Senin, 06 Juli 2015

Novel Terbaru Arafat Nur

Oleh: Nasrullah Thaleb
Dimuat Harian Serambi, edisi 5 Juli 2015.

NOVEL terbaru Arafat Nur  bertajuk Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) setebal 320 halaman ini memiliki gaya cerita berbeda dari novel-novel ia sebelumnya. Sastrawan nasional, Anton Kurnia, berkomentar kisah novel ini sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca pada derasnya alur cerita! Testimoni itu benar-benar mewakili pembaca novel ini, yang begitu memulai membaca langsung dihanyut oleh derasnya aliran cerita dengan emosi yang bergolak-golak.
Uniknya, tidak hanya kalangan pembaca novel serius, bahkan pembaca remaja, sebagaimana yang ditemukan di dunia maya, begitu tertarik dan dapat menikmatinya kisahnya dengan baik. Mereka terpana oleh kekuatan cerita yang terbangun, sampai-sampai ada bertanya-tanya apakah Arafat Nur berharap novelnya ini dibaca oleh Riana, salah seorang tokoh dalam novelnya.
Sebagaimana novel-novel Arafat Nur sebelumnya, kisah dalam Tempat Paling Sunyi ini pun begitu unik, mengisahkan seorang penulis novel tak terkenal di Aceh yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada sastra di tengah orang-orang yang tak peduli dan memandangnya begitu asing. Bagi Mustafa, tokoh utama buku ini, novel adalah sesuatu yang sangat penting, setidaknya untuk menunjukkan bahwa dirinya pernah ada di dunia fana ini.
Arafat begitu piawai mengolah cerita yang penuh konflik dengan bahasa lugas sederhana, tapi diksi yang begitu kuat. Konflik cinta yang disuguhkannya pun begitu padat sehingga kerap membuat sesak dada. Bumbu cinta ganjil yang dialami Mustafa bukan sekadar latar, tapi menyelusuk dalam, sampai-sampai pembaca dapat merasakan betapa kuatnya getar jiwa Mustafa yang romantis dan penuh penderitaan.
Wajar saja kalau buku ini menjadi buah bibir dan mulai dibicarakan di kalangan sastrawan dan pembaca remaja. Apalagi novel ini mengangkat kisah perjuangan seorang novelis untuk menunjukkan betapa pentingnya sastra dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga novel ini sangat perlu dibaca oleh siapa saja. Selain itu begitu banyak pesan penting yang disampaikan penulis, yang bisa dijadikan sebagai nasihat dan pelajaran.
Tidak berlebihan bila dikatakan novel Tempat Paling Sunyi ini memberikan konstribusi besar pada dunia pendidikan, terutama sastra di tanah air, dan khususnya di Aceh. Ketika membaca novel ini, kita seolah sedang berada di atas sebuah rakit bambu di sungai dengan aliran arus air yang deras menghanyutkan dan tanpa bisa menyelamatkan diri. Kita seolah dirayunya, dipikat dan ditenggelamkan ke dasarnya. Novel ini penuh cita rasa, gejolak kebencian, cinta, kekonyolan, bahkan derita, semua larut dihanyut.
Mustafa bertekad kuat menulis, meskipun ia tahu novel tidak mungkin memberikan pengaruh besar, apalagi mengubah dunia, dia tetap tidak pernah berhenti berjuang. Ia yakin kekuatan sastra mampu mengubah moralitas dan karakter manusia dalam persepsi kehidupan berbeda. Upaya ini terbukti, sebagaimana perspektif Aristoteles; ini tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan sebuah proses kreatif penulis sambil bertitik-pangkal pada kenyataan suatu yang baru dengan mimies. Penulis sastra juga menciptakan kembali kenyataan seperti barang-barang yang pernah ada, atau seperti yang kita bayangkan, atau seperti yang ada (fakta dari masa kini atau masa silam keyakinan atau cita-cita)
“Sebetulnya Mustafa bukanklah tokoh penting dalam cerita ini, andai saja dia bukan seorang penulis novel; itu pun dianggap gagal. Tetapi, bukan atas dasar  alasan  itu semata kisah ini menjadi menarik dan sangat penting untuk diungkapkan. Banyak kisah lain terutama kisah cintanya yang pelik dan ganjil, yang kemudian membawaku menelusuri lebih jauh lagi riwayat kehidupannya yang tidak terlalu panjang.”(hal.16)
Harus diakui Arafat Nur telah berhasil menyajikan sebuah kenyataan hidup seorang penulis sastra yang penuh liku-liku dan derita yang tidak wajar dalam novel. Tekad kuat menyelesaikan sebuah novel menjadi pilihan dalam hidup Mustafa. Ia hidup dan bejuang di tengah-tengah keluarga yang pasif dan membeci pekerjaannya sebagai seorang penulis. Bahkan istri Mustafa sendri menjadi musuh yang menentang dan berusaha menggagalkan usaha suaminya untuk menyelesaikan novel.
Salma, istri Mustafa yang pencemburu, tidak bisa menerima kenyataan hidup mereka yang miskin, juga tidak pernah tahu kalau negerinya sedang dilanda perang dan rakyatnya jatuh melarat. Perihal ini disebabkan istrinya dilahirkan dari sebuah keluarga kaya lagi terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan dibesarkan dengan kebodohan. Dalam keadaan yang sedemikian rupa Mustafa tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan.
Belum lagi ia menghadapi ibu mertuanya yang beranggapan menantunya hanyalah seorang lelaki tolol yang menderita sakit jiwa; di sini novel ini benar-benar berhasil menggolakkan emosi. Simak saja bagaimana rintihan Mustafa berikut ini:
"Oh Tuhan, dosa apakah aku? Aku terjepit di antara dua perempuan bodoh yang tidak mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan dirikulah yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar." (hal.40)
Sampai kemudian Riana, seorang gadis jelita, hadir dalam kehidupan Mustafa, yang kemudian mengubah warna hidupnya. Riana yang kelak menjadi istri keduanya, membangkitkan lagi semangat Mustafa dalam menyelesaikan novelnya, meskipun kemudian dia tetap dianggap sebagai seorang penulis yang gagal.

Sastra dan Kehidupan
Sebagai pembaca awam penyuka sastra, saya menganggap Tempat Paling Sunyi begitu penting dibaca. Kisahnya begitu dekat, realistis, indah, dan sangat menawan. Bagi saya novel ini lebih bergreget dari Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) yang sudah dialih-bahasakan ke Inggris, sekalipun tidak sehebat Lampuki (Serambi, 2010) yang memenangkan dua penghargaan bergengsi tingkat nasional sekaligus.
Seandainya Mustafa adalah seorang yang betul-betul pernah hidup di dunia nyata, maka saya akan menobatkan dirinya gelar pahlawan penjuang sastra yang mengharumkan bangsa dan negara. Ia patut mendapatkan kehormatan itu atas pengabdian dan perjuangannya, bila dibandingkan tokoh pejuang kita saat ini, apalagi pejabat-pejabat negara yang kerjanya hanya duduk ongkang-ongkang kaki saja.
Di saat dunia pendidikan memandang sebelah mata pada pendidikan sastra, Mustafa muncul dengan segala keterbatasan dan keterpurukannya, meneriakkan betapa pentingnya sastra dalam kehidupan ini. Hari ini novel Tempat Paling Sunyi telah menelanjangi kita, mengungkit indetitas bobrok di mana masyarakat--bahkan pemerintah Aceh sekalipun--telah mengasingkan dunia sastra dan meperlakukannya dengan sangat buruk. Mustafa justru menyerahkan hidupnya dan mati untuk sastra dan pendidikan.
Setelah menamatkan Tempat Paling Sunyi, saya berada dalam sepuluh tahun masa yang paling rumit, dengan emosi, rasa iba dan air mata, dan dengan dada sebak. Membayangkan penderitaan Mustafa, saya sedih dan terenyuh. Bahkan saya tidak mampu melukisnya dengan luna yang paling mahal sekalipun, kecuali Anda sendiri yang membacanya.[]

-- Nasrullah Thaleb adalah Ketua Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL) yang sedang berjuang mengembangkan sastra di kampungnya.

Kamis, 02 Juli 2015

Tempat Paling Sunyi dan Dialog Unik Burung Terbang

Oleh: Andi Ucup 

Tempat Paling Sunyi
DIALOG. Terbangun agak malas-malasan karena suara kurir JNE menggedor pintu. "Mas Andi...," katanya dengan senyuman yang biasa ia sungging setiap menyodorkan paketnya.
     "Makasih," ujarku dari balik pintu, yang kubuka sedikit. Paket itu berpindah ke tanganku secepat kilat. Pintu kemudian kututup kembali. Paket aku lempar ke sisi rak buku, sayang lemparanku buruk, ia tergolek di lantai dan tak kupedulikan. aku lanjut tidur.
    Ketika bangun lagi agak siang, aku ambil paket buku itu. Kubuka judulnya, "Burung Terbang di Kelam Malam" karya Arafat Nur. Aku memang sengaja memesan buku ini. Penasaran dengan karya Arafat. Sebab, di buku "Tempat Paling Sunyi" aku mulai terkesan dengan pemenang Sayembara Novel DKJ 2010 ini.
     Setelah mengecek HP sebentar, aku sambar buku berwarna biru terbitan Bentang itu untuk kubawa serta ke kamar mandi.
     Membuka lembar pertama, aku sudah dihujani banyak testimoni -- mulai Joko Pinurbo hingga warga biasa di Tangerang-- sebanyak empat lembar atau tujuh halaman. Ini pertama kali aku membaca novel dengan testimoni terbanyak. Mungkin ada novel lain, tapi aku belum menemuinya.
     Aku baca testimoni Jokpin sekelebat, begitu pula yang lain. Aku tinggalkan halaman-halaman yang menurutku membual itu. Aku langsung menuju halaman pertama cerita.
    Dari awal membuka kisah, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 ini menulis dengan biasa. Tidak menghentak atau membuat rasa menggelitik penasaran. 
Burung Terbang di Kelam Malam
Soal lead sebuah tulisan adalah kesan masing-masing pembaca. Memang tak ada patokan bahwa tulisan bagus divonis dari awal pembukaan novel. Meski dari lead pula pembaca diajak untuk tetap setia dalam lembaran-lembaran berikutnya.
    Dan apa yang dilakukan Arafat bagiku belum selincah Mahbub Junaidi dalam novelnya "Dari Hari Ke Hari" dalam membuka ceritanya. Deskripsi yang dibuat Mahbub bisa membuatku langsung hanyut.
    Namun, aku tak soal untuk melanjutkan "Burung Terbang di Kelam Malam". Setelah halaman demi halaman kubuka, asyik juga Arafat menggoyang ceritanya.
    Cerita diawali dengan tokoh Aku - seorang wartawan- yang bertemu dengan perempuan bernama Aida, gundik seorang politisi, Tuan Beransyah. Tujuan Aku menemuinya adalah untuk menyelidiki soal gundik itu dan cerita-cerita perkenalan dengan politisi Tuan Beransyah. Sebab, ia geram dengan kepongahan Tuan Beransyah, bahwa dirinya tak memiliki gundik seperti desas-desus yang beredar. Aku menilai Beransyah sebagai politisi munafik, makanya ia berkeras diri untuk menyelidiki sendiri soal gundik itu. ia ingin melawan kecongkakan Beransyah.
   Aida digambarkan sebagai perempuan berumur 38 tahun. Berparas ayu: perawakan tubuh bagus, masih padat dan ketat Berkulit agak gelap, bersih, dan terawat. Rambut panjang tergerai. Barangkali mungkin wanita Aceh. Tinggal sendiri.
     Dan, ketika Arafat menggambarkan adegan pertemuan Aku dan Aida, ada kesan tersendiri. sebab, aida tak memakai kerudung atau jilbab untuk menemui laki-laki bukan sanak saudaranya. Ini sesuatu yang ganjil. Tapi, Aida berani dan membukakan pintu. Dari situlah kemudian dialog-dialog berjalan dan mengalir.
     Sampai aku terkesan pada dialog ini:
....
"Kamu punya pacar?"
"Aku belum bisa memastikan."
"Kenapa begitu?"
"Kami sudah berkenalan sekitar dua bulan lalu dan berkawan dekat, tapi kami tidak pernah membicarakan masalah itu. Aku tidak tahu apakah dia jatuh hati kepadaku."
"Kenapa kamu ini masih kolot sekali?"
"Aku tidak ingin buru-buru..."
"Kamu sadar, tidak, bahwa kamu itu tampan? Gadis itu pasti saja sudah terpikat. Apalagi, kalian sudah berkenalan dua bulan!"

"Hmmmm."
"Aku suka hmmm-mu itu."
"Hmmmm!"

Jangkrik, sekali dialog ini! Kaki saya sampai semutan karena baca sambil jongkok di toilet. di hening toilet, tanpa ada orang segelintir, dialog-dialog ini berubah menjadi imajinasi romantis sekali. Aih, sial, aku puasa...

Kulempar buku itu ke atas mesin cuci. bercampur dengan buku P. Swantoro, "Dari Buku ke Buku". Sialnya, aku tak bisa keluar siang itu. Lantas aku mandi...

Ah, dialog sial.

Selasa, 30 Juni 2015

Masalah dalam Menulis

Yang tersulit dari menulis itu yaitu memulai kalimat pertama. Kalau kalimat pertama sudah ketemu, selanjutnya akan sangat mudah. Dan ketika kalimat pertama sudah dituliskan sama nilainya kita sudah melakukan setengah pekerjaan. Kalau kalimat pertama sebuah novel sudah tertulis, berarti kita sudah mengerjakan setengah novel, selanjutnya tinggal mengerjakan setengah lagi. Begitulah saya memotivasi diri sendiri dalam menulis..
      Saya yakin setiap penulis mempunyai masalah dan mengalami hambatan saat menulis, terlebih para pemula. Dulu saya juga pernah mengalami masalah ini saat menulis cerpen kedua saya Tawa Seorang Lelaki di Sebuah Kota Kecil (Harian Waspada). Di tengah-tengah menulis tiba-tiba buntu, mandeg! Saya betul-betul tidak bisa melanjutkan lagi kisah yang sudah terbangun separuh. 
    Berhari-hari saya berpikir keras mencari penyebabnya. Saya membaca banyak buku, teori sastra, cerpen, novel, sejarah, bahasa, kedokteran, filsafat, bahkan kimia, sampai kemudian saya menemui pangkal persoalannya. Akhirnya saya menulis lancar-lancar saja. Percayalah, tanpa kita mengetahui masalah apa yg telah menghambat jalan menulis kita, kita tak bakalan menemukan solusi. 

~Baca kisah unik perjuangan Mustafa dalam menyelesaikan sebuah novel penting dalam TEMPAT PALING SUNYI (Grandha, 2015)

Mencari Jalan Penyelesaian

Hampir dua tahun berlalu, manaka aku hampir menyelesaikan naskah novel ini dan kebingungan menemui akhir yang cocok, aku pun kembali ke Lamlhok, bermaksud hendak menunjukkan hasil kerjaku kepada Riana dan berharap dia bisa memberikan jalan keluar atas masalah ini. Sama sekali aku tidak menemukan gambaran apa pun tentang bagaimana akhir dari novel yang ditulis Mustafa. ~TEMPAT PALING SUNYI (Gramedia, 2015)
Saudara-saudara, novel Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) ternyata tidak beredar di Aceh karena memang tidak memiliki jaringan penyaluran Gramedia. Saya yang mendapat kabar ini dari penerbit sangat kecewa. Saya minta maaf pada pembaca yang sudah bolak-balik ke toko buku tapi tidak menemukannya. Jadi bagi pembaca disarankan untuk berbelanja secara online. Terima kasih.

Minggu, 28 Juni 2015

Yang Tersulir dari Menulis

YANG tersulit dari menulis itu yaitu memulai kalimat pertama. Kalau kalimat pertama sudah ketemu, selanjutnya akan sangat mudah. Dan ketika kalimat pertama sudah dituliskan sama nilainya kita sudah melakukan setengah pekerjaan. Kalau kalimat pertama sebuah novel sudah tertulis, berarti kita sudah mengerjakan setengah novel, selanjutnya tinggal mengerjakan setengah lagi. Begitulah saya memotivasi diri sendiri dalam menulis....



TEMPAT PALING SUNYI
( Arafat Nur —Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011)

* Ukuran : 13.5 x 20 cm
* Tebal : 328 halaman
* Cover : Softcover
* ISBN : 978-602-03-1742-7

Sinopsis

Sebisa mungkin aku menyembunyikan kesedihanku darinya, agar tidak membuatnya tambah hancur... Aku mengintipnya lewat jendela, dan ketika melihatnya kembali dalam kekecewaan, aku pun menangis...”

Mustafa rela mengorbankan dirinya hidup menderita dalam kungkungan Salma, di tengah situasi kacau wilayah yang sedang dilanda perang saudara. Bertahun-tahun dia terus berjuang mewujudkan impiannya, sampai kemudian dia menemui cinta sejati dari Riana yang membangkitkan kembali semangat hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, Mustafa kembali terempas, jatuh terpuruk dalam ketidakberdayaan; di dunia ini dia berjalan seorang diri melalui tempat yang paling sunyi....

“Sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca dalam derasnya arus cerita!” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra

Novel, Perang, dan Cinta Sama Rumitnya


Oleh Radna Tegar Zakaria 

dimuat JAWA POS, 21 Juni 2015.

KETIKA diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), Aceh mengalami perubahan sosial besar. Perang, adu tembak, jatuh korban menjadi pemandangan keseharian. Bukan hanya jatuhnya korban jiwa dalam jumlah skala besar di masyarakat Aceh, tetapi juga menyisakan memar luka dan trauma mendalam. Banyak orang Aceh mengalami trauma hebat atas kekejaman tentara dan apatis terhadap masa depan. Pesimis dan tidak percaya diri menghadapi kehidupan.

Prosa panjang ketiga Arafat Nur, Tempat Paling Sunyi, ini mencoba membedah kelamnya luka pasca perang dari sisi lebih romantis dan unik. Dikisahkan bahwa Mustafa seorang juru ketik di sebuah rental komputer menikahi Salma yang berlatar belakang keluarga pejabat Aceh dengan kehidupan mewah. Pejabat Aceh pada masa itu gemar menilap uang proyek,dalam situasi kacau mudah bagi pejabat pemerintahan mendapatkan uang dari proyek jalan dan bangunan perkantoran, serta sejumlah proyek yang tidak ada pengawasan, bahkan banyak dari proyek itu yang tidak dikerjakan. (hal 24). Mustafa antitesis semua itu. Berusaha jujur meski hidupnya tak makmur dan dicibir istri.

Salma perempuan manja dan gemar membanding-bandingkan kondisi ekonomi dengan tetangga, membuat rumah tidak lagi nyaman bagi Mustafa. Perempuan digambarkan menjadi makhluk yang justru menyusahkan laki-laki. Perempuan tidak hanya sebagai orang kedua sekaligus penghambat. Sikap Salma yang demikian, membuat cita-cita Mustafa membuat novel terseok-seok. Mustafa tidak bisa beranjak banyak. Hingga muncullah sosok Riana, gadis lebih muda dan menerima Mustafa. Kisah cinta segitiga, poligami.

Tantangan lain bahwa Mustafa sadar novel yang dalam angannya berisikan perubahan masyarakat akan hadir di tengah orang-orang anti novel. Masyarakat sekitar Mustafa lebih mengenal novel sebagai picisan dan novel cabul. Mustafa yang serius menulis novel justru dianggap sebagai orang gila.

Ironi disajikan begitu kentara. Mustafa yang hendak menulis novel, ternyata selalu sala menyebut keledai menjadi kedelai, jalang diucapkan lajang. Secara logika normal, bagaimana orang yang tidak mengerti baku-tidak baku kata hendak menulis prosa panjang yang menggugah kemanusian. Sia-sia belaka.

Miris seperti ini terus dibawa sampai akhir novel. Dikisahkan Mustafa berhasil menuntaskan novel namun tidak laku sama sekali. Lantas kematian Mustafa juga penuh ironi, meminum air racun yang sejadinya dipergunakan Salma bunuh diri tidak kuat menanggung perasaan dimadu. Benar-benar ironi. Mustafa tersadar sungguh tidak mungkin dirinya mampu melakukan perubahan besar, apalagi melalui sebuah novel yang tidak terlalu dipandang orang. (hal 224)

Menarik adalah mengungkap lapisan makna dari kehadiran sosok Mustafa. Keterpurukan pasca perang membuat kebanyakan orang sekadar memikirkan bagaimana nasib keluarganya ke depan. Sosok Mustafa menjadi pembeda, sosok yang diam-diam punya pemikiran bahwa hidup bukanlah semata perjuangan mencari makan dan menumpuk kekayaan, banyak hal yang harus dilakukan. Sekecil apapun perbuatan manusia itu mesti ada gunanya, bagi diri sendiri atau orang lain. (hal.41)

Ada sebuah peribahasa, asahlah pedang sebelum membabat hutan. Nasihat ini sesuai untuk kondisi Mustafa yang terlampau berpikir tinggi tanpa sempat mengukur diri. Tidak hanya persoalan masyarakat yang apatis terhadap novel dan istrinya yang tidak mendukung, bahkan kecakapan dalam berbahasa baik saja belum dikuasai oleh Mustafa. Mustafa seperti keong ingin mendaki gunung, tapi tetap tak selesai terlepas dari cangkang. Ini mengingatkan tulisan di nisan Uskup Anglikan di Westminster Abbey tahun 1100 yang ingin mengubah dunia, negara, kota dan keluarga. Namun hingga renta dan mati tak satu pun yang bisa diubahnya.

Atau sebenarnya sosok Mustafa adalah tamparan bagi mereka yang selama ini sibuk urusan perut. Kisah Mustafa untuk dijadikan cermin. Andai Mustafa yang hidup serba terbatas dan banyak persoalan saja masih sempat berpikir kemaslahatan orang lain dan menuliskan prasasti masa depan lewat sebuah novel. Maka kita, yang tidak separah Mustafa hidupnya, memiliki tanggung jawab yang seharusnya lebih besar. Tidak melulu egois asal kita aman, asal kita nyaman, asal kita kenyang tanpa peduli orang sekitar.

Novel ini sedikit berbeda dengan dua novel Arafat Nur sebelumnya, yakni Lampuki(Serambi, 2011) dan Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang Pustaka, 2014). Dua novel sebelumnya menempatkan konflik perang sebagai menu utama. Sedangkan dalam novel ini porsi situasi perang tidak banyak disinggung. Hanya beberapa kalimat yang intertekstual dengan kondisi Aceh perang hingga tsunami. Itu menjadi wajar, karena memang novel ini mencoba menyibak kondisi Aceh pasca perang, pasca TNI ditarik mundur ke Jakarta.

Kritik lain yang ditulis tersurat dan di beberapa bagian tersirat adalah bagaimana bobroknya birokrasi di Aceh pasca perang di kala pembangunan fisik gencar dilakukan. Misalkan, seolah yang memberi makan rakyat adalah pemerintah. Padahal sebaliknya, rakyatlah yang memberi makan mereka, bahkan kekayaan rakyat pula yang dirampas segelintir pejabat dengan cara paling hina, tetapi tampak bahwa mereka adalah orang paling mulia. (hal 22)

Kejutan lain disimpan Arafat Nur menjelang akhir novel ini, meski sekali pernah disinggung di bab pertama. Kehadiran tokoh ‘aku’ penutur semua narasi menjadi kejutan manis yang menyempurnakan kisah Mustafa. Menjadi hal kecil yang mempercantik pembacaan. Disajikan dengan bahasa yang mengalir, melankoli, dan penuh slot untuk direnungkan.[]

Novel yang Tak Sengan-Sengan

Oleh Rakhmad Permana

Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014). Sebuah novel satire karangan Arafat Nur. Novel keduanya yang saya baca setelah Lampuki (Serambi, 2010). Lagi dan lagi, gaya bertuturnya selalu rapi. 
    Arafat juga seperti biasa, tak segan-segan menelanjangi karakter tokoh-tokohnya yang seringkali munafik itu. Gambaran umum tentang Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat islam, akan runtuh ketika membaca novel ini. Manusia-manusia Aceh juga menyimpan sisi kelam malam, ternyata.

Sabtu, 13 Juni 2015

Membaca novel Ini, Emosimu Bergolak

Oleh Tsaki Daruchi

Tempat Paling Sunyi
MUSTAFA tidak bisa menyelesaikan novel yang sedang ditulisnya. Dia butuh tempat paling sunyi untuk menimbulkan letupan-letupan ide. Sayangnya, Salma, istrinya, selalu menggerecoki waktu Mustafa saat ide bergulir di kepalanya. Salma seolah sengaja melakukan hal itu, membuat Mustafa kesal setengah mati.
    Sifat Salma membuat Mustafa jengkel. Begitu pula saya. Sifat Mustafa sendiri membuat saya geregetan.
Emosi saya diajak naik-turun membaca novel ini.
    Ah, di antara pertengkaran yang selalu sengaja dipercikkan Salma... justru Mustafa bertemu Riana, gadis jelita yang membuat Mustafa merasakan indahnya cinta.
      Setelah membaca novel ini, saya menghela napas. Dalam arti baik, tentu saja.
    Omong-omong, seperti Mustafa, rasanya saya butuh tempat paling sunyi!
   
Tri Saputra juga mengatakan "Emosimu akan bergejolak saat membaca novel Tempat Paling Sunyi, ini novel yang bagus!"

Jumat, 12 Juni 2015

Novel dengan Pergumulan Batin yang Luar Biasa Hebat



Oleh Yusrizal Yusuf

Membaca bab-bab pertama novel terbarunya Arafat Nur, penulis hebat dari Aceh ini, aku dapat memahami benar betapa hebatnya pergumulan batin Mustafa (tokoh dalam novel Tempat Paling Sunyi) dalam upayanya melahirkan sebuah novel. Untuknya menulis novel adalah hal yang penting—dia sengaja mengikat diri pada pekerjaan ini, sebuah upaya melampiaskan hasrat kemarahan yang sejenak dapat membawanya dalam ruang kebahagiaan semu dan selanjutnya berakhir dengan ketersiksaan yang lebit hebat (hal. 13).
     Pergumulan batin Mustafa kian bertambah-tambah dengan peliknya hidup dalam suasana perang dan tekanan istrinya Salma dan Mertuanya Syarifah. Menurut mereka pekerjaan menulis novel yang belum tentu mendapatkan uang adalah pekerjaan yang sama sekali tak berfaedah. Meskipun Mustafa melakoni peran sebagai suami yang mencari nafkah dengan bekerja sebagai juru ketik di Lamlhok Computer, tentu saja pekerjaan sesederhana itu tak pernah benar-benar membuat asap dapur rumahnya terus mengepul, atas dasar itu pula sering terjadi percekcokan dengan istrinya dirumah sampai tumpah ke jalan-jalan.
     Untuk istrinya dan mertuanya itu, uang adalah hal sangat penting karena sebelumnya dua anak beranak itu hidup mewah, serba bercukupan dan suka berfoya-foya. Mereka terlalu bodoh untuk mengerti betapa sulitnya hidup ditengah suasana perang yang kian menjadi-jadi. Salma yang kekanak-kanakan dan tak mau mengerti perjuangan suaminya yang menulis novel, kerap kali cemburu dan menuduh Mustafa yang bukan-bukan, menuduh Mustafa mulai bosan lalu main perempuan.
     Nantinya memang segala tuduhan atas diri Mustafa itu seolah menjadi doa untuknya, karena kelak ia bertemu Riana dan jatuh cinta.Tentunya segala pergumulan batin nan hebat itu membawa Mustafa berjalan ke tempat paling sunyi di dunia ini.
    Aku belum bisa menjelaskan banyak hal tentang novel ini, karena belum menamatkannya. Aku masih menebak-nebak akan bagaimana hidup Mustafa nantinya? Bagaimana kabar novel yang ditulisnya? Bagaimana keadaan Salma dan Riana setelahnya? Kau harus membaca novel hebat ini kawan; novel, perang, cinta, penderitaan, sama rumitnya..[]

Tempat Paling Sunyi Karya Arafat Nur Mulai Rambah Tanah Air


LHOKSEUMAWE: Novelis Aceh, Arafat Nur, kembali merilis novel terbarunya bertajuk Tempat Paling Sunyi yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan beredar secarak serentak, Kamis (11/6) di Jakarta dan sekitarnya.
     Novel ini sudah beredar di sejumlah toko-toko buku di kota besar Pulau Jawa sejak Minggu (8/6), diikuti dengan kota-kota lainnya, termasuk Medan dan Banda Aceh. “Sejak Minggu memang sudah ramai pembeli novel ini,” kata Arafat di Lhokseumawe.
    Novel ini mengisahkan perjuangan dan pengorbanan Mustafa, seorang penulis novel tidak terkenal di wilayah yang sedang berkecamuk perang. Seumur hidupnya, dia terus berusaha menuliskan sebuah buku yang dianggapnya sangat penting, demi bangsa dan demi negara.
    Mustafa menghadapi berbagai tantangan, termasuk hubungan rumitnya dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya, yang justru seperti berusaha mengagalkan cita-cita besarnya. Memang pada akhirnya, novel itu berhasil dicetak, tetapi dalam waktu cepat, baik secara sengaja maupun tidak, novel Mustafa itu lenyap semua. Bahkan penulisnya diracun.
    Novel ini sangat inspiratis, mengajarkan tentang ketulusan, keikhlasan, mengenai ketidak-berdayaan, serta kebodohan manusia. Dalam novel ini Arafat Nur menyampaikan banyak pesan penting demi kepentingan dan kemajuan manusia, di mana bangsa ini harus cerdas dan maju dengan mencintai ilmu pengetahuan.
     Sebelumnya, penulis Aceh ini telah menulis Lampuki (Serambi, 2011), novel penting dalam sejarah sastra Indonesia yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011, yang kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan sastrawan dan akademisi.
    
Novel Tempat Paling Sunyi ini sangat layak dibaca siapa saja, terutama mereka yang telah berusia 16 tahun dan dapat memahami bahasa dengan baik. Bahasa novel ini mudah dicerna, ringan, tetapi mengandung pesan pendalam yang menjadi bahan perenungan untuk semua kalangan masyarakat.
    Sedangkan novel Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark of Night yang direncanakan akan tampil di Frankfurt Book Fair (FBF), Oktober 2015 mendatang, dan diliput oleh 10.000 (sepuluh ribu) jurnalis manca negara.
    Kata Arafat, sastra juga bisa mengangkat harkat dan martabat manusia, memperkenalkan bangsa kita pada dunia. Karena di negara-negara maju, masyarakat dan pemerintah amat peduli pada sastra, sehingga banyak sastrawan yang tinggal di negara maju mendapatkan hadiah nobel setiap tahunnya.
    Arafat mengharapkan pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Aceh memperhatikan pengembangan sastra di daerah ini, membantu penulis-penulis yang hidupnya tidaklah terlalu beruntung. “Tidak hanya masyarakat umum, pemerintah juga sangat perlu membaca novel Tempat Paling Sunyi ini,” tandasnya.

Rabu, 10 Juni 2015

Novel Tempat Paling Sunyi Resmi Terbit

Salam sejahtera. Hari ini novel Tempat Paling Sunyi resmi terbit dan beredar luas di sejumlah toko buku Gramedia dan toko buku lainnya di Jakarta dan sekitarnya. Wilayah ujung barat dan ujung timur sedang menyusul. Semoga menghibur, semoga mengimpirasi, semoga mencerahkan. "Anda bisa melewatkan novel saya yang lain, tapi jangan yang ini!," tegas Arafat Nur di Lhokseumawe.


TEMPAT PALING SUNYI
( Arafat Nur —Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011)


Sinopsis:
Sebisa mungkin aku menyembunyikan kesedihanku darinya, agar tidak membuatnya tambah hancur... Aku mengintipnya lewat jendela, dan ketika melihatnya kembali dalam kekecewaan, aku pun menangis...”

Mustafa rela mengorbankan dirinya hidup menderita dalam kungkungan Salma, di tengah situasi kacau wilayah yang sedang dilanda perang saudara. Bertahun-tahun dia terus berjuang mewujudkan impiannya, sampai kemudian dia menemui cinta sejati dari Riana yang membangkitkan kembali semangat hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, Mustafa kembali terempas, jatuh terpuruk dalam ketidakberdayaan; di dunia ini dia berjalan seorang diri melalui tempat yang paling sunyi....

“Sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca dalam derasnya arus cerita!” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.

* Ukuran : 13.5 x 20 cm
* Tebal : 328 halaman
* Cover : Softcover
* ISBN : 978-602-03-1742-7
* Harga : Rp. 68.000,-


Buruan!
Hadiah notes cantik untuk pembelian 2 novel Gramedia Pustaka Utama. 1-30 Juni 2015. Hanya berlaku di toko buku tertentu, yaitu:
1. Gramedia Matraman
2. Gramedia Sumarecon Serpong
3. Gramedia Teras Kota
4. Gramedia Pondok Indah Mal
5. Gramedia Gandaria City
6. Gramedia Bintaro
7. Gramedia Depok

8. Gramedia Mal Kelapa Gading
9. Gramedia Grand Indonesia
10. Gramedia Pondok Gede
11. Gramedia Cijantung
12. Gramedia Mall of Indonesia
13. Gramedia Mega Bekasi
14. Gramedia Mal Taman Anggrek
15. TGA Kwitang
16. TGA Margo City
17. TGA Arion Plaza
18. Gramedia Mal Ciputra Jakarta
19. TGA Tamini
20. TGA Senayan City

Selasa, 09 Juni 2015

Memang Ini Novel Luar Biasa!


Oleh Nasrullah Thaleb

Siang kemarin, aku mendapat kabar dari Bang Arafat, Novel barunya TEMPAT PALING SUNYI (Gramedia, 2015) telah sampai dirumah dan sudah mulai beredar sekarang. Sorenya aku langsung ke rumahnya, membelinya satu. Novel yang sampai ke rumahnya tidak banyak hanya beberapa buah saja yang dihadiahkan oleh penerbit untuknya.
    Jika ada orang pesan dan butuh banyak, dia juga harus membelinya di toko buku layaknya pembaca pada umumnya. Malam ini ketika aku memulai membaca Tempat Paling Sunyi, aku seolah sedang berada diatas sebuah rakit bambu yang dialiri sungai yang deras yang menghanyutkan diriku tanpa mampu lagi aku menepi. Aku seperti dirayunya, dipikat dan di tenggelamkan ke dasar. Di situ ada gejolak penuh cita rasa, Kebencian, kesetiaan, kekonyolan, bahkan derita; semua larut, mengembara.
     Tokoh utamanya, Mustafa, seorang biasa yang tidak punya kelebihan apa-apa, tidak bisa dikatakan jenius, bahkan kadang hampir putus asa, namun dia punya tekad yang kuat untuk mengabdikan hidup demi orang banyak. Dia telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk menyelesaikan sebuah novel. Di tengah berkecamuknya perang, di saat orang-orang sibuk mempertahankan hidupnya di ujung mesiu di malah mempertaruhkannya di ujung pena.
     Tak ada seorang pun kala itu yang menghargai dan mendukung kerja kerasnya, termasuk istrinya sendiri. Perempuan itu tidak lebih dari seorang perempuan pencemburu yang manja yang belum bisa menerima kenyataan hidup mereka yang miskin, juga tidak pernah tau kalau negerinya sedang dilanda perang dan rakyatnya jatuh melarat. Menurut Mustafa, itu karena istrinya dilahirkan dari sebuah keluarga kaya dan terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan dibesarkan dengan kebodohan.
     Dalam keadaan yang sedemikian rupa, Mustafa tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan, ditambah lagi ibu mertuanya yang beranggapan menantunya ternyata hanya seorang lelaki tolol yang sebetar lagi menderita sakit jiwa.
    "Oh Tuhan dosa apakah aku? Aku terjepit di antara dua perempuan bodoh yang tidak mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan diriku yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar." (hal 40).
      Malam ini sebagai permulaan, aku telah menghabiskan tujuh bab, aku belum bisa bercerita banyak kecuali penasaranku akan perjuangan Mustafa dalam menggapai cita-citanya demi mewujudkan mimpinya. Sekalipun ia terkadang berpikir bahwa takkan pernah lahir sebuah novel dari seorang yang menderita dan miskin seperti dirinya. Akankah Mustafa akan menyerah dalam keterpurukannya?
     Membayangkan penderitaan Mustafa, aku ikut merasa sedih dan terenyuh. Aku bahkan tidak mampu melukisnya dengan luna yang mahal sekalipun, kecuali kau sendiri yang membacanya, dan aku yakin kau akan langsung terjerumus dalam alurnya yang deras.
    “Menulis novel adalah ketersiksaan di suatu sisi dan kenikmatan pada sisi yang lainnya. Namun bukan alasan itu semata untuk sejemput kabahagiaan ini-- dia melakukan pekerjaan menulis, sama sekali bukan. Ini adalah tanggung jawab yang besar dalam hidupnya, bila bisa dikatakan demikian, di saat tidak ada jalan lain baginya mengisi dan memaknai hidup yang sangat singkat ini.” (hal- 13).
     Malam ini saat usai membaca novel ini aku tidak bisa memejamkan mataku, hatiku telah rusuh. Aku tidak mampu membayangkan kepedihan dan penderitaan apa lagi yang sedang menunggu Mustafa.  Akankah dia benar-benar tiba pada titik yang paling sunyi?
     Aku sangat menderita bila nanti tidak sempat menkhatam novel ini sampai akhir. Karena kegelisahan ini, aku tidak bisa tidur, semalam aku telah bangun tujuh kali untuk buang air kecil ke kamar mandi dan tanpa sadar aku mengkhatamnya satu kali di kasur....