Senin, 19 Juni 2017

Novel Arafat Nur National Bestseller

Percikan Darah di Bunga



ARAFAT NUR
PERAIH KHATULISTIWA LITERARY AWARD


Di dalamnya ada orisinalitas, alur yang lancar, kisah yang mengejutkan, serta penokohan detail dengan karakter yang sangat kuat. Cara penuturannya juga berbeda dengan novel kebanyakan. Buku yang sebaiknya tidak Anda lewatkan.

-Helvy Tiana Rosa, Sastrawan dan dosen sastra.


BILA suatu saat nanti di sini tak ada lagi tangisan, belum tentu itu adalah sebuah tanda kesedihan panjang sudah berakhir. Tak ada tangisan di mata Dhira Ayu sekalipun jiwanya merintih dengan kebiadaban manusia atas manusia yang berlangsung terus-menerus di tanah ini, tanpa henti, dan tidak ada yang mampu menghentikannya.

        Di sebuah lembaga kemanusiaan Dhira bertemu Ahmadun, lelaki yang seumur hidupnya tidak pernah menangis. Bahkan saat dia mengalami penyiksaan hebat bagaikan azab di tepi jurang neraka, sama sekali tidak ada air mata yang jatuh. Wajahnya dirusak, disayat-sayat, kuku-kukunya dicabut, dan tubuhnya setengah remuk dipukuli, tetapi dia tetap tidak menangis.

        Ada yang membuat lelaki itu terus hidup. Sesuatu yang bergerak dan tumbuh perlahan dalam dirinya yang lama sendiri dan sepi. Perihal sama juga dirasakan Dhira, gadis yang pernah mengalami pelecehan dan sempat membuatnya sangat membenci lelaki.

     Dalam hidupnya, mereka tidak pernah menangis. Lalu tiba-tiba ada yang membuat Ahmadun bercucuran air mata. Bercucuran dengan begitu derasnya, linang yang tanpa bisa dihentikan, mengucur bagai curahan hujan deras dari langit yang gelap. Itu terjadi di suatu pagi buta, saat dia menemukan darah yang memercik ke bunga-bunga yang berserakan....

 

Jumat, 12 Mei 2017

About Arafat Nur



Arafat Nur, born on 22 December 1974 in Lubuk Pakam, North Sumatera is an Indonesian novelist, poet, and a short stories writer. He has earned a number of awards, such as the winner of Short Story Writing held by Taman Budaya Aceh (1999), the first consolation prize winner of Short Story Competition held by Telkom Online (2005), and the third winner of Novel Writing National Competition held by Lingkar Pena Forum (2005). His poems were published in Keranda-Keranda anthology (2000), Aceh dalam Puisi (2003), Mahaduka Aceh (2005), Lagu Kelu (2005), while his short stories were published in Remuk anthology (2000), And this year he realease his first own poem book, Keajaiban Paling Hebat di Dunia(20017). Arafat Nur has also published novels, including Meutia Lon Sayang (2005), Cinta Mahasunyi (2005), Percikan Darah di Bunga (2005), Lampuki (2011), and Tanah Surga Merah (2017). He won Khatulistiwa Literary Award (KLA) in 2011, through his novel Lampuki.

Jumat, 05 Mei 2017

Tanah Surga Merah; Antara Politik dan Kritik Sosial

Oleh: Cut Lilizrustana

Sekarang arah telah berbalik tajam, aku bukan lagi pahlawan melainkan penjahat buronan diintai polisi dan diburu orang-orang Partai Merah yang menaruh dendam kesumat.

Adalah Murad mantan pejuang kemerdekaan Aceh dan mantan anggota Partai Merah yang kini menjadi buronan polisi dan Partai Merah karena dianggap sebagai pemberontak. Setelah sekian lama melarikan diri, akhirnya Murad kembali ke Aceh, ke kota kelahirannya. Setelah masa damai, banyak mantan pejuang kemerdekan Aceh menduduki kursi kepemerintahan. Ada juga diantara mereka yang menjadi kepala daerah.

Biasanya, masalah yang kerap mereka bincangkan hanyalah seputar proyek, jabatan dan perempuan. Biarpun sudah menjadi anggota dewan dan pejabat terpandang, sifat kekanak-kanakan mereka tak pernah berkurang. Inilah yang terjadi bila orang-orang rakus dan bodoh menjadi penguasa negeri.

Kepulangan Murad tidak berjalan mulus meskipun dia telah menyamar menjadi orang lain. Banyak dari teman-temannya dulu yang sekarang menjadi musuhnya tetap mengenali Murad. Belum apa-apa Murad telah dikeroyok beramai-ramai, walau akhirnya mereka percaya bahwa Murad bukanlah Murad, sang pemberontak partai Merah. Murad menumpang di rumah Abduh, sahabatnya dulu yang sekarang menjadi guru sejarah. Abduh seringkali menyayangkan budaya baca buku yang sangat rendah di Aceh dan herannya budaya pacaran menjurus mesum meningkat di Aceh.

"Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini orang Aceh yang tidak suka baca buku. Kesukaanku adalah menipu."

"Aku orang Indonesia. Orang Indonesia juga tidak suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak suka buku. Kami suka menekan dan menyakiti orang."

Murad mengunjungi teman-temannya sesama mantan pejuang kemerdekaan yang hidupnya jauh dari kemewahan. Teman-temannya yang memutuskan untuk tidak bergabung dengan Partai Merah yang kini berubah menjadi partai yang anggotanya berperilaku semena-mena, sombong dan hanya memikirkan uang. Kehidupan Murad tidak pernah tenang dan harus berpindah-pindah untuk menghindari kawanan Partai Merah yang ingin menghabisinya.


Tiba-tiba saja aku merasa asing pada tanah kelahiranku yang pulang ke rumah sendiri pun harus diam-diam dan sembunyi-sembunyi seperti pencuri. Orang-orang dekat dan sahabat karib kini menjadi musuh, bahkan mereka hendak membunuhku. Sementara aku harus menjauhi keluarga dan teman-teman dekat yang tidak terlibat politik. Sungguh asing rasanya negeri ini, tetapai aku terlanjur tidak bisa hidup di tempat lain. Tanah ini rumahku, surgaku; tanah surga merah.
***

Buku ini terasa nyata bagiku dibeberapa bagian walaupun buku ini adalah fiksi. Ada beberapa hal yang masih relevan dan mungkin masih terjadi di Aceh. Membaca bab Partai Tuhan Aku langsung ingat dengan salah satu kampanye cagub Aceh kemarin dan bab Sumpah berikan Suara untuk Partai Tuhan adalah bab favoritku, karena sangat jelas dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, maka hal-hal yang mungkin diluar logika dan tidak masuk akal adalah sah-sah saja. Agama dijadikan barang dagangan untuk menarik minat pembeli.


"Kalau Aceh ingin merdeka, kemenangan Partai Merah kali ini haruslah mutlak, tidak boleh ditawar-tawar, jangan berikan kesempatan pada partai lain. Hanya Partai Merah sajalah yang mampu memperjuangkan nasib bangsa kita, yang akan membawa Aceh ke puncak kejayaan di masa mendatang. Partai lain hanya memperjuangkan kesenangan mereka sendiri, tak lebih dari itu!"
 
"Bila partai ini kalah, Tuhan akan marah pada rakyat Aceh! ini kesempatan yang diberikan Allah untuk memperbaiki nasib rakyat Aceh yang telah lama dijajah oleh orang-orang yang tak jelas agamanya. Kita bangsa besar di dunia, dan kita harus bisa menolong diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap pengakuan Amerika dan Inggris, mereka orang kafir, mereka tidak mungkin mendukung kita!

"Kalian semua harus memberikan suara untuk Partai Merah, sebagaimana yang kalian ketahui, ini adalah Partai Tuhan! 


Buku ini bukan hanya tentang politik tapi juga penuh dengan kritik sosial. Penulis juga menggambarkan kegagalan pemerintah yang tetap tidak dapat mengubah kehidupan rakyat bahkan keadaan penduduk semakin terpuruk. Dana-dana program-program perekonomian rakyat dan juga program pembangunan lain, banyak dialihkan pada sesuatu yang tidak jelas, yang ujung-ujungnya untuk kekayaan partai dan anggotanya. Melalui buku ini aku mengetahui bahwa di Aceh masih ada daerah yang belum mendapat perhatian dari pemerintah, daerah yang benar-benar tertinggal yang penduduknya masih percaya tahayul, jauh dari agama, belum teraliri listrik, dan anak-anak yang tidak bersekolah. Entahlah, aku tidak terlalu yakin daerah tersebut hanya rekaan penulis.

Penulis juga menggambarkan bahwa tidak ada yang benar-benar hitam ataupun putih dalam politik, semua serba abu-abu. Kita tidak pernah tau siapa sesungguhnya kawan maupun lawan. Penulis juga menggambarkan bahwa sah saja menjadikan orang lain kambing hitam demi kepentingan politik. Seperti Murad yang dituduh terlibat dalam kerusuhan yang tidak dilakukannya. Sepertinya wajar saja orang lain mengambil keuntungan terhadap situasi tertentu. Tidak peduli dengan nasib orang lain, yang penting bagaimana menjadi yang terkuat. Ah, politik dan kekuasaan seakan menutup hati nurani manusia. Seperti perkataan salah satu teman Murad, "mereka yang duduk dikursi kekuasaan telah ditutup hatinya dan sebenarnya dikutuk Tuhan." Melalui buku ini saya juga paham tentang orang yang sebenarnya tidak tau apa-apa tapi malah ikut-ikutan, merasa benar dan sok tau. Terkadang mereka sendiri hanya dimanfaatkan dan seakan semuanya beres dengan uang dan tahta.
Aku tertawa saat penulis menyentil kebiasaan orang Aceh yang lebih suka menghabiskan waktu dengan duduk dan mengobrol seharian penuh di kedai kopi dan memang tidak suka membaca buku. Melalui buku ini aku melihat tidak ada yang berubah dari Aceh. Semoga Aceh kembali bangkit ke arah postif dan tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dengan mengatas namakan rakyat.

Seandainya endingnya tidak menggantung seperti itu, aku pasti akan memberi lima bintang (butuh kelanjutannya nih). Aku akhirnya ngeh hubungan kaver dan ending buku ini. Btw, penulis berani banget dalam menjabarkan beberapa hal dan beberapa tokoh walaupun namanya disamarkan tetap saja agak ketebak dan bikin ketawa miris. Menurutku Tanah Surga Merah salah satu buku yang harus dibaca masyarakat Aceh.


Favorit line :

Tapi, di Indonesia maupun di Aceh tidak begitu. Manusianya berperilaku suka-suka, menerobos lampu jalan sesuka hatinya, suka melanggar aturan, dan merasa bangga. Anjing tidak demikian!

Jangan kalian pikir semua doa Nabi Muhammad diterima Allah Ta'ala. Ada satu doa yang tak dijawb-Nya, yaitu permohonan Nabi agat umat islam bersatu. Bagaimana mungkin Allah bisa mengabulkan doa semacam itu bila umat islam sendiri senang bertengkar dan hidup berpecah belah?

Setan bukan saja dari golongan jin. Setan juga ada dari golongan manusia. Kalian tidak sadar kalau diri kalian yang kalian anggap suci murni itu adalah orang-orang yang dilaknat Tuhan?

Kamis, 04 Mei 2017

Buronan yang Pulang Bikin Gempar

Oleh: Dwennyp.

Salah seorang penggemar novel Arafat Nur

INGAT tidak, kalau dongeng-dongeng cerita masa kecil pasti semua berujung bahagia, seperti cinderella yang hidup bahagia dengan pangeran tampan, atau putri salju yang dibangunkan dari tidur panjang nya dengan ciuman sang pangeran? Tapi, tak jarang pula fiksi dengan ending yang berujung sediih membuat hati setiap pembacanya menjadi sesak, sedih bahkan menjadi muram.
     Namun, untuk novel ini, tidak happy ending dan juga tidak sad ending. Ok, kalau happy ending, aku bisa mengakhiri novel dengan menutup bukunya sambil tersenyum, dan membayangkan kembali betapa bahagia si tokoh utama tersebut. Kalau sad ending, aku akan menutup buku dengan hati sesak dan sebal. Tapi kalau baca novel “Tanah Surga Merah” ini aku menutup buku dengan bertanya “Lantas.. bagaimana kelanjutannya?”. Ending yang belum terjawab.
     Cerita pada novel Tanah Surga Merah ini berlatar belakang konflik di Aceh. Murad – si tokoh utama – adalah mantan pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh dan juga seorang buronan, karena telah membunuh anggota partai merah yang akan memperkosa seorang wanita.
      Partai merah merupakan partai yang dianggap membawa perdamaian dan kemakmuran di Aceh. Namun, saat sudah dilakukan perdamaian antara aceh dan pemerintah indonesia (setelah konflik tersebut), Murad banyak menemukan orang – orang partai merah jauh berbeda dengan sifatnya saat berjuang dulu. Mereka semua jadi diperbudak oleh jabatan, kekuasaan, harta, dan wanita. Murad menjadi jengah sehingga tidak segan membunuh orang yang ditemuinya akan memperkosa seorang wanita.
    Inti dari novel ini adalah kisah Murad yang kembali ke Aceh setelah bertahun-tahun melarikan diri ke batam dan kemudian Riau. Walau sudah lama sekali menghilang dan sudah mengubah penampilannya, ternyata dia dikenali dengan mudah oleh orang-orang partai merah. Dan dimulailah kisah pelarian si Murad dari satu daerah ke daerah lain. Hingga di ujung cerita, Murad masih dalam perjalanan melarikan diri. Jadi seperti yang kubilang di awal tadi, nanggung endingnya.
      Banyak pesan moral yang tertuang di buku ini. Seperti pejabat-pejabat yang lupa diri saat menjabat dan yang lupa dengan janji-janjinya saat kampanye. Selain itu budaya rakyat aceh yang tidak suka membaca dan menganggap aceh akan maju jika ada peraturan “hukuman tembak di tempat jika tidak membaca”. Kritikan yang tajam memang banyak tertulis di buku ini.
     Sebagai catatan sepertinya budaya baca di Indonesia memang rendah, jadi tidak hanya di aceh saja. Nonton televisi dan main game pasti lebih banyak disukai orang daripada harus berjibaku membaca buku yang berlembar-lembar jumlahnya.

Rabu, 03 Mei 2017

Menyentil Issu Membaca


"Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini orang aceh yang tidak suka baca buku. Kesukaanku adalah menipu... Aku orang Indonesia .. Orang Indonesia juga tidak suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak suka buku, Kami suka menekan dan menyakiti orang.." (Halaman 98)

Dari segi ide saya sudah tertarik dengan isunya yang mengangkat tema tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana Partai Merah yang berkuasa dan menjadikan hidup rakyatnya semakin melarat dan disinilah sosok Murad buronan yang dicari-cari yang tampil kembali menjadi sosok pahlawan untuk membela ketidakadilan didepan matanya tersebut.

Saya menyukai sentilan yang ditulis oleh Penulis mengenai membaca buku dan betapa negeri ini lebih mempercayai ilmu sihir ketimbang ilmu pengetahuan. Yang sebenarnya tanpa kita sadari hal itu benar-benar nyata terjadi dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari. Tidak usah jauh-jauh ke Aceh di kantor saya sendiri yang notabenenya masih berlokasi di Pusat Jakarta Selatan saja yang suka membaca buku hanya 3-4 orang di dalam satu divisi ya. Bahkan ada yang membaca buku dalam setahun hanya sekali =___=a Apalagi kalimat "wajar saja Aceh tidak akan pernah maju penduduknya tidak ada yang gemar membaca yang ada malah gemar menipu dan rakus akan kekuasaan" secara tidak langsung itu seperti menyentil isu membaca di negeri ini

Endingnya dibuat gantung atau sengaja dibuat open ending seperti itu kali ya agar pembaca bisa menafsirkan apa yang selanjutnya akan dilakukan atau dihadapi oleh Murad?

"Beginilah buruknya wajah peradaban bangsa yang terpuruk, miskin, dan bodoh ini, sampai-sampai banyak yang beranggapan bahwa membaca itu hanyalah pekerjaan sia-sia yang tidak ada pahala. Pendapat ini semakin menyeret mundur lebih jauh, sampai-sampai mereka lebih menyukai dan mengamalkan ilmu guna-guna daripada ilmu pengetahuan. Lebih memilih sibuk menyakiti sesamanya lalu merasa bahagia mendapati orang lain celaka" (Halaman 99-100).