Senin, 16 Juni 2014

Membaca Nasib Aceh Kini


Oleh: Adi Zamzam



MEMBACA Aceh adalah membaca nasib orang-orang yang masih trauma akibat perang berkepanjangan. Beberapa kebijakan pemerintah yang tak pro dengan rakyat kecil, telah mengakibatkan ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah, sehingga kadang tumbuh sikap acuh atau bahkan antipati. Anda akan menemukan suasana seperti itu ketika diajak Arafat Nur menelusuri Aceh melalui tokoh Fais, seorang wartawan yang tengah berusaha menyingkap kemunafikan seorang kandidat Wali Kota Lamlhok.



Melalui sejumlah istri simpanan Tuan Beransyah, si Aku berniat mencatat segala borok yang disimpan oleh  lelakilandok pengumbar telur tersebut, dan hendak dijadikannya sebagai bahan novel. Cara seperti ini dianggapnya lebih aman, karena meskipun keburukan Tuan Beransyah sudah menjadi rahasia umum, namun tak seorang wartawan pun berani mengumbar kemuakannya melalui media yang menaunginya. Rata-rata mereka malah menjadi penjilat demi menggemukkan diri sendiri.



Dengan penokohan yang kuat, apa-apa yang diceritakan oleh istri-istri Tuan Beransyah menciptakan satire ringan namun terasa tajam dan jenaka. Dan sosok lelaki yang memulai bisnisnya dari berdagang emping melinjo itu memang hanya digambarkan melalui komentar-komentar beberapa istri simpanannya. Dari Aida, istri simpanan Tuan Beransyah yang pertama kali dikunjungi, si ‘Aku’ mendapatkan catatan negatif (hal. 8).



Catatan-catatan itu kemudian bersambung dengan certa-cerita dari Haliza, bahkan juga dari seorang pelacur bernama Nana—yang menjadi pelacur gegara dicerai secara tak terhormat oleh Tuan Beransyah, juga Saudah—yang ditinggal setelah melahirkan anak-anak kurang waras. Hanya Rahmah seorang yang opininya agak berbeda jauh dari istri-istri lainnya, yang disebabkan pengetahuan agamanya yang tampak lebih dibanding yang lain. Hanya Rahmah-lah satu-satunya yang membela suaminya dengan dalil-dalil yang ia ‘bengkokkan’, dan demi menutupi perasaannya sendiri dari si Aku. 



Dari potret Rahmah inilah tergambar jelas bahwa dogma-dogma agama diperalat oleh Tuan Beransyah untuk membenarkan tindakannya (halaman 120). Mungkin ini juga semacam gambaran kecil betapa dogma agama banyak disalahgunakan di kota Serambi Mekkah itu.  Tengah terjadi formalisasi agama melalui penegakan syariah, yang tengah difokuskan pada pengaturan cara berpakaian (simbol-simbol perempuan saleh), pengaturan moralitas hingga ruang publik yang lebih patut bagi bagi perempuan.



Kita mungkin masih ingat dengan peraturan di sana tentang pelarangan duduk ngangkang bagi perempuan yang sempat menuai kontroversi dari berbagai pihak. Qanun tentang ber-khalwat (berdua-dua di tempat sunyi yang mengarah pada zina) konon juga diterapkan. Namun dalam novel ini, Arafat Nur tampaknya ingin mengabarkan bahwa semua itu hanya omong kosong. Perempuan-perempuan yang digambarkan dalam cerita ini justru tampak lemah, kesepian, dan menjadi korban dari sebuah dogma, bahwa lelaki boleh menikahi berapapun perempuan asal kebutuhan materi tercukupi.



Di balik pemformalan agama lewat pengaturan tubuh dan moralitas perempuan adalah politik kekuasaan, yang seolah menuding bahwa perempuan adalah sumber dari segala tanggung jawab dalam penciptaan ‘ketertiban, ketentraman, dan keberlanjutan tatanan sosial masyarakat (hal. 63). Hak-hak perempuan sebagai warga yang sejajar jadi terabaikan. Itulah mengapa para istri simpanan itu jadi terlihat abai akan segala hukum syariah yang semestinya mereka taati. Seperti yang pernah didengungkan oleh Samsidar (Ketua Dewan Pengurus LBH APIK Aceh) dan seorang aktivis perempuan Lies Marcoes Natsir, bahwa berbagai kekerasan terhadap perempuan di Aceh seyogyanya menjadi pertimbangan untuk meninjau lagi dualisme antara hukum nasional dan hukum syariah.



Kegeraman si ‘Aku’ dalam melihat sikap teman-teman sesama wartawan yang dinilainya bertampang dungu juga merupakan potret Aceh saat ini yang ingin disuarakan penulis (hal. 71). Semua orang sudah tahu sama tahu, hanya wartawan bodoh yang mau mengungkit-ungkit sebuah penyimpangan yang bakal berakibat malapetaka. Dalam pandangan awam mereka adalah sosok cerdik pandai juga pahlawan kebenaran, padahal kebanyakan mereka adalah orang jadi-jadian, begitu kata si ‘Aku’.



Pers digambarkan sudah menjauh dari fungsinya sebagai institusi sosial. Seperti yang pernah diungkapkan Ashadi Siregar (pakar komunikasi), jika media sudah tidak bisa dijadikan tempat berdialog, informasi media hanya menjadi semacam mulut aparat negara, hanya menjadi organ dari kekuasaan negara, akibatnya isu dari media akan kehilangan relevansinya dengan kehidupan masyarakat.[]

-          http://www.wisata-buku.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2317&Itemid=2461




Selasa, 10 Juni 2014

Burung Terbang di Kelam Malam Bakal Ke Jerman

NOVEL  terbaru Arafat Nur berjudul Burung Terbang di Kelam Malam lolos dalam seleksi di antara buku-buku yang akan diterjemahkan ke dalam bahasa asing yang akan diluncurkan di Frankfurt Bookfair Jerman awal tahun depan.

Novel setebal 392 halaman yang diterbitkan Bentang, Februari lalu ini, terdaftar dalam buku-buku lolos seleksi Badan Bahasa Kemendikbud Jakarta yang diumumkan baru-baru ini.

“Saya sendiri tidak menyangka novel ini yang lolos seleksi. Sewaktu diberitahu kawan, saya cukup terkejut. Namun, setelah saya hubungi Mbak Ika Yuliana Kurniasih, editor saya di Bentang, ternyata itu benar,” kata Arafat Nur di Lhokseumawe, Senin (9/6).

Namun Arafat tidak tahu pasti novel Burung Terbang di Kelam Malam akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Jerman. Yang pasti, katanya, kalau tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tentunya saja diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman.

Sebelumnya Arafat justru mengira bahwa novel yang akan lolos ke Frankfurt Bookfair Jerman itu adalah Lampuki, yang memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan penghargaan Khatulistiwa Literary Award. “Namun, entah karena ada kendala teksnis novel ini batal masuk ke Frankfurt Bookfair,” ujarnya.

Karenanya pula dia tidak mengira kalau buku terbarunya malahan yang terpilih, dan rencanya bila tidak ada halangan, Arafat Nur juga akan menghadiri pesta buku di Frankfurt itu. “Sekarang masih terlalu dini, segalanya belum terlalu pasti. Saya merasa senang juga novel saya akhirnya diterjemahkan ke bahasa asing,” lanjut dia.

Arafat Nur merupakan satu-satunya penulis muda Aceh yang namanya melonjak di kancah sastra nasional setelah novel Lampuki meraih dua penghargaan bergengsi yang membawanya dalam berbagai event sastra nasional dan internasional.

Dua novel terakhirnya, Lampuki dan Burung Terbang di Kelam Malam dinilai sebagai novel bermuatan sastra tinggi. Namun, sebagian khalayak yang tak mengerti mengecamnya. Sebagian orang malah memuji-muji sebagai sastrawan Aceh yang cukup berkualitas mengandung muatan sosial dan politik, dengan cara bercerita yang cukup unik dan mengejutkan.[]