Oleh: Adi Zamzam
MEMBACA Aceh adalah
membaca nasib orang-orang yang masih trauma akibat perang berkepanjangan.
Beberapa kebijakan pemerintah yang tak pro dengan rakyat kecil, telah
mengakibatkan ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah, sehingga kadang
tumbuh sikap acuh atau bahkan antipati. Anda akan menemukan suasana seperti itu
ketika diajak Arafat Nur menelusuri Aceh melalui tokoh Fais, seorang wartawan
yang tengah berusaha menyingkap kemunafikan seorang kandidat Wali Kota Lamlhok.
Melalui sejumlah istri
simpanan Tuan Beransyah, si Aku berniat mencatat segala borok yang disimpan
oleh lelakilandok pengumbar telur tersebut,
dan hendak dijadikannya sebagai bahan novel. Cara seperti ini dianggapnya lebih
aman, karena meskipun keburukan Tuan Beransyah sudah menjadi rahasia umum,
namun tak seorang wartawan pun berani mengumbar kemuakannya melalui media yang
menaunginya. Rata-rata mereka malah menjadi penjilat demi menggemukkan diri
sendiri.
Dengan penokohan yang
kuat, apa-apa yang diceritakan oleh istri-istri Tuan Beransyah menciptakan
satire ringan namun terasa tajam dan jenaka. Dan sosok lelaki yang memulai
bisnisnya dari berdagang emping melinjo itu memang hanya digambarkan melalui
komentar-komentar beberapa istri simpanannya. Dari Aida, istri simpanan Tuan
Beransyah yang pertama kali dikunjungi, si ‘Aku’ mendapatkan catatan negatif
(hal. 8).
Catatan-catatan itu
kemudian bersambung dengan certa-cerita dari Haliza, bahkan juga dari seorang
pelacur bernama Nana—yang menjadi pelacur gegara dicerai secara tak terhormat
oleh Tuan Beransyah, juga Saudah—yang ditinggal setelah melahirkan anak-anak
kurang waras. Hanya Rahmah seorang yang opininya agak berbeda jauh dari
istri-istri lainnya, yang disebabkan pengetahuan agamanya yang tampak lebih
dibanding yang lain. Hanya Rahmah-lah satu-satunya yang membela suaminya dengan
dalil-dalil yang ia ‘bengkokkan’, dan demi menutupi perasaannya sendiri dari si
Aku.
Dari potret Rahmah inilah
tergambar jelas bahwa dogma-dogma agama diperalat oleh Tuan Beransyah untuk
membenarkan tindakannya (halaman 120). Mungkin ini juga semacam gambaran kecil
betapa dogma agama banyak disalahgunakan di kota Serambi Mekkah itu.
Tengah terjadi formalisasi agama melalui penegakan syariah, yang tengah
difokuskan pada pengaturan cara berpakaian (simbol-simbol perempuan saleh),
pengaturan moralitas hingga ruang publik yang lebih patut bagi bagi perempuan.
Kita mungkin masih ingat
dengan peraturan di sana tentang pelarangan duduk ngangkang bagi perempuan yang
sempat menuai kontroversi dari berbagai pihak. Qanun tentang
ber-khalwat (berdua-dua di tempat sunyi yang mengarah pada zina)
konon juga diterapkan. Namun dalam novel ini, Arafat Nur tampaknya ingin
mengabarkan bahwa semua itu hanya omong kosong. Perempuan-perempuan yang
digambarkan dalam cerita ini justru tampak lemah, kesepian, dan menjadi korban
dari sebuah dogma, bahwa lelaki boleh menikahi berapapun perempuan asal
kebutuhan materi tercukupi.
Di balik pemformalan agama
lewat pengaturan tubuh dan moralitas perempuan adalah politik kekuasaan, yang
seolah menuding bahwa perempuan adalah sumber dari segala tanggung jawab dalam
penciptaan ‘ketertiban, ketentraman, dan keberlanjutan tatanan sosial
masyarakat (hal. 63). Hak-hak perempuan sebagai warga yang sejajar jadi
terabaikan. Itulah mengapa para istri simpanan itu jadi terlihat abai akan
segala hukum syariah yang semestinya mereka taati. Seperti yang pernah
didengungkan oleh Samsidar (Ketua Dewan Pengurus LBH APIK Aceh) dan seorang
aktivis perempuan Lies Marcoes Natsir, bahwa berbagai kekerasan terhadap perempuan
di Aceh seyogyanya menjadi pertimbangan untuk meninjau lagi dualisme antara
hukum nasional dan hukum syariah.
Kegeraman si ‘Aku’ dalam
melihat sikap teman-teman sesama wartawan yang dinilainya bertampang dungu juga
merupakan potret Aceh saat ini yang ingin disuarakan penulis (hal. 71). Semua
orang sudah tahu sama tahu, hanya wartawan bodoh yang mau mengungkit-ungkit
sebuah penyimpangan yang bakal berakibat malapetaka. Dalam pandangan awam
mereka adalah sosok cerdik pandai juga pahlawan kebenaran, padahal kebanyakan
mereka adalah orang jadi-jadian, begitu kata si ‘Aku’.
Pers digambarkan sudah
menjauh dari fungsinya sebagai institusi sosial. Seperti yang pernah
diungkapkan Ashadi Siregar (pakar komunikasi), jika media sudah tidak bisa
dijadikan tempat berdialog, informasi media hanya menjadi semacam mulut aparat
negara, hanya menjadi organ dari kekuasaan negara, akibatnya isu dari media
akan kehilangan relevansinya dengan kehidupan masyarakat.[]
-
http://www.wisata-buku.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2317&Itemid=2461