Aku baru sadar bahwa masih banyak orang yang asing terhadap benda itu. Jangankan membaca, menyentuh pun mereka tidak mau. Semasa sekolah dahulu mereka tidak menyukai jenis buku ini dan sangat membenci buku-buku pelajaran. Sekolah hanyalah sebuah keterpaksaan, tempat mencurahkan harapan bahwa dengan cara demikian kelak mereka bakal mendapat pekerjaan dan punya masa depan. Sekolah bukanlah tempat belajar, melainkan lebih banyak digunakan untuk kesibukan bermain dan pacaran. Itulah kenyataannya. Bahkan, sampai kuliah usai pun banyak di antara mereka yang tidak pernah menamatkan sebuah buku! Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa lulus dan memperoleh nilai bagus.
“Novel itu semacam buku cerita,” kataku untuk mengingatkannya.
“Oh, iya, aku tahu!” sambarnya. “Seperti yang dibaca anak-anak nakal itu,bukan?”
Aku agak tersinggung, “Yang kutulis ini tidak begitu!”
“Terserah kamu saja,” ucapnya kurang peduli. “Tapi, aku senang kalau kamu menuliskan cerita tentang hidupku ini,” lanjutnya dengan raut muka berseri-seri.]
Kenapa novel ditulis? Kenapa novel dibaca? (Sebagaimana orang menjalani hidup malas bertanya apa itu hidup? Kenapa ada kehidupan?) Untuk saya, itu pertanyaan penting. Tanpa pertanyaan-pertanyaan itu, saya barangkali kehilangan gairah untuk menulis novel. Jika ada buku semacam ini yang ditulis oleh bukan penulis novel, tapi pastinya ia pembaca novel yang tekun, saya bisa menyebut satu yang sangat penting: The Theory of the Novel, karya filsuf Hungaria, Georg Lukács. Sementara novel Arafat Nur ini menceritakan bagaimana pengalaman auto-etnografis Fais dalam menulis novel yang ia sendiri tengah berada dalam cerita itu. Lihatlah bagimana ketika Fais bertemu dengan orang yang sangat dicintainya, Safira, dan menceritakan rencananya untuk menulis novel:
[“Novel?” tanyanya aneh.
“Kenapa?”
“Kamu menuliskan cerita yang jorok-jorok, ya?”
“Tidak begitu,” aku menyanggah dan merasa perlu menjelaskan lebih lanjut.
“Pemahaman kita terhadap novel memang buruk sekali. Kalau sudah bicara tentang novel, seakan-akan yang diceritakan itu semuanya masalah jorok. Sebetulnya, tidak begitu. Aku tidak bakal menuliskan yang cabul kalau memang tidak perlu. Kalau nantinya memang dibutuhkan untuk mendukung kekuatan cerita, ya, aku tidak bisa menghindar.”
“Kamu menulis kehidupan nyata, ya? Maksudku, cerita yang benar-benar nyata?”
“Boleh juga kalau ada yang beranggapan begitu.”
“Berarti rumit, dong!”
“Tidak juga. Malah aku tidak suka yang rumit. Bukankah hidup ini sudah cukup rumit, untuk apa dibuat semakin pelik lagi? Aku lebih suka menulis hal biasa saja, apa adanya, tanpa berusaha menciptakan kesan luar biasa. Menurutku, novel itu harus sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak sekadar menuruti selera murahan segelintir orang.”
“Wow!” serunya. “Kalaupun tidak terlalu mengerti, aku setuju sekali denganmu, Fais!”]
 Jika selama ini novel modern dan filsafat modern tampak seperti dua rel yang berjejeran, buku-buku semacam ini merupakan upaya segar mempertemukan keduanya, di mana kedua tradisi saling meminjam metode dan upaya kreatif mereka. Buku lainnya adalah Aspects of the Novel karya E.M. Forster.  Novel Arafat Nur ini juga menggambarkan banyak keheranan orang-orang Aceh, bahkan yang sudah terpelajar sekalipun dalam memandang aspek novel yang penuh cerita fiktif, khayal mengkhayal dan lucah. Arafat Nur telah menempatkan dirinya sebagai “truth teller” yang lihai dalam menyusun kata demi kata yang membentuk kalimat yang ajaib. Lihatlah bagaimana ia menuliskannya tentang ini:
[“Jadi, kamu ini wartawan, begitu?”
“Betul. Tapi, aku tidak sedang dalam urusan meliput berita, sekarang aku lebih disibukkan menulis novel ....”
“Novel? Wah, kamu suka mengkhayal, ya?”
Selalu saja aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebutkan kata “novel” sehingga aku harus memberikan keterangan tambahan dan berbagai penjelasan lain di seputarnya yang kuketahui lewat pengalaman membaca, sama sekali bukan teori—aku tidak paham kata rumit itu! Bukan maksudku ingin berterus terang, melainkan memang aku tidak tahu cara berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa kuutarakan untuk lebih meyakinkannya.
“Tidak juga,” kataku berusaha mengubah pandangannya. Tak penting lagi benar atau keliru. Dalam sastra yang paling penting adalah bagaimana mengutarakan alasan yang masuk akal. “Aku menuliskan berdasarkan pengalaman nyata,” lanjutku kemudian.]
Novel Arafat Nur ini sekali lagi membuktikan bahwa apa yang dikatakan George Orwell (1945) dalam Animal Farm, bahwa manusia hidup melawan penindasan totalitarianisme dan fasisme menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam banyak hal, dua  buku itu bersinggungan satu sama lain dan terverifikasikan di dalam novel ini dengan dunia yang problematis; Aceh adalah dunia yang penuh dengan kesimpulan filosofis yang mendalam. Secara antropologis, manusia hidup dan mengembangkan kebudayaan berdasarkan responnya terhadap situasi yang ada. Jika Forster banyak bicara mengenai elemen-elemen novel, dalam beberapa tingkat nyaris teknis, buku Orwell lebih bersifat filosofis, terutama menyangkut novel modern.  Novel Arafat Nur menjadi cukup filosofis jika kita lihat Aceh dari kerangka konseptual George Orwell dan EM Forster.
Di Aceh, novel adalah barang langka. Tokoh Rohana atau Nana, dalam novel ini juga heran melihat Fais yang bekerja menulis novel. “Aku baru tahu kalau orang Aceh ada yang bikin novel!” (hlm. 121). Apa yang ditulis oleh Arafat Nur adalah sebuah “politics of truth” seperti George Orwell tulis dalam Homage to Catalonia (1938). Dalam konflik dan perang, novel yang jumlahnya lebih sedikit dari senjata, masih juga dianggap sangat berbahaya. Lihatlah bagaimana Arafat Nur menuliskan realitas politik kebenaran tentang hal ini:
[“Apa itu novel?” tanyanya dengan raut wajahnya yang sangat bodoh. “Rasanya seumur hidup aku belum pernah mendengar kata itu.”
Burung Terbang di Kelam Malam
Sadarlah aku kemudian bahwa terkadang benda itu sangat langka dan sulit ditemukan dalam masyarakat di sini. Mungkin dua tahun lalu—selagi perang masih berlangsung—bila ada orang yang menggeledahi rumah-rumah penduduk, mereka lebih mudah mendapati beberapa pucuk senjata api daripada menemukan sebuah novel. Bahkan, banyak orang terpelajar beranggapan bahwa novel lebih berbahaya daripada senjata. Benda itu dianggap dapat merusak akhlak, meracuni pikiran, dan menjerumuskan anak-anak pada perbuatan maksiat. Orang-orang cenderung mengenal novel picisan yang lumayan banyak beredar sehingga kemudian mereka menganggap semua novel sama saja.]
Novel sudah menjadi media baru, atau mungkin juga senjata baru, bagi masyarakat Aceh untuk menuliskan sejarah masalalunya; meninggalkan hikayat, prosa dan puisi lirih yang sangat terbatas baris dan sanjak. Bagi Arafat Nur, novel bukanlah domain khayal mengkhayal, melainkan workspace untuk melukiskan masa lalu yang sulit ditulis oleh skripsi, thesis atau disertasi sekalipun. Banyak tragedi Aceh yang tidak bisa ditulis dalam sebentuk buku, kecuali ada beberapa penulis yang sudah hilang urat takutnya dalam mengungkapkan tragedi Aceh (DOM, misalnya) di masa lalu. Novel modern adalah media baru yang tepat untuk menulis tentang tragedi Aceh yang sangat rumit dan problematis itu.
Sejarah adalah satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Ilmuwan sejarah atau antropolog mau tidak mau terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya sendiri. Menurut Georg Lukacs (1963:53), novel sejarah ialah novel yang membawa masa lampau kepada kita dan membuat kita mengalami hakikat masa silam yang sebenarnya.[]