Selasa, 12 Mei 2015

Mari Kita Bicara dari Hati ke Hati

(Untuk Sebuah Pembelajaran yang Harus Dimaklumi)
 Oleh Arafat Nur

Tempat Paling Sunyi
SAYA minta maaf pada pembaca saya yang ingin catting, saya tak bisa, saya tak punya waktu, apalagi orang yang ingin catting begitu banyak. Belum lagi menghadapi pertanyaan yang bertubi-tubi, dari minta buku sampai minta diajari menulis. Sebenarnya saya sangat ingin, tapi saya tak punya banyak waktu. Saya online hanya ketika di kantor. Selebihnya saya sibuk dengan pekerjaan lain; menulis, membaca, mengumpulkan data, sesekali mengajar (sering tidak dapat imbalan), dan pada malamnya saya mengaji. Saya juga disibuki dengan menelusuri kampung-kampung terpencil, berbicara dengan banyak orang, membuat laporan harian, kadang juga mengurus rumah, masak, dan mencuci pakaian.

Saya agak terganggu bila ada inbox yang masuk lebih dari tiga kali. Kalau isinya hanya sekadar saja, tidak terlalu penting, saya tidak menanggapi. Begitu juga yang minta pertemanan di akun ini (akun informasi novel, perihal pribadi, dan sastra), tidak semuanya bisa ditanggapi. Pertemanan akan diterima bila si peminta mengunjungi akun ini dan membaca status dengan tanda “like” atau muncul komentar di status terbaru. Itulah sebabnya ada seratusan lebih permintaan pertemanan di akun ini yang masih menunggu, sebagian besarnya saya lihat tidak menyukai buku. Sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah, mereka yang menjadi teman, tidak pernah singgah, malahan tidak kenal, sehingga banyak orang lain yang mengeluh sampai kemudian saya harus membuat akun baru lain.

Disebabkan saya tidak menanggapi inbox dan pertemanan, kemudian saya dikatakan sombong, sok, dan macam-macamlah. Kalau memang ingin bercakap-cakap panjang lebar masalah sastra dengan saya bisa di twitter @arafat_nur atau gabung langsung di Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL). Untuk gabung bisa hubungi Sdr Nasrul, Yusri, dan Zahra. Satu hal lagi yang membuat saya mendongkol, mereka yang ingin belajar menulis pada saya tidak suka membaca buku, dan tidak pula membaca novel saya. Jadi, bagaimana saya harus mengajarinya? Percayalah, kalau tidak suka membaca tidak akan berhasil sampai kapan pun.

Teman-teman yang baik hatinya, saya menulis karena saya mencintai Tuhan, mencintai alam, mencintai manusia, mencintai kalian. Saya menulis bukan untuk ketenaran, bukan semata demi uang (karena saya tak bisa kaya dengan menulis). Tujuan saya menulis untuk kebaikan, perubahan, kasih-sayang, berkomunikasi dengan banyak orang sambil memberikan hiburan, dan berharap bisa terjadi perubahan bagi pribadi pembaca, bagi keadaan negeri, dan bagi kehidupan kita semua agar lebih berkualitas.

Mohon maaf sekali lagi, status ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun, selain hanya curhatan saya kepada teman-teman yang sudah saya anggap bagian dari keluarga saya. Saya katakan ini atas nama kekeluargaan, persahabatan, dan persaudaraan. Semoga bisa dimengerti dan dimaklumi. Dan jangan lupa nantikan Tempat Paling Sunyi terbit pada pertengahan Juni ini. Insya Allah!

Kamis, 07 Mei 2015

Tempat Paling Sunyi, Novel Terbaru Arafat Nur



Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015)
Aku tidak bermaksud menulis ulang Tempat Paling Sunyi, kecuali beberapa bagian yang bisa kutemukan gambarannya secara jelas. Kisah ini sendiri kubiarkan mengalir apa adanya, tanpa aku bermaksud menutupi kenyataan sebenarnya, dengan berlandaskan pada sejumlah catatan Mustafa, juga hasil penyelusuranku terhadap kisah hidup lelaki itu, sehingga aku tetap mengukuhkan diri dengan judul yang sama lantaran tidak menemukan judul lain yang lebih tepat.

Rabu, 06 Mei 2015

Tempat Paling Sunyi

Azamy Muchlis



Waktu itu aku lupa bahwa usia Riana sudah menanjak tiga puluhan dan kesan yang kupikirkan adalah dia masih gadis tanggung, seakan-akan waktu tak singgah padanya. Senyumnya betul-betul menggetarkan sehingga aku hampir lupa diri kala menjabat tangannya. Sejenak dia pun tanpak tertegun, agak terkejut menatapku, seoalah-olah wajahku mengingatkannya pada sesuatu....



Tempat Paling Sunyi
ITULAH penggalan novel Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) karya Arafat Nur yang sedang dalam proses penerbitan yang direncanakan Juni depan. Novel setebal 328 halaman ini, menurut Arafat, sangat menyentuhnya. "Saya terbawa-bawa dengan kesan-kesan sederhana yang ditimbulkan. Saya begitu bergairah dalam menggarapnya. Sehingga saya tak membutuhkan waktu begitu lama untuk menyelesaikan drafnya. Tapi proses revisinya sampai empat tahun," ucap Arafat, Rabu (6/5).

       Tentang gagasan menulis novel ini sendiri datangnya tak disangka-sangka ketika sebulan dia pulang dari memberi materi seminar sastra di Padang. Waktu itu dia memang memiliki banyak waktu senggang, sehingga dia menelusuri hutan Sawang mencari untuk mencari batu cincin di sungai. Pada hari yang lain dia sering bertemu muka dan berbincang-bincang dengan seorang guru ngaji yang memiliki suatu keistimewaan-- dapat bercakap-cakap dengan makhluk halus.

       Kehidupan sehari-hari tentang dunia kepenulisan dan hubungannya dengan penulis-penulis Aceh, turut andil dalam mempengaruhi novel ini. Tempat Paling Sunyi membeberkan secara lugas tentang dunia dan kehidupan penulis yang ada di wilayah konflik, serta masalah-masalah yang dihadapi. Hup! Tapi tidaklah sesederhana itu ceritanya. Kisahnya benuh dengan lika-liku kehidupan Mustafa yang rumit, penuh tekanan, dan juga kisah unik cintanya. Kegagalannya dengan istri pertama membuatnya harus mengawini perempuan lain, yang sampai akhir hayatnya tetap menjadi perempuan simpanan.

      Berikut ini adalah sinopsisnya:


     Mustafa, seorang novelis yang tinggal di wilayah kecil dan dilanda kekacauan, mengalami banyak masalah pelik di seputar hidupnya sendiri dan harus menghadapi sejumlah peristiwa besar lain di lingkungan kota tempat tinggalnya. Di tengah-tengah kerumitan urusan keluarga dan kekacauan situasi yang senantiasa timbul, dia bertekad kuat dan berusaha keras untuk menyelesaikan sebuah novel yang diyakini kelak akan menjadi karya hebat yang dapat memengaruhi orang dan mengubah negeri yang selalu dalam kancah pertikaian ini.

Tempat Paling Sunyi
Mustafa mengalami banyak hal rumit, pertengkaran dengan istrinya, Salma, yang kerap terjadi saban hari menyebabkannya tidak bisa bekerja. Sementara orang-orang di sekelilingnya memandang aneh dan sama sekali tak mengerti dengan novel—bahkan mertuanya bertanya, “Binatang apa itu?” Menulis novel yang merupakan cita-cita Mustafa dalam hidupnya itu segera kandas oleh situasi keluarga dan situasi politik yang tidak mendukung, tetapi begitu dia mengenal Riana, yang kemudian menjadi istri simpananya, gairahnya menyala kembali, sampai kemudian dia dapat merampungkan novelnya. Namun, novel itu malah lenyap setelah sempat terbit dengan jumlah sangat terbatas yang kemudian menyebabkannya sebagai penulis gagal.

Novel ini mengisahkan romantika pelik hubungan manusia, keterasingan hubungan dengan Tuhan, dan kegamangan menghadapi dunia. Diceritakan dengan sederhana, lugas, jenaka, sendu, sedih, dan gembira. Kaya cita rasa, termasuk masalah-masalah rumit yang berhubungan dengan dunia kepenulisan dan sastra, keterkaitannya dengan politik dan hubungan dengan Sang Pencipta. Juga membahas secara sepintas lalu perbandingan sastra di Indonesia[]