Masih banyak penulis anti membaca buku, dan hanya terjadi di Indonesia.
SAYA adalah seorang penulis. Saya menulis buku agar apa
yang saya tulis dibaca orang. Saya menulis sastra yang mudah dimengerti dengan
kualitas tetap tinggi. Tujuan saya menulis lugas agar langsung tepat sasaran. Ukuran
kualitas karya saya yaitu dengan penilai juri dan editor. Setidaknya saya
sering memenangi lomba, hanya itu yang bisa saya tunjukkan, karena tidak ada
cara lain.
Yang membuat saya bingung, banyak penulis di Indonesia
yang anti buku. Bahkan, mereka yang anti buku ini jadi pemateri menulis. Kata-kata
yang saya ingat dari mereka, “Jangan baca buku orang lain! Jangan baca! Nanti kalian
terpengaruh! Itu sangat berbahaya! Tanpa membaca buku tulisan kamu orisinil. Alami.
Sekali-kali kalau ingin menjadi penulis hebat, jangan baca buku!!!”
Dalam hati, saya berkata, “Taikmu!”
Sampai sekarang penulis-penulis yang anti buku banyak
sekali pengikutnya. Cepat sekali bertambah. Apalagi di Indonesia terkenal dengan
budaya malas membaca. Jadi, ya, dengan sendirinya mereka yang membenci buku
mengikuti bimbingan penulis sesat yang anti buku itu. Ini sulit dipercaya. Tapi,
memang begitu kenyataannya. Seandainya etis untuk disebutkan, saya bisa
menunjukkan nama penulis-penulis yang anti buku itu.
Tanah Surga Merah, novel yang juga untuk dibaca, memenangi DKJ 2016. Sekarang cetak ulang. |
Namun, penulis-penulis ternama dan berada di papan atas
pentas sastra Indonesia justru meresahkan minat baca. Mereka siang malam
menganjurkan membaca kepada siapa saja. Namun, orang-orang yang mereka nasihati
menanggapinya dengan cibiran atau memantatinya.
Berikut ini pengalamanku di sebuah kafe bersama dua teman
yang lagi seru-serunya bicara soal rendahnya minat baca buku di Indonesia dan
kampanye gemar membaca yang banyak ditentang orang-orang yang merasa dirinya
lebih hebat dan paling pandai.
Teman 1: Padahal minat baca buku di Indonesia paling
rendah. Menurut data perpustakaan nasional, hanya 10 persen saja orang yang mau
baca buku dan 90 persen suka nonton dan bergunjing. Mereka yang tidak suka
membaca, masih juga berharap 10 persen pembaca buku ini untuk jadi pengikut
mereka yang membenci buku.
Teman 2: Parahnya lagi ada penulis yang berpendapat tidak
perlu membaca buku.
Teman 1: Lho? Kalau begitu untuk apa juga buku yang
ditulisnya? Bukankah buku itu ditulis untuk dibaca? Lantas kalau dia sendiri tidak
baca buku, buku yang dia tulis itu untuk apa? Kalau memang tidak perlu membaca,
untuk apa buku ditulis?
Teman 1: Aku tidak tahu. Mungkin untuk memukul kepalanya
yang dungu itu. Kan bisa juga?
Tempat Paling Sunyi, yang juga novel untuk dibaca, tidak ikut lomba, kalau ikut juga Insya Allah akan menang. Sekarang cetak ulang. |
Teman 2: Pram bilang, orang yang tidak mencintai sastra
itu seperti hewan. Mencintai sastra, berarti gemar membaca sastra. Pram saja
banyak belajar pada karya sastra dunia. Berarti yang tidak cinta sastra dan
malas membaca buku itu hewanlah!
Teman 1: Banyak yang mengangung-agungkan kalimat Pram
itu, tapi mereka tidak mengerti dan tidak bisa memahaminya karena kebodohan
yang sangat parah.
Teman 2: Itulah anehnya Indonesia. Membaca buku dianggap
tidak perlu dan mereka mencari berbagai alasan bernalar palsu untuk membenarkan
pendapat salahnya. Makanya Indonesia sulit maju dan pikiran orangnya
sempit-sempit.
Teman 1: Menurutku, orang-orang anti membaca dan anti
buku itu pengikut setan. Sebab, Islam sangat menganjurkan pemeluknya membaca.
Ayat pertama saja Iqrak (baca). Tuhan menurunkan Kitab Suci dan berbagai ilmu
pengetahuan untuk dibaca, bukan untuk disimpan dan dipajang!
Dalam hati aku berkata, beginilah bodohnya manusia. Mereka yang anti buku mendapat dukungan 270 juta jiwa penduduk Indonesia. Sedangkan yang menkampanyekan minat baca hanya mendapatkan dukungan dari saya seorang.
Silakan baca buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini agar mendapat banyak wawasan. Dan, bisa dijadikan sebagai pedoman untuk ikut sayembara novel nasional. Insya Allah tidak gagal.