Senin, 31 Maret 2014

Kisah Cinta dalam Sejarah Suram dan Intrik Politik

Burung Terbang di Kelam Malam

Oleh: Linda Satibi

 

Judul                         :  Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis                        :  Arafat Nur
Penerbit                      :  PT Bentang Pustaka
Tebal Buku                :  xiv + 376 halaman
Cetakan                      : Pertama, Februari 2014
ISBN                           :  978-602-7888-93-7

Kiriman buku tiba dari Bentang. Sebuah novel fiksi berjudul Burung Terbang di Kelam Malam karya Arafat Nur. Mata saya berbinar dengan reward kali ini. Karena saya kira nama Arafat Nur sudah merupakan jaminan karya yang bagus. Padahal saya belum pernah baca novelnya. Hanya yang saya tahu dia itu pemenang DKJ dan menyabet KLA juga.

Saya buka halaman awal, oh.. lembar endors. Halaman berikut, oh masih lembar endors. Halaman berikutnya, masih lembar endors juga! Total ada 26 orang yang memberikan testimoni untuk novel ini. Mereka orang-orang ternama di dunia sastra. Hadeuh.. agak berkurang antusias saya jadinya. Maaf saja, saya tidak begitu suka dengan novel yang ramai endors.

Tapi, sudahlah. Saya pun mulai membuka halaman berikut yang berisi daftar isi. Saya baca, judulnya panjang-panjang. Ini mengingatkan pada kawan baik saya seorang penulis bernama Arul Chandrana yang imajinasinya meledak-ledak. Dia juga gemar menulis judul dengan kalimat panjang dan aneh. Eh, tapi kok Arafat Nur ini pilihan bahasanya begitu, ya? pikir saya. Engh.. saya agak risih membacanya. Ah, sudahlah (lagi).. mungkin ini hanya sensasi judul. Saya pun lanjut membaca isi novel ini.

Lembar demi lembar saya nikmati. Hmm.. ini bukan jenis novel yang biasa dengan gaya populer atau romantis yang manis. Kalimat-kalimat dalam novel ini terasa kaku, tapi bukan kaku yang tidak menyenangkan. Terkadang saya merasa seperti sedang membaca karya sastra lama, jaman pujangga baru. Alih-alih merasa bosan dengan gaya bahasa begitu, saya malah terus terseret untuk melanjutkan membaca kisah ini.

Jadi kisahnya tentang apa? Tokoh utamanya seorang pemuda tampan rupawan bernama Fais. Dia wartawan dan sedang mencoba untuk menulis novel. Karena wajahnya itu, gadis-gadis cantik jelita demikian mudahnya bertekuk lutut. Namun, Fais ini bukan tipe play boy juga, malah dia cuek dan tidak pernah tebar pesona.

Novel yang akan ditulisnya adalah tentang Tuan Beransyah, seorang tokoh pengusaha sukses yang licik, dan sedang mencoba peruntungan di dunia politik. Ia mencalonkan diri menjadi walikota. Pencitraan dirinya boleh dibilang gemilang. Dia seakan seorang yang alim dan dermawan. Fais benci bukan kepalang kepada Tuan Beransyah. Ia bertekad untuk mengurai kebusukannya melalui novel yang akan ditulisnya itu. Kesukaan Tuan Beransyah menambah istri, akan dibongkarnya. Sebab Tuan Beransyah selalu pandai berkelit dari dugaan bahwa dirinya tukang kawin.

Fais pun memulai petualangannya dengan menelusuri alamat-alamat tempat tinggal bini-bini simpanan Tuan Beransyah. Dalam perjalanan itulah, aneka rupa masalah dijumpainya. Bini-bini Tuan Beransyah itu beragam. Ada yang muda belia, ada yang usia pertengahan, ada yang menuju paruh baya, ada pula yang memang sudah tua. Untuk yang muda dan jenjang 30-an, mereka semua cantik-cantik. Dan dengan daya pikat yang dimilikinya, Fais dengan mudah mendapatkan bahan catatan untuk keperluan novelnya.

Interaksinya dengan beraneka perempuan itu, membuat Fais gamang pada perasaannya sendiri. Sesungguhnya ia sudah punya teman dekat yang serupa kekasih, bernama Safira. Tapi ia bingung dengan kondisi dirinya yang masih merasa belum bisa untuk terikat dalam satu hubungan. Dan kelanjutan kisahnya, bisa kalian baca sendiri nanti, bila sudah membeli novel ini.

Lalu, apakah novel ini menarik? Bagi saya, iya. Tokoh utamanya, meski saya sedikit sebal dengan tampangnya yang menawan, tapi ia benar-benar merefleksikan “burung terbang di kelam malam”. Ia melayang tak paham arah, sekelilingnya gelap sekelam malam. Meski sesungguhnya ia punya sayap yang kuat. Hanya saja ia tak berinduk tak bersemang. Seringkali langkahnya oleng. Namun, di kali lain ia khusyuk menegakkan sholat.

Karakter Fais cukup ajeg sepanjang cerita. Ia seorang peragu, acuh tak acuh pada lingkungan, dan hasratnya mudah tergoda. Deskripsi karakter tersampaikan lewat gerak-gerik,  keputusan yang diambil, dialog, serta penuturannya sendiri. Untuk bagian terakhir itu, saya kadang merasa bosan karena beberapa kali Fais mengulangnya.

Tuan Beransyah sendiri muncul hanya sedikit sekali. Padahal boleh dibilang ia tokoh yang menghidupi kisah ini. Karakternya bisa ditangkap pembaca melalui dialog tokoh-tokoh lain, konflik yang dialami tokoh pendukung, dan melalui deskripsi suasana yang terjadi. Penulis kisah ini mahir menggambarkan pribadi Tuan Beransyah tanpa harus memunculkannya sering-sering.

Karakter tokoh-tokoh lain tidak terlalu rumit. Mereka seputar istri-istri simpanan Tuan Beransyah dan orang-orang di sekitar Fais yang tidak banyak, mengingat interaksi sosial Fais yang minim.

Sekarang tentang bahasa yang mengalun di sekujur kisah. Ini bukan bahasa Melayu ala Andrea Hirata yang mendayu, merdu merayu. Ternyata begini rupa orang Aceh bila menyulam kata. Sedehana, tegas, dan lugas. Kesederhanaannya itu terkadang menerbitkan senyum. Di lain waktu ia menggiriskan hati.

Namun, entah merupakan balas dendam atas Jawa yang bahasanya kerap digunakan bak bahasa nasional, yang dipahami seluruh warga negara, dalam novel ini Arafat Nur menyisipkan beberapa bahasa Aceh yang seolah bahasa tersebut sudah selayaknya kami pahami. Pada kenyataannya kami yang bukan orang Aceh harus menerka-nerka maksud kata-kata itu, semisal: pesong dan kereta.

Membaca novel ini, jangan berharap ada diksi yang memukau dengan sulaman kata-kata indah. Jangan pula mencari quote-quote yang cetar menggelegar. Tidak akan ketemu. Kalimat-kalimat dalam novel ini sungguh sederhana, apa adanya. Penulisnya tidak berusaha menarik-narik perhatian pembaca dengan meliuk-liukkan kata. Tapi, dalam kepolosannya itu, justru kesan yang tercipta sungguh mendalam.  

Lalu, tentang setting tempat. Aceh. Pembaca diajak menyelami Aceh pasca perang. Deskripsi mengurai detil. Membuat hati pilu mengingat saudara sebangsa yang mengalami penderitaan begitu rupa akibat konflik berkepanjangan.

Di luar sana, masih tampak jelas gambaran suram masa lalu yang terus membayangi sampai sekarang, yang entah berakhir sampai kapan. Terlihat puing-puing sejumlah bangunan yang rusak dan dibakar semasa perang dulu. Kendaraan-kendaraan rusak parah akibat kena hantam pelontar roket pemberontak yang dulu kerap mengadang pasukan-pasukan kecil pemerintah di jalan-jalan sepi sewaktu perang tengah gencar-gencarnya melanda. (halaman 46).
Burung Terbang di Kelam Malam

Tidak hanya gambaran kerusakan fisik, namun kondisi psikologis masyarakat yang kemudian banyak mengalami perubahan. Gadis-gadis kecil yang kehilangan kakak-kakak lelakinya, para pemuda yang tewas. Tak terhitung juga perempuan-perempuan yang menjadi janda mendadak tersebab suaminya hilang lalu ditemukan terbujur berkalang tanah. Para orangtua yang ditinggal pergi anak-anaknya. Dan rupa-rupa kehilangan lainnya. Perubahan ini mengakibatkan pergeseran perilaku.

Aceh yang terkenal sebagai Serambi Mekah, ternyata memiliki banyak borok. Pergaulan bebas anak muda tidak kalah mengerikan dengan yang terjadi di ibukota. Demikian pun tingkat kriminal lainnya.

Aroma kritik sosial memang menguar tajam dari novel ini. Pemerintahan yang korup, politik yang kotor, penyedotan sumber kekayaan daerah, dan kondisi sosial masyarakat yang carut marut, mendapat sorotan tajam.

Kota kecil ini memang menyedihkan. Semakin hari tambah terpuruk ditinggalkan para penghuni yang pergi dan mati. Semasa perang dulu, terlalu banyak orang mati dan dibantai. Orang-orang Jawi yang terkenal rajin menggarap ladang di wilayah-wilayah pedalaman terpaksa meninggalkan rumah dan kebunnya karena terusir oleh pemberontak yang muak terhadap raut wajah mereka yang berhidung pesek. (halaman 163)

Bahkan tanpa tedeng aling-aling, dinyatakan kegeramannya kepada salah seorang presiden negeri ini.

Dia memerhatikan aku lagi, sikapnya seperti seorang penguasa besar. Aku jadi ingat presiden perempuan negeri ini yang memerintahkan membunuh orang Aceh kali kedua, setelah presiden sebelumnya yang bermata sipit dijatuhkan. Kira-kira begitulah lagak perempuan ini ketika berhadapan denganku. (halaman 170)

Meski novel ini mengungkap sisi gelap hiruk-pikuk politik, namun bukan berarti ia novel yang membuat kening berkerut. Bahasanya cukup ringan, dengan dibumbui gaya jenaka pada beberapa bagiannya.

Dibeberkan juga kehidupan wartawan dengan dunia pers yang tidak jauh dari cipratan lumpur politik. Pers yang dimanfaatkan oleh tokoh politik merupakan kerjasama kemunafikan yang serasi. Sungguh memuakkan. Namun, para kuli tinta itu tak berdaya, rupiah memang memiliki daya magis yang manis.

Bagaimana dengan kisah romansa dalam novel ini? Saya merasakan hanyut pada bagian menjelang akhir. Karena memang alur sejak awal terasa lambat, kejutan-kejutan menghentak lebih terasa saat mendekati ending. Saya betul-betul merasakan merindunya Fais kepada Safira, situasi yang rumit di antara mereka, rasa takut kehilangan yang mencekam, hingga genangan di pelupuk meluruh membasahi pipi saya.

Lantas, adakah yang mengganjal dari novel ini? Yup! Seperti yang saya sebutkan di awal, tentang risihnya saya membaca judul-judul bab, demikian pula rasa risih itu terus berlanjut saat saya tenggelam dalam isi kisah ini. Penulis tidak sungkan mengungkapkan hal-hal yang mengarah ke adegan dewasa. Sepintas terkesan vulgar. Kalaupun ada yang tersirat halus, pembaca dewasa tentu bisa menangkap jelas maksudnya. Sejujurnya saya merasa tidak nyaman.

Namun, konon dalam karya sastra, memang disediakan ruang untuk bereksplorasi di wilayah aktivitas ‘begituan’. Dan, dalam hal Fais ini, mungkin penulis ingin menyampaikan bahwa Fais memang doyan ‘begituan’. Pada satu titik kemudian, cinta sejati lah yang menempati seluruh ruang hati. Maka, kontradiksi tersebut diperlukan untuk dramatisasi kisah, dan semacam pelajaran kepada pembaca, betapa cinta terlarang tidak akan membuat jiwa menjadi tenang.

Hanya saja, saya tetap menyayangkan munculnya adegan-adegan dewasa, meski memang dibutuhkan dalam cerita ini. Penggambarannya yang blak-blakan, membuat jengah. Walaupun kemudian Fais menyesal dan merasa berkubang dalam dosa yang menjijikkan. Tobatnya itu ternyata tobat sambal. Ah, mungkin ini pula yang ingin disampaikan penulis bahwa perbuatan dosa itu demikian menjerat hingga tobat terasa berat. Semoga di balik vulgariyah itu, pembaca lebih menangkap pesan-pesan kebaikannya.

Oh ya, yang menarik juga dari novel ini adalah endingnya. Saya membaca novel ini benar-benar menikmatinya dengan menyerahkan diri ke dalam cerita, tanpa mereka-reka apakah si ini akan menjadi begitu atau si itu ternyata begini. Saya hanyutkan diri begitu saja. Sehingga tiba pada ending, saya benar-benar merasakan asyiknya terbelalak, menahan napas sejenak, dan bergumam; Wow![]

Selasa, 25 Maret 2014

Arafat Nur di Asean Literary Festival



JAKARTA: Arafat Nur tampil membacakan penggalan kisah dalam novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam di panggung Asean Literary Festival (ALF) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta yang akan berlangsung baru-baru ini.


Sebelum tampil, Sabtu (22/3) petangnya, dia sempat memaparkan masalah konflik Aceh di sesi Writter’s Coner. Penampilannya ini sempat terusik dengan kebisingan, dan membuat Arafat melontarkan kata-kata kesal yang membuat hadirin bersorak dan tertawa-tawa.



Selama mengisi sejumlah acara itu, novelis Aceh ini tampak agak emosi dan mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. “Apa itu nasionalisme? Mereka menyuruh kita untuk mendahului kepentingan umum daripada pribadi. Sedangkan mereka mendahulukan kepentingan pribadi dengan korupsi,” kata Arafat dengan suara menyeru.



Dari dulu pemerintah itu tetap tidak adil terhadap rakyat, terlebih lagi terhadap Aceh. mereka habis mengeruk semua kekayaan Aceh untuk dibawa ke Jakarta. Kata Arafat, sampai ke Jakarta mereka mengkorupnya secara bersama-sama.



Secara tegas Arafat mengatakan, bahwa orang Aceh tidak membenci Jawa. “Yang kami benci itu adalah pemerintahnya yang jahat dan tidak adil. Sebagaimana juga orang Jawa membenci pemimpin yang oteriter dan sewenang-wenang. Jadi, janganlah salah sangka. Kalau ada orang Aceh yang membenci orang Jawa, sebetulnya orang itu juga membenci orang Aceh,” ujarnya.



Arafat melanjutkan, perang berkepanjangan telah melahirkan kebodohan, sifat dengki, dan juga munculnya orang-orang picik. Hal ini dapat dimaklumi karena perang membuat kehidupan semakin surut. “Di Aceh sendiri banyak orang yang tidak menyukai saya. Mereka tidak paham dengan novel yang saya tulis. Novel saya membela Aceh, tapi mereka memahami sebaliknya,” kata Arafat.



Dalam ASEAN Literary Festival ini juga dihadiri puluhan penulis, akademisi, dan kritikus dari Indonesia dan negara lainnya, baik ASEAN dan non-ASEAN akan ikut andil. Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), memiliki banyak kesamaan, termasuk dalam hal sastra dan budaya.[]

Minggu, 16 Maret 2014

Dapatkan Burung Terbang di Kelam Malam



Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.

Diterbitkan oleh: Penerbit Bentang
(PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi

Jl. Plemburan No. 1, Pogung Lor,
RT. 11, RW. 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta – 55284
Telp./Faks: (0274) 889248/(0274) 883753
Surel: bentang.pustaka@mizan.com
http://bentang.mizan.com
http://bentangpustaka.com

Didistribusikan oleh:
Mizan Media Utama
Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146,
Ujungberung, Bandung 40294
Telp.: (022) 7815500 – Faks: (022) 7834244
Surel: mizanmu@bdg.centrin.net.id

Perwakilan:
Pekanbaru Telp.: 0761-20716/Faks: 0761-29811 Medan Telp./Faks: 061-8229583 Jakarta Telp.: 021-7874455/Faks: 021-7864272 Yogyakarta Telp.: 0274-889249/Faks: 0274-889250 Surabaya Telp.: 031-8281857/Faks: 031-8289318
Makassar Telp./Faks 0411-440158 Banjarmasin Telp./Faks: 0511-3252178. Banda Aceh: Pustaka Paramitha dan Alif Taufiqiyah. Lhokseumawe: Nasrullah Thaleb HP: 0852 9700 6767.
Bisa juga di Toko: Mizan Online Bookstore: www.mizan.com.

twitter @arafat_nur.

Jumat, 07 Maret 2014

Saat Menulis, Saya Selalu Diliputi Dilema


Oleh: Arafat Nur
SAYA selalu saja diliputi dilema ketika memastikan bentuk sebuah novel yang hendak kugarap. Terlalu banyak pertimbangan yang saling berbenturan. Saya tetap tidak bisa mengikuti selera dan kemauanku dalam menulis teks-teks sastra, sebab saya butuh minat pembaca yang banyak. Inilah yang terus kuupayakan, membuat novel dengan selera banyak orang, tetapi tetap menjaga kualitas isinya.



Lampuki adalah novel dengan pengakuan DKJ dan KLA, mendapat banyak pujian, tetapi sedikit saja orang yang mampu mencernanya. Padahal, dalam ramuannya, saya telah berupaya melakukan penyederhanaan sebisa mungkin dalam hal penggunanaan kata dan kalimat, juga teknik penceritaannya. Inilah yang membuat heran kenapa bisa mereka tidak mampu menyerapnya dengan baik.



Dalam senggang waktu yang cukup lama setelah terbitnya Lampuki, saya berupaya membuat “rumusan” lain yang sederhana, yang lebih mudah, lebih lurus, berketeraturan, dan lugas dalam kisah yang saya tuturkan sehingga lahirlah bentuk novel Burung Terbang di Kelam Malam. Sejak awal saya menyadari buku ini tidak akan “menyaingi” Lampuki, tetapi ia memiliki sisi-sisi kelebihan lain yang tidak ada dalam Lampuki.



Bila saja novel baru ini memiliki sisi kekurangan yang seimbang dengan kelemahannya, maka bisa dianggap impas—tidak ada masalah sama sekali. Yang selalu saya tekankan dalam diri saya adalah jangan sampai saya membuat kecewa para pembaca. Saya sadar bila membuat sedikit saja kesalahan, selanjutnya saya sulit untuk memulihkan diri, sebaik dan sebagus apa pun novel yang saya hasilkan kemudian.



Dalam Burung Terbang di Kelam Malam, saya mengajak untuk memilihat secara dekat dan dengan pandangan jernih segala realitas kehidupan sesungguhnya, tanpa menambah atau mengurangi. Berusaha megetengahkan hal populer yang tidak populer. Artinya, menyanjikan sesuatu yang pop dengan cara yang tidak pop atau tidak terlalu pop. Maka, saat membaca novel ini ada yang merasa “pop”, tetapi setelahnya menjadi ragu, dan baru kemudian disadari ternyata tidak pop.



Ini adalah kesan saya sendiri yang saya perkirakan sejumlah pembaca juga merasakan hal demikian. Sejauh ini, selain dari komentar para endorser, saya belum mendengar adanya tanggapan dari pembaca. Ada dua pembaca memang yang cukup terkesan dengan gambaran kota-kota yang mengasyikkan dalam novel ini. Ada pula mereka yang amat terkesan dengan dua perempuan yang menjadi tokoh dalam novel ini.



Bila memang “komposisi” semacam Burung Terbang di Kelam Malam ini cocok dengan minat pembaca, dan dianggap memiliki kelebihan-kelebihan, di samping kekurangan-kekurangannya yang bisa diperkecil, tentu saja saya akan tetap mempertahankan gaya penulisan semacam ini untuk novel-novelku selanjutnya. Memang gaya tutur ini tidak bisa dipisahkan dari gaya penuturan dalam Lampuki, melainkan gaya ini adalah turunan-turunan yang berbeda.[]


ikuti twitternya @arafat_nur.