Selasa, 30 Juni 2015

Masalah dalam Menulis

Yang tersulit dari menulis itu yaitu memulai kalimat pertama. Kalau kalimat pertama sudah ketemu, selanjutnya akan sangat mudah. Dan ketika kalimat pertama sudah dituliskan sama nilainya kita sudah melakukan setengah pekerjaan. Kalau kalimat pertama sebuah novel sudah tertulis, berarti kita sudah mengerjakan setengah novel, selanjutnya tinggal mengerjakan setengah lagi. Begitulah saya memotivasi diri sendiri dalam menulis..
      Saya yakin setiap penulis mempunyai masalah dan mengalami hambatan saat menulis, terlebih para pemula. Dulu saya juga pernah mengalami masalah ini saat menulis cerpen kedua saya Tawa Seorang Lelaki di Sebuah Kota Kecil (Harian Waspada). Di tengah-tengah menulis tiba-tiba buntu, mandeg! Saya betul-betul tidak bisa melanjutkan lagi kisah yang sudah terbangun separuh. 
    Berhari-hari saya berpikir keras mencari penyebabnya. Saya membaca banyak buku, teori sastra, cerpen, novel, sejarah, bahasa, kedokteran, filsafat, bahkan kimia, sampai kemudian saya menemui pangkal persoalannya. Akhirnya saya menulis lancar-lancar saja. Percayalah, tanpa kita mengetahui masalah apa yg telah menghambat jalan menulis kita, kita tak bakalan menemukan solusi. 

~Baca kisah unik perjuangan Mustafa dalam menyelesaikan sebuah novel penting dalam TEMPAT PALING SUNYI (Grandha, 2015)

Mencari Jalan Penyelesaian

Hampir dua tahun berlalu, manaka aku hampir menyelesaikan naskah novel ini dan kebingungan menemui akhir yang cocok, aku pun kembali ke Lamlhok, bermaksud hendak menunjukkan hasil kerjaku kepada Riana dan berharap dia bisa memberikan jalan keluar atas masalah ini. Sama sekali aku tidak menemukan gambaran apa pun tentang bagaimana akhir dari novel yang ditulis Mustafa. ~TEMPAT PALING SUNYI (Gramedia, 2015)
Saudara-saudara, novel Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) ternyata tidak beredar di Aceh karena memang tidak memiliki jaringan penyaluran Gramedia. Saya yang mendapat kabar ini dari penerbit sangat kecewa. Saya minta maaf pada pembaca yang sudah bolak-balik ke toko buku tapi tidak menemukannya. Jadi bagi pembaca disarankan untuk berbelanja secara online. Terima kasih.

Minggu, 28 Juni 2015

Yang Tersulir dari Menulis

YANG tersulit dari menulis itu yaitu memulai kalimat pertama. Kalau kalimat pertama sudah ketemu, selanjutnya akan sangat mudah. Dan ketika kalimat pertama sudah dituliskan sama nilainya kita sudah melakukan setengah pekerjaan. Kalau kalimat pertama sebuah novel sudah tertulis, berarti kita sudah mengerjakan setengah novel, selanjutnya tinggal mengerjakan setengah lagi. Begitulah saya memotivasi diri sendiri dalam menulis....



TEMPAT PALING SUNYI
( Arafat Nur —Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011)

* Ukuran : 13.5 x 20 cm
* Tebal : 328 halaman
* Cover : Softcover
* ISBN : 978-602-03-1742-7

Sinopsis

Sebisa mungkin aku menyembunyikan kesedihanku darinya, agar tidak membuatnya tambah hancur... Aku mengintipnya lewat jendela, dan ketika melihatnya kembali dalam kekecewaan, aku pun menangis...”

Mustafa rela mengorbankan dirinya hidup menderita dalam kungkungan Salma, di tengah situasi kacau wilayah yang sedang dilanda perang saudara. Bertahun-tahun dia terus berjuang mewujudkan impiannya, sampai kemudian dia menemui cinta sejati dari Riana yang membangkitkan kembali semangat hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, Mustafa kembali terempas, jatuh terpuruk dalam ketidakberdayaan; di dunia ini dia berjalan seorang diri melalui tempat yang paling sunyi....

“Sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca dalam derasnya arus cerita!” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra

Novel, Perang, dan Cinta Sama Rumitnya


Oleh Radna Tegar Zakaria 

dimuat JAWA POS, 21 Juni 2015.

KETIKA diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), Aceh mengalami perubahan sosial besar. Perang, adu tembak, jatuh korban menjadi pemandangan keseharian. Bukan hanya jatuhnya korban jiwa dalam jumlah skala besar di masyarakat Aceh, tetapi juga menyisakan memar luka dan trauma mendalam. Banyak orang Aceh mengalami trauma hebat atas kekejaman tentara dan apatis terhadap masa depan. Pesimis dan tidak percaya diri menghadapi kehidupan.

Prosa panjang ketiga Arafat Nur, Tempat Paling Sunyi, ini mencoba membedah kelamnya luka pasca perang dari sisi lebih romantis dan unik. Dikisahkan bahwa Mustafa seorang juru ketik di sebuah rental komputer menikahi Salma yang berlatar belakang keluarga pejabat Aceh dengan kehidupan mewah. Pejabat Aceh pada masa itu gemar menilap uang proyek,dalam situasi kacau mudah bagi pejabat pemerintahan mendapatkan uang dari proyek jalan dan bangunan perkantoran, serta sejumlah proyek yang tidak ada pengawasan, bahkan banyak dari proyek itu yang tidak dikerjakan. (hal 24). Mustafa antitesis semua itu. Berusaha jujur meski hidupnya tak makmur dan dicibir istri.

Salma perempuan manja dan gemar membanding-bandingkan kondisi ekonomi dengan tetangga, membuat rumah tidak lagi nyaman bagi Mustafa. Perempuan digambarkan menjadi makhluk yang justru menyusahkan laki-laki. Perempuan tidak hanya sebagai orang kedua sekaligus penghambat. Sikap Salma yang demikian, membuat cita-cita Mustafa membuat novel terseok-seok. Mustafa tidak bisa beranjak banyak. Hingga muncullah sosok Riana, gadis lebih muda dan menerima Mustafa. Kisah cinta segitiga, poligami.

Tantangan lain bahwa Mustafa sadar novel yang dalam angannya berisikan perubahan masyarakat akan hadir di tengah orang-orang anti novel. Masyarakat sekitar Mustafa lebih mengenal novel sebagai picisan dan novel cabul. Mustafa yang serius menulis novel justru dianggap sebagai orang gila.

Ironi disajikan begitu kentara. Mustafa yang hendak menulis novel, ternyata selalu sala menyebut keledai menjadi kedelai, jalang diucapkan lajang. Secara logika normal, bagaimana orang yang tidak mengerti baku-tidak baku kata hendak menulis prosa panjang yang menggugah kemanusian. Sia-sia belaka.

Miris seperti ini terus dibawa sampai akhir novel. Dikisahkan Mustafa berhasil menuntaskan novel namun tidak laku sama sekali. Lantas kematian Mustafa juga penuh ironi, meminum air racun yang sejadinya dipergunakan Salma bunuh diri tidak kuat menanggung perasaan dimadu. Benar-benar ironi. Mustafa tersadar sungguh tidak mungkin dirinya mampu melakukan perubahan besar, apalagi melalui sebuah novel yang tidak terlalu dipandang orang. (hal 224)

Menarik adalah mengungkap lapisan makna dari kehadiran sosok Mustafa. Keterpurukan pasca perang membuat kebanyakan orang sekadar memikirkan bagaimana nasib keluarganya ke depan. Sosok Mustafa menjadi pembeda, sosok yang diam-diam punya pemikiran bahwa hidup bukanlah semata perjuangan mencari makan dan menumpuk kekayaan, banyak hal yang harus dilakukan. Sekecil apapun perbuatan manusia itu mesti ada gunanya, bagi diri sendiri atau orang lain. (hal.41)

Ada sebuah peribahasa, asahlah pedang sebelum membabat hutan. Nasihat ini sesuai untuk kondisi Mustafa yang terlampau berpikir tinggi tanpa sempat mengukur diri. Tidak hanya persoalan masyarakat yang apatis terhadap novel dan istrinya yang tidak mendukung, bahkan kecakapan dalam berbahasa baik saja belum dikuasai oleh Mustafa. Mustafa seperti keong ingin mendaki gunung, tapi tetap tak selesai terlepas dari cangkang. Ini mengingatkan tulisan di nisan Uskup Anglikan di Westminster Abbey tahun 1100 yang ingin mengubah dunia, negara, kota dan keluarga. Namun hingga renta dan mati tak satu pun yang bisa diubahnya.

Atau sebenarnya sosok Mustafa adalah tamparan bagi mereka yang selama ini sibuk urusan perut. Kisah Mustafa untuk dijadikan cermin. Andai Mustafa yang hidup serba terbatas dan banyak persoalan saja masih sempat berpikir kemaslahatan orang lain dan menuliskan prasasti masa depan lewat sebuah novel. Maka kita, yang tidak separah Mustafa hidupnya, memiliki tanggung jawab yang seharusnya lebih besar. Tidak melulu egois asal kita aman, asal kita nyaman, asal kita kenyang tanpa peduli orang sekitar.

Novel ini sedikit berbeda dengan dua novel Arafat Nur sebelumnya, yakni Lampuki(Serambi, 2011) dan Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang Pustaka, 2014). Dua novel sebelumnya menempatkan konflik perang sebagai menu utama. Sedangkan dalam novel ini porsi situasi perang tidak banyak disinggung. Hanya beberapa kalimat yang intertekstual dengan kondisi Aceh perang hingga tsunami. Itu menjadi wajar, karena memang novel ini mencoba menyibak kondisi Aceh pasca perang, pasca TNI ditarik mundur ke Jakarta.

Kritik lain yang ditulis tersurat dan di beberapa bagian tersirat adalah bagaimana bobroknya birokrasi di Aceh pasca perang di kala pembangunan fisik gencar dilakukan. Misalkan, seolah yang memberi makan rakyat adalah pemerintah. Padahal sebaliknya, rakyatlah yang memberi makan mereka, bahkan kekayaan rakyat pula yang dirampas segelintir pejabat dengan cara paling hina, tetapi tampak bahwa mereka adalah orang paling mulia. (hal 22)

Kejutan lain disimpan Arafat Nur menjelang akhir novel ini, meski sekali pernah disinggung di bab pertama. Kehadiran tokoh ‘aku’ penutur semua narasi menjadi kejutan manis yang menyempurnakan kisah Mustafa. Menjadi hal kecil yang mempercantik pembacaan. Disajikan dengan bahasa yang mengalir, melankoli, dan penuh slot untuk direnungkan.[]

Novel yang Tak Sengan-Sengan

Oleh Rakhmad Permana

Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014). Sebuah novel satire karangan Arafat Nur. Novel keduanya yang saya baca setelah Lampuki (Serambi, 2010). Lagi dan lagi, gaya bertuturnya selalu rapi. 
    Arafat juga seperti biasa, tak segan-segan menelanjangi karakter tokoh-tokohnya yang seringkali munafik itu. Gambaran umum tentang Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat islam, akan runtuh ketika membaca novel ini. Manusia-manusia Aceh juga menyimpan sisi kelam malam, ternyata.

Sabtu, 13 Juni 2015

Membaca novel Ini, Emosimu Bergolak

Oleh Tsaki Daruchi

Tempat Paling Sunyi
MUSTAFA tidak bisa menyelesaikan novel yang sedang ditulisnya. Dia butuh tempat paling sunyi untuk menimbulkan letupan-letupan ide. Sayangnya, Salma, istrinya, selalu menggerecoki waktu Mustafa saat ide bergulir di kepalanya. Salma seolah sengaja melakukan hal itu, membuat Mustafa kesal setengah mati.
    Sifat Salma membuat Mustafa jengkel. Begitu pula saya. Sifat Mustafa sendiri membuat saya geregetan.
Emosi saya diajak naik-turun membaca novel ini.
    Ah, di antara pertengkaran yang selalu sengaja dipercikkan Salma... justru Mustafa bertemu Riana, gadis jelita yang membuat Mustafa merasakan indahnya cinta.
      Setelah membaca novel ini, saya menghela napas. Dalam arti baik, tentu saja.
    Omong-omong, seperti Mustafa, rasanya saya butuh tempat paling sunyi!
   
Tri Saputra juga mengatakan "Emosimu akan bergejolak saat membaca novel Tempat Paling Sunyi, ini novel yang bagus!"

Jumat, 12 Juni 2015

Novel dengan Pergumulan Batin yang Luar Biasa Hebat



Oleh Yusrizal Yusuf

Membaca bab-bab pertama novel terbarunya Arafat Nur, penulis hebat dari Aceh ini, aku dapat memahami benar betapa hebatnya pergumulan batin Mustafa (tokoh dalam novel Tempat Paling Sunyi) dalam upayanya melahirkan sebuah novel. Untuknya menulis novel adalah hal yang penting—dia sengaja mengikat diri pada pekerjaan ini, sebuah upaya melampiaskan hasrat kemarahan yang sejenak dapat membawanya dalam ruang kebahagiaan semu dan selanjutnya berakhir dengan ketersiksaan yang lebit hebat (hal. 13).
     Pergumulan batin Mustafa kian bertambah-tambah dengan peliknya hidup dalam suasana perang dan tekanan istrinya Salma dan Mertuanya Syarifah. Menurut mereka pekerjaan menulis novel yang belum tentu mendapatkan uang adalah pekerjaan yang sama sekali tak berfaedah. Meskipun Mustafa melakoni peran sebagai suami yang mencari nafkah dengan bekerja sebagai juru ketik di Lamlhok Computer, tentu saja pekerjaan sesederhana itu tak pernah benar-benar membuat asap dapur rumahnya terus mengepul, atas dasar itu pula sering terjadi percekcokan dengan istrinya dirumah sampai tumpah ke jalan-jalan.
     Untuk istrinya dan mertuanya itu, uang adalah hal sangat penting karena sebelumnya dua anak beranak itu hidup mewah, serba bercukupan dan suka berfoya-foya. Mereka terlalu bodoh untuk mengerti betapa sulitnya hidup ditengah suasana perang yang kian menjadi-jadi. Salma yang kekanak-kanakan dan tak mau mengerti perjuangan suaminya yang menulis novel, kerap kali cemburu dan menuduh Mustafa yang bukan-bukan, menuduh Mustafa mulai bosan lalu main perempuan.
     Nantinya memang segala tuduhan atas diri Mustafa itu seolah menjadi doa untuknya, karena kelak ia bertemu Riana dan jatuh cinta.Tentunya segala pergumulan batin nan hebat itu membawa Mustafa berjalan ke tempat paling sunyi di dunia ini.
    Aku belum bisa menjelaskan banyak hal tentang novel ini, karena belum menamatkannya. Aku masih menebak-nebak akan bagaimana hidup Mustafa nantinya? Bagaimana kabar novel yang ditulisnya? Bagaimana keadaan Salma dan Riana setelahnya? Kau harus membaca novel hebat ini kawan; novel, perang, cinta, penderitaan, sama rumitnya..[]

Tempat Paling Sunyi Karya Arafat Nur Mulai Rambah Tanah Air


LHOKSEUMAWE: Novelis Aceh, Arafat Nur, kembali merilis novel terbarunya bertajuk Tempat Paling Sunyi yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan beredar secarak serentak, Kamis (11/6) di Jakarta dan sekitarnya.
     Novel ini sudah beredar di sejumlah toko-toko buku di kota besar Pulau Jawa sejak Minggu (8/6), diikuti dengan kota-kota lainnya, termasuk Medan dan Banda Aceh. “Sejak Minggu memang sudah ramai pembeli novel ini,” kata Arafat di Lhokseumawe.
    Novel ini mengisahkan perjuangan dan pengorbanan Mustafa, seorang penulis novel tidak terkenal di wilayah yang sedang berkecamuk perang. Seumur hidupnya, dia terus berusaha menuliskan sebuah buku yang dianggapnya sangat penting, demi bangsa dan demi negara.
    Mustafa menghadapi berbagai tantangan, termasuk hubungan rumitnya dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya, yang justru seperti berusaha mengagalkan cita-cita besarnya. Memang pada akhirnya, novel itu berhasil dicetak, tetapi dalam waktu cepat, baik secara sengaja maupun tidak, novel Mustafa itu lenyap semua. Bahkan penulisnya diracun.
    Novel ini sangat inspiratis, mengajarkan tentang ketulusan, keikhlasan, mengenai ketidak-berdayaan, serta kebodohan manusia. Dalam novel ini Arafat Nur menyampaikan banyak pesan penting demi kepentingan dan kemajuan manusia, di mana bangsa ini harus cerdas dan maju dengan mencintai ilmu pengetahuan.
     Sebelumnya, penulis Aceh ini telah menulis Lampuki (Serambi, 2011), novel penting dalam sejarah sastra Indonesia yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011, yang kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan sastrawan dan akademisi.
    
Novel Tempat Paling Sunyi ini sangat layak dibaca siapa saja, terutama mereka yang telah berusia 16 tahun dan dapat memahami bahasa dengan baik. Bahasa novel ini mudah dicerna, ringan, tetapi mengandung pesan pendalam yang menjadi bahan perenungan untuk semua kalangan masyarakat.
    Sedangkan novel Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark of Night yang direncanakan akan tampil di Frankfurt Book Fair (FBF), Oktober 2015 mendatang, dan diliput oleh 10.000 (sepuluh ribu) jurnalis manca negara.
    Kata Arafat, sastra juga bisa mengangkat harkat dan martabat manusia, memperkenalkan bangsa kita pada dunia. Karena di negara-negara maju, masyarakat dan pemerintah amat peduli pada sastra, sehingga banyak sastrawan yang tinggal di negara maju mendapatkan hadiah nobel setiap tahunnya.
    Arafat mengharapkan pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Aceh memperhatikan pengembangan sastra di daerah ini, membantu penulis-penulis yang hidupnya tidaklah terlalu beruntung. “Tidak hanya masyarakat umum, pemerintah juga sangat perlu membaca novel Tempat Paling Sunyi ini,” tandasnya.

Rabu, 10 Juni 2015

Novel Tempat Paling Sunyi Resmi Terbit

Salam sejahtera. Hari ini novel Tempat Paling Sunyi resmi terbit dan beredar luas di sejumlah toko buku Gramedia dan toko buku lainnya di Jakarta dan sekitarnya. Wilayah ujung barat dan ujung timur sedang menyusul. Semoga menghibur, semoga mengimpirasi, semoga mencerahkan. "Anda bisa melewatkan novel saya yang lain, tapi jangan yang ini!," tegas Arafat Nur di Lhokseumawe.


TEMPAT PALING SUNYI
( Arafat Nur —Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011)


Sinopsis:
Sebisa mungkin aku menyembunyikan kesedihanku darinya, agar tidak membuatnya tambah hancur... Aku mengintipnya lewat jendela, dan ketika melihatnya kembali dalam kekecewaan, aku pun menangis...”

Mustafa rela mengorbankan dirinya hidup menderita dalam kungkungan Salma, di tengah situasi kacau wilayah yang sedang dilanda perang saudara. Bertahun-tahun dia terus berjuang mewujudkan impiannya, sampai kemudian dia menemui cinta sejati dari Riana yang membangkitkan kembali semangat hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, Mustafa kembali terempas, jatuh terpuruk dalam ketidakberdayaan; di dunia ini dia berjalan seorang diri melalui tempat yang paling sunyi....

“Sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca dalam derasnya arus cerita!” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.

* Ukuran : 13.5 x 20 cm
* Tebal : 328 halaman
* Cover : Softcover
* ISBN : 978-602-03-1742-7
* Harga : Rp. 68.000,-


Buruan!
Hadiah notes cantik untuk pembelian 2 novel Gramedia Pustaka Utama. 1-30 Juni 2015. Hanya berlaku di toko buku tertentu, yaitu:
1. Gramedia Matraman
2. Gramedia Sumarecon Serpong
3. Gramedia Teras Kota
4. Gramedia Pondok Indah Mal
5. Gramedia Gandaria City
6. Gramedia Bintaro
7. Gramedia Depok

8. Gramedia Mal Kelapa Gading
9. Gramedia Grand Indonesia
10. Gramedia Pondok Gede
11. Gramedia Cijantung
12. Gramedia Mall of Indonesia
13. Gramedia Mega Bekasi
14. Gramedia Mal Taman Anggrek
15. TGA Kwitang
16. TGA Margo City
17. TGA Arion Plaza
18. Gramedia Mal Ciputra Jakarta
19. TGA Tamini
20. TGA Senayan City

Selasa, 09 Juni 2015

Memang Ini Novel Luar Biasa!


Oleh Nasrullah Thaleb

Siang kemarin, aku mendapat kabar dari Bang Arafat, Novel barunya TEMPAT PALING SUNYI (Gramedia, 2015) telah sampai dirumah dan sudah mulai beredar sekarang. Sorenya aku langsung ke rumahnya, membelinya satu. Novel yang sampai ke rumahnya tidak banyak hanya beberapa buah saja yang dihadiahkan oleh penerbit untuknya.
    Jika ada orang pesan dan butuh banyak, dia juga harus membelinya di toko buku layaknya pembaca pada umumnya. Malam ini ketika aku memulai membaca Tempat Paling Sunyi, aku seolah sedang berada diatas sebuah rakit bambu yang dialiri sungai yang deras yang menghanyutkan diriku tanpa mampu lagi aku menepi. Aku seperti dirayunya, dipikat dan di tenggelamkan ke dasar. Di situ ada gejolak penuh cita rasa, Kebencian, kesetiaan, kekonyolan, bahkan derita; semua larut, mengembara.
     Tokoh utamanya, Mustafa, seorang biasa yang tidak punya kelebihan apa-apa, tidak bisa dikatakan jenius, bahkan kadang hampir putus asa, namun dia punya tekad yang kuat untuk mengabdikan hidup demi orang banyak. Dia telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk menyelesaikan sebuah novel. Di tengah berkecamuknya perang, di saat orang-orang sibuk mempertahankan hidupnya di ujung mesiu di malah mempertaruhkannya di ujung pena.
     Tak ada seorang pun kala itu yang menghargai dan mendukung kerja kerasnya, termasuk istrinya sendiri. Perempuan itu tidak lebih dari seorang perempuan pencemburu yang manja yang belum bisa menerima kenyataan hidup mereka yang miskin, juga tidak pernah tau kalau negerinya sedang dilanda perang dan rakyatnya jatuh melarat. Menurut Mustafa, itu karena istrinya dilahirkan dari sebuah keluarga kaya dan terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan dibesarkan dengan kebodohan.
     Dalam keadaan yang sedemikian rupa, Mustafa tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan, ditambah lagi ibu mertuanya yang beranggapan menantunya ternyata hanya seorang lelaki tolol yang sebetar lagi menderita sakit jiwa.
    "Oh Tuhan dosa apakah aku? Aku terjepit di antara dua perempuan bodoh yang tidak mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan diriku yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar." (hal 40).
      Malam ini sebagai permulaan, aku telah menghabiskan tujuh bab, aku belum bisa bercerita banyak kecuali penasaranku akan perjuangan Mustafa dalam menggapai cita-citanya demi mewujudkan mimpinya. Sekalipun ia terkadang berpikir bahwa takkan pernah lahir sebuah novel dari seorang yang menderita dan miskin seperti dirinya. Akankah Mustafa akan menyerah dalam keterpurukannya?
     Membayangkan penderitaan Mustafa, aku ikut merasa sedih dan terenyuh. Aku bahkan tidak mampu melukisnya dengan luna yang mahal sekalipun, kecuali kau sendiri yang membacanya, dan aku yakin kau akan langsung terjerumus dalam alurnya yang deras.
    “Menulis novel adalah ketersiksaan di suatu sisi dan kenikmatan pada sisi yang lainnya. Namun bukan alasan itu semata untuk sejemput kabahagiaan ini-- dia melakukan pekerjaan menulis, sama sekali bukan. Ini adalah tanggung jawab yang besar dalam hidupnya, bila bisa dikatakan demikian, di saat tidak ada jalan lain baginya mengisi dan memaknai hidup yang sangat singkat ini.” (hal- 13).
     Malam ini saat usai membaca novel ini aku tidak bisa memejamkan mataku, hatiku telah rusuh. Aku tidak mampu membayangkan kepedihan dan penderitaan apa lagi yang sedang menunggu Mustafa.  Akankah dia benar-benar tiba pada titik yang paling sunyi?
     Aku sangat menderita bila nanti tidak sempat menkhatam novel ini sampai akhir. Karena kegelisahan ini, aku tidak bisa tidur, semalam aku telah bangun tujuh kali untuk buang air kecil ke kamar mandi dan tanpa sadar aku mengkhatamnya satu kali di kasur....


Kegemaran Musik dan Menulis Novel



Tempat Paling Sunyi dan novel catatan tangan

Lagi mendengar lagu Ten Out Of Ten dinyanyikan Louchie Lou & Michie One, yang merupakan kolaborasi dengan simponi Mozart 40. Rasanya senang sekali. Sekitar 10 tahun lalu, pada 2005, waktu aku masih tinggal di rumah baru tempat setting novel Lampuki, aku kerap memutar VCD lagu ini, karena televisi tidak bisa menangkap siaran, baik RCTI maupun TVRI, apalagi lainnya. Padahal aku telah memasang antena 2F dengan tiang besi yang cukup tinggi, karena aku tidak punya uang untuk membeli parabola. Uangku habis semua untuk beli rumah dan kebutuhan lain.

Kaset VCD ini hilang dipinjam seseorang dan tidak pernah dikembalikan lagi. Sialnya aku tidak tahu apa judul dan siapa penyanyinya. Bertahun-tahun aku mencarinya di Youtube, tapi tidak ketemu. Ketika kutanyakan pada kawan-kawan, mereka juga kebingungan. Memang ada seorang teman penyiar radio yang tahu, tapi dia juga tidak tahu judul dan penyanyinya. Sampai akhirnya aku menemukan lagu ini di sebuah HP yang baru diisi lagu baru. Aku menyimak liriknya dan saksama dan menyalinnya di mesin Google, ternyata penyanyinya Louchie Lou & Michie One. Tapi aku kecewa, vidio klipnya tidak sama dengan yang kutonton waktu dulu yang begitu heroik dan agak “erotis”. Mungkin klip yang ini tidak original. Ya, sudah.

Dulu lagu ini kuputar siang-malam tanpa jenuh mendengarnya, baik sepulang kerja atau lesehan, di sela-sela menonton film horor dari kaset DVD sewaan. Bahkan ketika sendirian di rumah aku berjoget-joget riang, seperti orang mabuk kepayang pada seseorang. Waktu itu aku masih seperti remaja tanggung, bahkan sekarang kala aku mendengarkan ulang, aku merasa kembali ke remaja tanggung, walaupun umurku bukan lagi belasan. Berapa ya umurku sekarang? Aku lupa! Hahaha....

Entah memang selera musikku buruk, aku tidak tahu. Pada kenyataannya musik ini juga ditiru penyanyi Indonesia dan artis Aceh. Aku tidak tahu siapa penyanyi dan judul lagunya karena memang tidak pernah peduli, karena sama sekali tiruannya membuat sakit telinga. Ketika mendengarkan lagu aslinya, jiwaku dilambung-lambung entah kemana. Saat itu aku memang sedang mengancang-ancang draf novel Lampuki dan merenungi tentang makna hidup dan perang. Ternyata hidup ini memang berada di antara kekosongan dan angan-angan. Silakan baca tentang perenungan waktu dan betapa tak berdayanya manusia di novel terbaru saya, Tempat Paling Sunyi yang sudah mulai beredar di sejumlah toko buku di Tanah Air.

Senin, 08 Juni 2015

Novel Ini Mengalir Indah Sekali!

Oleh Teguh Afandi

 

Tempat Paling Sunyi

NOVEL ketiga dari Arafat Nur yang diam-diam menjeratku dengan gaya bahasa sederhana, namun menyimpan teka-teki seru. Sebenarnya novel ini berkisah persoalan keluarga, meski ada sisipan tentang kondisi Aceh saat perang dan tsunami, itu hanya sekdarnya saja.

      Dikisahkan, Mustafa memiliki istri Salma yang benar-benar istri yang aneh terhadap suami. Lebih percaya omongan Syarifah, ibunya ketimbang suaminya. Latar belakang keluarganya adalah pejabat kaya raya (pasca Aceh didera pembangungan, banyak pejabat korup) yang membuat Salma menjadi manja dan tidak mengerti bahwa Mustafa adalah laki-laki yang biasa-biasa aja, cenderung miskin dengan tidak punya keterampilan lain.

       Mustafa hanya juru ketik di rental komputer dan diam-diam memendam keinginan menulis novel. Di sisi lain, Salam memiliki kecemburuan mahatinggi. Setiap kali Mustafa pergi lembur, Salma menderanya dengan cemburu membabi buta. Didakwa punya perempuan lain, dsb. Hingga akhirnya Mustafa pergi lama atau minggat dan ada perempuan lain bernama Riana, guru yang dahulu adalah langganan Mustafa di rental komputer.

       Mereka pun jatuh cinta dan hingga menikah di bawah tangan. Di ujung-ujung, Riana merasa sah-sah saja Mustafa untuk sesekali kembali ke Salma karena Salma tetaplah istri pertama dan sah bagi Mustafa. Riana pun melahirkan Andin, anak dengan Mustafa, keturunan yang tidak diperoleh dari Salma.

       Menulis novel bagi Mustafa dalah perjuangan. Selain kondisi keluarganya tidak memungkinkannya konsentrasi dalam menulis, Mustafa merasa menulis novel adalah ikhtoyar untuk memperoleh kebermanfaatan. Menurutnya novel mampu mengubah pandangan dan usaha paling jujur dalam perjuangan.

       Hal unik dalam novel ini adalah keberadaan dua tokoh utama, yaitu "aku" dan Mustafa. Aku adalah orang yang pasca kematian Mustafa mendatangi lokasi untuk sekadar jalan-jalan dan menemukan fakta perihal novel "Tempat Paling Sunyi" karangan Mustafa yang raib entah kemana.

        Tokoh Aku kemudian mencari data dan menemukan catatan-catatan kecil yang dijadikan untuk menuliskan kisah Mustafa secara utuh (yang kemudian jadi novel TEMPAT PALING SUNYI ini). Jadi seperti ada tokoh lain yang hidup selain Mustafa. Bagus.

       Ceritanya menarik, kadar perang dan kondisi Aceh tidak sekental LAMPUKI, memang. Aku suka karena kisahnya mengalir indah sekali![]

----https://www.goodreads.com/book/show/25557826-tempat-paling-sunyi