Selasa, 18 Juni 2019

Cinta dan Pendidikan di Tengah Gejolak Perang

Oleh Suroso
Judul     :Bayang Suram PelangiPenulis   :Arafat NurPenerbit: DIVA PressTerbit     : April 2018ISBN     : 978-602-391-531-6Tebal     : 384 halaman

 Membaca novel Bayang Suram Pelangi, seseorang akan diajak kembali pergulatan sejarah pada era 90an. Khususnya di daerah Aceh. Di mana pada masa itu sudah gencar-gencarnya gejolak politik, perang (konflik) yang terbilang memanas. Bahkan dalam novel ini juga menjelaskan, banyak sekali anak-anak yang tidak menempuh pendidikan. Selain, tempatnya jauh dari perkampungan, masalah ekonomi dan suara pistol menjadi alasan utamanya.

 Saidul, seorang anak yang menjadi tokoh utama dalam novel ini, menjadi satu-satunya anak kampungnya yang bisa menikmati pahit dan manisnya pendidikan. Dalam perjuangannya menempuh pendidikan ia harus mengayuh sepeda ontheldari rumahnya sampai dengan sekolah yang berjarak sangat jauh. Atau dalam novel ini, disebutkan harus melewati sepuluh batu. 140

 Dalam setiap perjalanan, ia selalu merasakan kekhawatiran yang sangat mendalam. Hal yang paling membuat dirinya khawatir ialah, bahwa masih banyak perang senjata antara tentara dan pemberontak di daerahnya tersebut. Sebab, setiap dirinya melewati pos tentara ia selalu diperiksa, dengan alasan bahwa Saidul adalah seorang pemberontak.

 Dari hal-hal yang menakutkan itulah, ia pernah ingin memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan membantu  ayahnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tetapi, dengan tegar ayahnya mengatakan, untuk saat inisekolah lebih penting bagimu . Ketika sudah berkata seperti itu, maka Sidul tidak bisa membantah lagi, ia hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh ayahnya tersebut.

 Buku ini sedikitnya menyadarkan kepada kita tentang pentingnya sebuah pendidikan. Selain itu, juga mengajak seluruh jajaran manusia agar tidak melupakan sebuah sejarah. Konflik, perang, ataupun pemberontakan yang terjadi di masa lalu. Jangan pernah dilupakan, tetapi dijadikan sebuah acuan untuk menggali keutuhan untuk menuju kehidupan yang lebih baik ke depannya.


 



Selain menyajikan sejarah dan pendidikan, novel ini juga mengambil latar belakang tentang percintaan. Sebuah percintaan yang melankonis dalam masa perjuangan. Sidul sebagai orang terdidik yang mencintai Zahra yang menjadi bunga desanya. Percintaan ini juga dialami oleh kakak Sidul yang menikah dengan seorang yang dianggap pemberontak oleh tentara. Dan Aini sebagai adiknya menaruh hati dengan seorang tentara. Berangkat dari pergulatan cinta inilah rumahnya seringkali dikunjungi oleh tentara. Dengan dalih untuk menjaga keamanan yang ada di kampungnya. Pernah suatu ketika Sidul dipukuli tentara, karena dianggap pernah bersama dengan pemberontak. Yang membuat dirinya tidak bisa berjalan dan pergi ke sekolah untuk menikmati pendidikannya (hal 250) Ada titik tekan yang menarik dalam buku ini, yaitu bagaimana perjuangan Sidul agar menjadi anak yang terdidik. Ia harus berjuang dengan sekuat tenaga dan penuh pengorbanan, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Hingga menginjak SMA kelas 3 ia berhasil mendapatkan peringkat satu. Sebuah pencapaian yang sangat mengesankan. Karena dengan begitu ia bisa mengurangi beban keluarga. Karena mereka yang mendapat ranking satu, maka ia akan dibebaskan dari biaya pembayaran sekolah (SPP) setahun penuh. (Hal 368) Arafat Nurselaku penulis memberikan gambaran menarik dalam novelnya. Selain ia menceritakan alur sejarah yang mencekam, ia juga berusaha membuat sebuah fakta yang menarik tentang keadaan di Aceh pada masa itu. Salah satu fakta yang digambarkan dalam novel ini ialah ekonomi yang sangat rendah. Setiap harinya Sidul dan keluarga harus memakan nasi dengan lauk kangkung. Di lain sisi masyarakat juga tidak bisa berkutik akan tindakan tentara yang kadang bertindak sesuka hati, sampai dengan membakar rumah warga. Namun, tidak semua tentara sekeras itu, seperti Tumiren, tentara yang selalu menunggu cerita Sidul dan tentara yang mendekati Aini. Ia juga memiliki welas asih terhadap warga. Ia hanya keras terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak. 

Dengan bahasa yang sistematis dan mudah dipahami, pembaca akan memahami alur sejarah, dan cinta melankonis yang ditawarkan dalam novel ini. Diharapkan pembaca memiliki jalan tengah, agar menemukan khazanah yang ada di dalam buku ini.[]

Minggu, 16 Juni 2019

Kemanusiaan dan Kesetiaan Anjing


Oleh Novita Dewi

*dimuat harian KOMPAS

Arafat Nur taat dan telaten pada detail, tetapi deskripsi sadisme yang berlebihan tidak ditemukan. Kezaliman tentara pemerintah maupun pemberontak dinarasikannya untuk menyentuh nurani sesama anak bangsa. Meski agak antroposentris, pemerian tentang panen di kebun Kakek mencerminkan makna kehidupan. Setiap tiga bulan tauke pisang membawa pekerjanya mencari sendiri tandan pisang yang siap dipanen.
 
Alam ramah kepada manusia jika diperlakukan baik, seperti kebun Kakek yang terawat dan terbukti menghidupi keluarga. Di kebun pisang ini Nasir kecil belajar arti kata ”melawan”. Diliputi rasa takut, bocah berusia 13 tahun itu mengintip sekawanan tentara mengobrak-abrik kebun.
 
Gagal menemukan pemberontak yang dicari, mereka pun berlalu sambil membawa setandan pisang ranum. Saat itulah Nasir mafhum mengapa orang-orang Aceh berani melawan serdadu. Perang timbul dari gairah untuk melawan, melebihi rasa takut.
 
Novel ini rekonsiliatif. Kebencian rakyat pada tentara digambarkan berimbang dengan kegusaran serdadu pada pemberontak. Dilukiskan pula bencana yang menimpa ketika anggota keluarga terlibat dengan pasukan pejuang. Nasir menyaksikan orang-orang terkasih terenggut dari kehidupannya gara-gara pamannya, Arkam, bergabung dengan GAM.
 
Sewaktu Arkam menghilang, tentara menghabisi siapa pun yang disangka pembangkang. Nasir merindukan kehidupan Alue Rambe yang tenang dan damai. Ia akhirnya memutuskan untuk angkat senjata guna menyudahi budaya kematian.
 
Perang adalah selebrasi budaya kematian. Perang memungkiri kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Tidak ada bendera yang cukup lebar untuk menutupi rasa malu membunuh orang tak bersalah, kata sejarawan Amerika, Howard Zinn. Tidak juga secarik kain merah bergambar bulan bintang yang dikibarkan Arkam pada pembukaan Lolong Anjing di Bulan.
 
Selain menghibur, novel ini menambah alur sejarah. Lolong anjing membangunkan memori perjuangan rakyat Aceh yang berpuluh-puluh tahun terkubur oleh kekuasaan. Kiranya tidak terulang pada rakyat Papua sekarang.
 
Sejak 2008, konflik antara KKB dan TNI telah menewaskan 79 warga sipil (Kompas, 11 November 2018). Sekadar catatan paratekstual, ketiga peta wilayah yang diselipkan di halaman depan terasa mengganggu karena membatasi imajinasi pembaca yang seharusnya dibiarkan meruak.
 

Secara alegoris novel ini memang kurang mewah karena dirajut dengan nama-nama tokoh dan peristiwa sejarah nyata. Namun pesannya jelas: perang membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan raungan makhluk bernama anjing menjadi pertanda khilaf ini. Lolong Anjing di Bulan diterjemahkan oleh Maya Denisa Saputra, Blood Moon over Aceh (Dalang Publishing, 2018).
 
NOVITA DEWI  Dosen Program Magister Kajian Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma.





Senin, 03 Juni 2019

Dijamin Bukan Sihir Karya Terbaru Musmarwan Abdullah

Apalah arti sehelai mukena, meski mahal, namun dapat menutupi ketelanjangan orang gila ini. Walau bagaimana, kebugilannya adalah kebugilan seluruh lelaki yang ada di pasar ini.
Setelah melihat bagian bawah tubuhnya sudah tak telanjang lagi, lelaki lusuh melihat ke arah ibu itu, berkata, “Semua orang di pasar ini telanjang. Kecuali, ibu seorang.”
Mendengar pernyataan itu, si ibu tersentak. Tak menyangka kata-kata tersebut keluar dari mulut orang gila. Pulih dari ketermanguannya, dia bertanya, “Apakah kamu seorang sufi atau orang gila?”
Lelaki lusuh tak menjawab. Dia terus melangkah seraya berceracau pada diri-sendiri, “Apa bedanya?” katanya seakan menjawab pertanyaan ibu itu. Dan, seraya terus melangkah sambil menyilang tangan di punggung, dia menyambung ceracauannya, “Orang sufi tidak perlu telanjang untuk melihat orang lain telanjang. Tapi, orang gila sepertiku harus bugil dulu untuk melihat orang lain telanjang.”
Buku ini merangkum sejumlah kisah satiris, fantastis, menggelitik, konyol, dan juga inspiratif menyihir. Tokohnya adalah orang-orang unik yang, masih tersisa sekarang, memiliki imajinasi dan pikiran paling liar yang dapat mengubah pandangan hidup Anda lebih beda, lebih cerdas, cerah, bergairah, dan ceria. Kisahnya benar-benar ganjil, gila, menghibur, dan juga menyihir; tapi dijamin bukan sihir!