Senin, 06 Juli 2015

Novel Terbaru Arafat Nur

Oleh: Nasrullah Thaleb
Dimuat Harian Serambi, edisi 5 Juli 2015.

NOVEL terbaru Arafat Nur  bertajuk Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015) setebal 320 halaman ini memiliki gaya cerita berbeda dari novel-novel ia sebelumnya. Sastrawan nasional, Anton Kurnia, berkomentar kisah novel ini sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca pada derasnya alur cerita! Testimoni itu benar-benar mewakili pembaca novel ini, yang begitu memulai membaca langsung dihanyut oleh derasnya aliran cerita dengan emosi yang bergolak-golak.
Uniknya, tidak hanya kalangan pembaca novel serius, bahkan pembaca remaja, sebagaimana yang ditemukan di dunia maya, begitu tertarik dan dapat menikmatinya kisahnya dengan baik. Mereka terpana oleh kekuatan cerita yang terbangun, sampai-sampai ada bertanya-tanya apakah Arafat Nur berharap novelnya ini dibaca oleh Riana, salah seorang tokoh dalam novelnya.
Sebagaimana novel-novel Arafat Nur sebelumnya, kisah dalam Tempat Paling Sunyi ini pun begitu unik, mengisahkan seorang penulis novel tak terkenal di Aceh yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada sastra di tengah orang-orang yang tak peduli dan memandangnya begitu asing. Bagi Mustafa, tokoh utama buku ini, novel adalah sesuatu yang sangat penting, setidaknya untuk menunjukkan bahwa dirinya pernah ada di dunia fana ini.
Arafat begitu piawai mengolah cerita yang penuh konflik dengan bahasa lugas sederhana, tapi diksi yang begitu kuat. Konflik cinta yang disuguhkannya pun begitu padat sehingga kerap membuat sesak dada. Bumbu cinta ganjil yang dialami Mustafa bukan sekadar latar, tapi menyelusuk dalam, sampai-sampai pembaca dapat merasakan betapa kuatnya getar jiwa Mustafa yang romantis dan penuh penderitaan.
Wajar saja kalau buku ini menjadi buah bibir dan mulai dibicarakan di kalangan sastrawan dan pembaca remaja. Apalagi novel ini mengangkat kisah perjuangan seorang novelis untuk menunjukkan betapa pentingnya sastra dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga novel ini sangat perlu dibaca oleh siapa saja. Selain itu begitu banyak pesan penting yang disampaikan penulis, yang bisa dijadikan sebagai nasihat dan pelajaran.
Tidak berlebihan bila dikatakan novel Tempat Paling Sunyi ini memberikan konstribusi besar pada dunia pendidikan, terutama sastra di tanah air, dan khususnya di Aceh. Ketika membaca novel ini, kita seolah sedang berada di atas sebuah rakit bambu di sungai dengan aliran arus air yang deras menghanyutkan dan tanpa bisa menyelamatkan diri. Kita seolah dirayunya, dipikat dan ditenggelamkan ke dasarnya. Novel ini penuh cita rasa, gejolak kebencian, cinta, kekonyolan, bahkan derita, semua larut dihanyut.
Mustafa bertekad kuat menulis, meskipun ia tahu novel tidak mungkin memberikan pengaruh besar, apalagi mengubah dunia, dia tetap tidak pernah berhenti berjuang. Ia yakin kekuatan sastra mampu mengubah moralitas dan karakter manusia dalam persepsi kehidupan berbeda. Upaya ini terbukti, sebagaimana perspektif Aristoteles; ini tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan sebuah proses kreatif penulis sambil bertitik-pangkal pada kenyataan suatu yang baru dengan mimies. Penulis sastra juga menciptakan kembali kenyataan seperti barang-barang yang pernah ada, atau seperti yang kita bayangkan, atau seperti yang ada (fakta dari masa kini atau masa silam keyakinan atau cita-cita)
“Sebetulnya Mustafa bukanklah tokoh penting dalam cerita ini, andai saja dia bukan seorang penulis novel; itu pun dianggap gagal. Tetapi, bukan atas dasar  alasan  itu semata kisah ini menjadi menarik dan sangat penting untuk diungkapkan. Banyak kisah lain terutama kisah cintanya yang pelik dan ganjil, yang kemudian membawaku menelusuri lebih jauh lagi riwayat kehidupannya yang tidak terlalu panjang.”(hal.16)
Harus diakui Arafat Nur telah berhasil menyajikan sebuah kenyataan hidup seorang penulis sastra yang penuh liku-liku dan derita yang tidak wajar dalam novel. Tekad kuat menyelesaikan sebuah novel menjadi pilihan dalam hidup Mustafa. Ia hidup dan bejuang di tengah-tengah keluarga yang pasif dan membeci pekerjaannya sebagai seorang penulis. Bahkan istri Mustafa sendri menjadi musuh yang menentang dan berusaha menggagalkan usaha suaminya untuk menyelesaikan novel.
Salma, istri Mustafa yang pencemburu, tidak bisa menerima kenyataan hidup mereka yang miskin, juga tidak pernah tahu kalau negerinya sedang dilanda perang dan rakyatnya jatuh melarat. Perihal ini disebabkan istrinya dilahirkan dari sebuah keluarga kaya lagi terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan dibesarkan dengan kebodohan. Dalam keadaan yang sedemikian rupa Mustafa tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan.
Belum lagi ia menghadapi ibu mertuanya yang beranggapan menantunya hanyalah seorang lelaki tolol yang menderita sakit jiwa; di sini novel ini benar-benar berhasil menggolakkan emosi. Simak saja bagaimana rintihan Mustafa berikut ini:
"Oh Tuhan, dosa apakah aku? Aku terjepit di antara dua perempuan bodoh yang tidak mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan dirikulah yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar." (hal.40)
Sampai kemudian Riana, seorang gadis jelita, hadir dalam kehidupan Mustafa, yang kemudian mengubah warna hidupnya. Riana yang kelak menjadi istri keduanya, membangkitkan lagi semangat Mustafa dalam menyelesaikan novelnya, meskipun kemudian dia tetap dianggap sebagai seorang penulis yang gagal.

Sastra dan Kehidupan
Sebagai pembaca awam penyuka sastra, saya menganggap Tempat Paling Sunyi begitu penting dibaca. Kisahnya begitu dekat, realistis, indah, dan sangat menawan. Bagi saya novel ini lebih bergreget dari Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) yang sudah dialih-bahasakan ke Inggris, sekalipun tidak sehebat Lampuki (Serambi, 2010) yang memenangkan dua penghargaan bergengsi tingkat nasional sekaligus.
Seandainya Mustafa adalah seorang yang betul-betul pernah hidup di dunia nyata, maka saya akan menobatkan dirinya gelar pahlawan penjuang sastra yang mengharumkan bangsa dan negara. Ia patut mendapatkan kehormatan itu atas pengabdian dan perjuangannya, bila dibandingkan tokoh pejuang kita saat ini, apalagi pejabat-pejabat negara yang kerjanya hanya duduk ongkang-ongkang kaki saja.
Di saat dunia pendidikan memandang sebelah mata pada pendidikan sastra, Mustafa muncul dengan segala keterbatasan dan keterpurukannya, meneriakkan betapa pentingnya sastra dalam kehidupan ini. Hari ini novel Tempat Paling Sunyi telah menelanjangi kita, mengungkit indetitas bobrok di mana masyarakat--bahkan pemerintah Aceh sekalipun--telah mengasingkan dunia sastra dan meperlakukannya dengan sangat buruk. Mustafa justru menyerahkan hidupnya dan mati untuk sastra dan pendidikan.
Setelah menamatkan Tempat Paling Sunyi, saya berada dalam sepuluh tahun masa yang paling rumit, dengan emosi, rasa iba dan air mata, dan dengan dada sebak. Membayangkan penderitaan Mustafa, saya sedih dan terenyuh. Bahkan saya tidak mampu melukisnya dengan luna yang paling mahal sekalipun, kecuali Anda sendiri yang membacanya.[]

-- Nasrullah Thaleb adalah Ketua Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL) yang sedang berjuang mengembangkan sastra di kampungnya.

Kamis, 02 Juli 2015

Tempat Paling Sunyi dan Dialog Unik Burung Terbang

Oleh: Andi Ucup 

Tempat Paling Sunyi
DIALOG. Terbangun agak malas-malasan karena suara kurir JNE menggedor pintu. "Mas Andi...," katanya dengan senyuman yang biasa ia sungging setiap menyodorkan paketnya.
     "Makasih," ujarku dari balik pintu, yang kubuka sedikit. Paket itu berpindah ke tanganku secepat kilat. Pintu kemudian kututup kembali. Paket aku lempar ke sisi rak buku, sayang lemparanku buruk, ia tergolek di lantai dan tak kupedulikan. aku lanjut tidur.
    Ketika bangun lagi agak siang, aku ambil paket buku itu. Kubuka judulnya, "Burung Terbang di Kelam Malam" karya Arafat Nur. Aku memang sengaja memesan buku ini. Penasaran dengan karya Arafat. Sebab, di buku "Tempat Paling Sunyi" aku mulai terkesan dengan pemenang Sayembara Novel DKJ 2010 ini.
     Setelah mengecek HP sebentar, aku sambar buku berwarna biru terbitan Bentang itu untuk kubawa serta ke kamar mandi.
     Membuka lembar pertama, aku sudah dihujani banyak testimoni -- mulai Joko Pinurbo hingga warga biasa di Tangerang-- sebanyak empat lembar atau tujuh halaman. Ini pertama kali aku membaca novel dengan testimoni terbanyak. Mungkin ada novel lain, tapi aku belum menemuinya.
     Aku baca testimoni Jokpin sekelebat, begitu pula yang lain. Aku tinggalkan halaman-halaman yang menurutku membual itu. Aku langsung menuju halaman pertama cerita.
    Dari awal membuka kisah, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 ini menulis dengan biasa. Tidak menghentak atau membuat rasa menggelitik penasaran. 
Burung Terbang di Kelam Malam
Soal lead sebuah tulisan adalah kesan masing-masing pembaca. Memang tak ada patokan bahwa tulisan bagus divonis dari awal pembukaan novel. Meski dari lead pula pembaca diajak untuk tetap setia dalam lembaran-lembaran berikutnya.
    Dan apa yang dilakukan Arafat bagiku belum selincah Mahbub Junaidi dalam novelnya "Dari Hari Ke Hari" dalam membuka ceritanya. Deskripsi yang dibuat Mahbub bisa membuatku langsung hanyut.
    Namun, aku tak soal untuk melanjutkan "Burung Terbang di Kelam Malam". Setelah halaman demi halaman kubuka, asyik juga Arafat menggoyang ceritanya.
    Cerita diawali dengan tokoh Aku - seorang wartawan- yang bertemu dengan perempuan bernama Aida, gundik seorang politisi, Tuan Beransyah. Tujuan Aku menemuinya adalah untuk menyelidiki soal gundik itu dan cerita-cerita perkenalan dengan politisi Tuan Beransyah. Sebab, ia geram dengan kepongahan Tuan Beransyah, bahwa dirinya tak memiliki gundik seperti desas-desus yang beredar. Aku menilai Beransyah sebagai politisi munafik, makanya ia berkeras diri untuk menyelidiki sendiri soal gundik itu. ia ingin melawan kecongkakan Beransyah.
   Aida digambarkan sebagai perempuan berumur 38 tahun. Berparas ayu: perawakan tubuh bagus, masih padat dan ketat Berkulit agak gelap, bersih, dan terawat. Rambut panjang tergerai. Barangkali mungkin wanita Aceh. Tinggal sendiri.
     Dan, ketika Arafat menggambarkan adegan pertemuan Aku dan Aida, ada kesan tersendiri. sebab, aida tak memakai kerudung atau jilbab untuk menemui laki-laki bukan sanak saudaranya. Ini sesuatu yang ganjil. Tapi, Aida berani dan membukakan pintu. Dari situlah kemudian dialog-dialog berjalan dan mengalir.
     Sampai aku terkesan pada dialog ini:
....
"Kamu punya pacar?"
"Aku belum bisa memastikan."
"Kenapa begitu?"
"Kami sudah berkenalan sekitar dua bulan lalu dan berkawan dekat, tapi kami tidak pernah membicarakan masalah itu. Aku tidak tahu apakah dia jatuh hati kepadaku."
"Kenapa kamu ini masih kolot sekali?"
"Aku tidak ingin buru-buru..."
"Kamu sadar, tidak, bahwa kamu itu tampan? Gadis itu pasti saja sudah terpikat. Apalagi, kalian sudah berkenalan dua bulan!"

"Hmmmm."
"Aku suka hmmm-mu itu."
"Hmmmm!"

Jangkrik, sekali dialog ini! Kaki saya sampai semutan karena baca sambil jongkok di toilet. di hening toilet, tanpa ada orang segelintir, dialog-dialog ini berubah menjadi imajinasi romantis sekali. Aih, sial, aku puasa...

Kulempar buku itu ke atas mesin cuci. bercampur dengan buku P. Swantoro, "Dari Buku ke Buku". Sialnya, aku tak bisa keluar siang itu. Lantas aku mandi...

Ah, dialog sial.