Minggu, 30 April 2017

Keajaiban Paling Hebat di Dunia


Buku Puisi Arafat Nur
Sajak-sajak Arafat Nur banyak mengandung aforisma yang menarik dan mengejutkan. Sejumlah aforisma ciptaannya merefleksikan hubungan penyair dengan puisinya. Hormat saya untuk aforisma-aforisma ini: “Puisi adalah jalan, bukan kesimpulan. Jejaknya menyisakan tanya di setiap kata yang tak sempurna, tak berarti.” – “Kekasih cantikmu tidak menemukan apa pun dalam puisimu, seumpama lampu-lampu yang gagal dinyalakan, yang tak kuasa memanggil apa-apa, selain rajam kesunyian.” – “Kenapa kebahagiaan yang sederhana itu kaubuat menjadi sangat rumit?” – “Di sini aku hanya mampu menggubah puisi dari penggalan-penggalan pendek kata-katamu yang meninggalkan gema panjang di ingatanku.” – “Di dalam diriku begitu banyak orang yang mengajakku berbincang macam-macam.” – “Aku menulis puisi dari orang-orang dalam diriku yang membisikkan kata perkata ke telinga.” – “Terkadang Tuhan turun di hatimu, tapi tidak tinggal lama.” – “Aku suka puisi yang kala dibaca begitu nikmat, serupa kopi dibubuhi susu, diberikan pemanis madu (aku tak terlalu suka gula), diseduh lembut tanganmu.” – “Sebenarnya puisi juga kamar luas yang melebihi dunia.” – “Kekasihmu pun tak ada di sana, dia telah tersesat dalam puisi-puisi yang kaucumbui semalam dan tak mungkin bisa kembali.”          
§ Joko Pinurbo, penyair 

 
Dari berbagai persoalan yang begitu luas dan komplit, puisi-puisi dalam buku ini kembali lagi pada upaya saya berdamai dengan diri sendiri, berharap bisa menimbulkan bias yang tidak hanya dipahami sebagai permasalahan individual. Segala luapan persoalan ini kemudian menjadi kerja batin, seumpama tarekat—yang merupakan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan—saya menjadikan puisi sebagai jalan mendekatkan diri pada hakikat hidup. Hakikat yang saya maksudkan di sini tidak mutlak, bukan kesimpulan akhir, bukan jawaban, tetapi memiliki makna tak terbatas. Sebagaimana saya ungkapkan dalam puisi Bukan Jawaban:
Puisi adalah jalan, bukan kesimpulan.
Jejaknya menyisakan tanya di setiap
kata-kata yang tak sempurna, tak berarti.
Siapa pun bisa melaluinya, juga pejalan kaki. 


MINAT:
Silakan hubungi Wawan: 
SMS/WA 081316320671 
Email: basabasistore@gmail.com 
Twitter: @basabas_istore 
IG: @basabasistor. 
 

Selasa, 25 April 2017

Novel Tanah Surga Merah, Kisah Politik Romantis Penuh Humor

Foto: Saifu Ali
 LHOSEUMAWE-Media Lintas Indonesia: Arafat Nur, novelis Aceh kembali memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 20016 dengan novelnya Tanah Surga Merah yang langsung menarik perhatian dengan kisah-nya yang unik.

Sebelumnya Arafat Nur telah memenangkan DKJ tahun 2010 lewat novel kontoversi Lampuki yang menuai banyak hujatan dan juga pujian. Lampuki kemudian memenangkan hadiah paling bergensi di tingkat nasional, yaitu Khatulistiwa Literary Award 2011, yang melejitkan nama Arafat Nur sejajar dengan sastrawan papan atas, dan dia sering mendapatkan berbagai undangan di berbagai event nasional dan internasional.

Tanah Surga Merah, novel teranyarnya yang diterbitkan Gramedia, 2017 ini berkisah tentang seorang mantan pemberontak bernama Murad yang  menembak anggota dewan, kemudian menjadi buronan polisi. Setelah lima tahun menghilang, tiba-tiba dia muncul di Lamlhok menjelang dilangsungkannya pemilihan umum anggota dewan. “Selain sebagai pembunuh, dia juga penjahat paling berbahaya dan kejam, bandar narkoba, dan pengagas berdirinya Partai Jingga yang menjadi lawan kuat Partai Merah,” jelas Arafat Nur kepada Media Lintas Indonesia, Selasa (14/2).

Sang buronan diyakini hendak mengacau pemilihan umum dan merongrong Pemerintahan Aceh Baru. Tidak saja polisi, orang-orang Partai Merah pun gigih memburu si penyaru yang telah mengubah bentuk wajahnya; merontokkan cambang dan janggutnya dengan krim murahan. Berkali-kali penyamarannya hampir terungkap oleh orang-orang Partai Merah yang selalu awas terhadap situasi dan kemunculan sosok-sosok asing di sejumlah tempat.

Pengorbanan dan cinta Murad yang luar biasa terhadap Aceh, tetap tidak bisa membuatnya diterima di tanah kelahirannya sendiri. Di mana pun dia berada, nyawanya selalu terancam, dan beberapa kali sempat dipukuli dan nyaris tertangkap oleh orang-orang Partai Merah yang tak henti mengejarnya, sehingga dia terpaksa melarikan diri ke sebuah kampung paling terpencil dalam rimba yang tak terdapat dalam peta. Di sanalah dia menyembuhkan cedera kakinya akibat pengeroyokan, dan di sana pulalah dia terperangkap dalam dunia asing dan ganjil, sambil tetap bertahan dengan menyamar sebagai teungku pandai agama.

Orang-orang Partai Merah yang tanpa henti terus melacak jejaknya yang akhirnya mengetahui juga tempat persembunyian si buronan. Raisa, seorang gadis yang diam-diam jatuh hati padanya, tanpa terduga datang menyelamatkan si lelaki sesaat sebelum musuh tiba. Gadis itu melarikannya ke hutan belantara yang tidak pernah terjamah kaki manusia. Di sanalah Murad dan Raisa kemudian menemukan sebuah dunia baru yang membuat mereka begitu terpana.(MA)