Burung Terbang di Kelam Malam |
Oleh: Arafat Nur, penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam
BANYAK orang yang berminat
menulis sebuah cerita pendek, artikel, novel, ataupun lainnya, tetapi tidak
pernah diiringi dengan tindakan nyata. Mereka hanya mengatakan, “Saya ingin
sekali menulis cerpen. Tolonglah diajarkan!”
Lantas mereka pun mengikuti
sekolah, pelatihan, menulis, work shop, dan seminar-seminar. Nyatanya hanya
sebagian kecil dari mereka saja yang berhasil. Kenapa demikian? Jawabannya
karena mereka tidak pernah mengasah keterampilan menulis, selain hanya
mengikuti berbagai kegiatan itu hanya untuk mendengar saja.
Sedangkan mereka yang berhasil
ini adalah yang langsung menerapkan ilmunya dalam praktik, diiringi dengan
upaya dan berusaha mengatasi berbagai rintangan dengan tekun dan sabar. Tidak sekadar
mengungkapkan keluh-kesah, “Saya sebetulnya ingin sekali menulis novel, tapi
tidak bisa.”
Bagaimana mungkin dapat menulis
dengan baik bila memulainya saja tidak pernah? Beberapa orang, segera
dibantahnya, mengatakan bahwa dia sudah berusaha menulis, tetapi setelah
melalui satu alenia tidak dapat melanjutkan lagi akibat buntu pikiran.
Lalu saya menanyakan ada berapa
buku atau novel yang telah dibacanya dalam hidup ini? Ada yang menjawab dua
atau tiga, itu pun semasa SMA dulu. Namun, lebih banyak dari mereka tidak
pernah menamatkan satu buku pun, bahkan kebanyakan dari mereka membenci buku
pelajaran.
Bila keadaannya begini, apa
pantas menyebutkan dirinya berminat menjadi penulis? Bagaimana mungkin bisa
menulis dengan baik jika tidak pernah membaca karya orang? Lebih dari sekadar
untuk menghargai karya-karya bermutu yang dengan susah-payah ditulis, membaca
karya orang adalah untuk mempelajari gaya dan tehnik, serta pengaruh-pengaruh.
Bahkan bukan saja mahasiswa,
ada pula seorang guru yang bertanya pada saya apa pentingnya membaca karya
orang. Saya tidak tahu kenapa orang ini bertanya demikian. Jika karya-karya
yang sudah memperoleh pengakuan luas itu bukan untuk dibaca, lantas untuk apa
pula? Apakah mahasiswa dan guru tadi ini ingin menulis buku untuk dibacanya
sendiri?
Kenyataan yang memalukan
memang, tetapi hal ini perlu saya ungkapkan agar mengetahui bagaimana
sesungguhnya tingkat kebodohan dan kemalasan kita. Kalau saja yang bertanya itu
bukan oknum mahasiswa dan guru tadi, tentu tidak jadi masalah. Sebab pertanyaan
seperti itu hanya cocok diajukan anak SD atau SMP. Jika saja yang mengajukannya
anak SD, malah saya merasa bangga.
Perlu dicamkan bahwa mustahil
sekali seorang dapat menguasai menulis baik dengan hanya mempelajari teori.
Teori menulis, sekalipun dipaparkan dengan panjang lebar sampai mulut
berbuih-buih, kemudian diikuti pula dengan berbagai contoh, tidak akan pernah
mampu dijabarkan dalam praktek. Selain teori itu penting, penglaman membaca dan
melatih diri dengan tekunlah yang menentukan sebuah keberhasilan itu.
Makanya, untuk mengasah
keterampilan menulis, menurut saya, hal yang utama adalah dengan cara banyak
membaca, terutama karya-karya bermutu yang mencerdaskan. Baru kemudian yang
kedua adalah melatih diri dengan menulis secara teratur. Tentunya, pendapat
saya ini berseberangan dengan orang lain. Saya tidak hendak mendebatnya
lantaran beginilah pengalaman saya.
Menyangkut perihal kedua, tidak
jauh dari pengalaman pertama manakala saya mengajukan pertanyaan, “Kalau kamu
benar-benar ingin menjadi penulis, apa yang sudah kamu tuliskan?” Lantas
kebanyakan peserta menulis tadi menjawab tidak ada. Tidak ada usaha sedikit pun
bagi mereka untuk menulis, lalu bagaimana bisa menjadi penulis?
Inilah dunia yang aneh saya
temukan, mereka yang berminat menjadi penulis, selain jarang (tidak pernah)
menbaca, mereka juga tidak pernah memulai menulis. Bahkan, manakala diminta
untuk membuat tugas, masih banyak di antara mereka yang malas-malasan dan
mengabaikannya.
Hanya beberapa orang saja, yang
tidak pernah mengatakan keinginannya itu justru kemudian menjadi penulis.
Mereka tidak menunjukkannya dengan perkataan, tetapi dengan tindakan. Biasanya
mereka langsung menunjukkan hasil, “Bang, coba lihat cerpen saya ini, di mana
letak kekurangan, dan mohon bimbingannya.”
Ternyata minat untuk menjadi
seorang penulis itu tidak perlu diungkapkan, tetapi tunjukkanlah kesungguhan
itu dengan tindakan. Bukan dengan berkoar-koar dan berkeluh kesah. Maka, mereka
yang berkeinginan kuat menjadi penulis—meskipun tinggal di pelosok kampung,
tanpa ada yang membimbing dan mengajarkan—mereka tetap saja bisa menjadi
penulis. Kebanyakan sastrawan Indonesia belajar dengan cara demikian, bahkan
sastrawan dunia!
Suatu hal yang biasanya menjadi
persoalan dalam menulis adalah tidak mampu menguasai tehnik dengan baik. Teori
itu tidak untuk dihafal, tetapi untuk mengarahkan, dan tidak harus menurutinya
secara kaku. Harus bisa membedakan antara bercerita dan melaporkan—begitu
intinya—kendati cerita reportase dalam segi tertentu bukan kelemahan.
Namun, untuk kecakapan menulis,
penting sekali melatih penceritaan dengan baik. Tentu saja beda antara
menceritakan dengan melaporkan. Menceritakan lebih pada penunjukkan peristiwa,
sedangkan melaporkan hanyalah penjelasan sebuah kejadian. Maka, dalam bercerita
lebih banyak dibutuhkan kata kerja, buka kata sifat atau klaim yang justru
terkesan menggurui.
Sebagai contoh reportase atau
berita; “Oknum tentara itu telah membunuh
si polan dengan sangat kejam. Polan ditemukan mati terkapar bersimbah darah.”
Sedangkan menceritakan seperti
berikut; “Tidak saja menendang-nendang si
Polan, tetapi tentara itu juga menerjang, menampar-nampar, memukulinya sampai
berdarah-darah dan membuat tubuh korban sempoyongan. Tidak puas sampai di situ,
oknum tentara tadi mencabut sangkur, lantas menancapkan ke dada korban sehingga
tewas bersimbah darah.”
Pada bagian menceritakan ini,
penulis tidak perlu memindahkan fakta atau ikut campur mengklaim bahwa tentara
itu kejam, pulangkan saja penilaian itu sepenuhnya pada pembaca. Yang
terpenting adalah menunjukkan sebaik mungkin perilaku, aktifitas, dan tindakan
para tokohnya secara terus-menerus seiring dengan berpindahan alur dan plot.
Hal semacam inilah yang jarang dikuasai, sehingga cerita yang terbangun begitu
kering dan menjenuhkan.
*Penulis adalah penggemar buku
sejarah dan sastra asing, bergabung di Balai Sastra Samutra Pasai (BSSP),
Lhokseumawe, Aceh.
-------------------------------
Burung Terbang di Kelam Malam
karya Arafat Nur
Jika kehidupan adalah
sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian
di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok
Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan
bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama
itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.
Maka, dimulailah sebuah
perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak
saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang
memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar,
pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya
justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.
Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap
kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan
cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut
kehilangan, dan kesedihan yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa
humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas
dan mengalir.[]