ARAFAT NUR |
Dimuat di harian Waspada, Minggu (8/12/2003)
BEGITU membaca novel terbaru Arafat Nur bertajuk Burung Terbang di Kelam Malam yang diterbitkan Bentang, November 2013 ini, kita sulit sekali untuk melepaskannya. Ternyata benar apa yang dikatakan Ni Komang Ariani, penulis perempuan asal Jakarta ini. Novel ini memiliki daya magnet yang sangat kuat, berkisah dengan tehnik yang amat memikat.
Maka wajar saja kalau
novel ini banyak mendapat pujian dari sejumlah tokoh sastra, pengamat sosial,
jurnalistik, akademisi, dan aktifis kemanusiaan. “Melalui novel terbarunya ini, sekali lagi
Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita yang ulung,” kata
Perwakilan Bentang, Ika Yuliana Kurniasih, melalui
surat elektronik kepada Waspada.
Kata Ika, selaku editor yang menangani naskah ini,
penulis dengan lincah meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa pembaca
merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan
kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah
cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan
pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Namun, justru kemunculan novel baru ini semakin
mengukuhkan kemahiran Arafat bercerita dengan gaya khasnya yang masih terbilang
tidak lazim di Indonesia. Terlebih lagi, novel ini beda dengan Lampuki yang hanya mampu dicerna oleh
kalangan tententu. Sedangkan Burung
Terbang di Kelam Malam dapat dengan baik dicerna oleh semua lapisan
masyarakat dari pelajar SMA ke atas, tanpa sedikit pun mengurangi kualitas
sastranya.
Kepiawaian Arafat Nur inilah yang membuat orang
harus angkat topi untuknya. Sekalipun dia bercerita kisah cinta di negeri pasca
perang, tetapi tidak terjebak dalam situasi menunggangi, hal yang tentu saja
sulit dihindari oleh penulis kebanyakan. Terlebih istimewa lagi, bahasa novel
ini begitu renyah, ringan, dan mudah dipahami dengan diksi yang sangat baik dan
terjaga.
Dengan bahasa dan percikan peristiwa kecil, dia
mampu membangun hal yang luar biasa besar, tanpa jeda menyeret perasaan dan
rasa ingin tahu pembaca sampai pada akhir cerita. Pembaca juga akan dibuat
terkejut dan tercengang, seolah-olah ini hanyalah fantasi belaka. Namun,
bangunan logika yang demikian kuat menyadarkan pembaca akan pijakan kakinya di
bumi. Tak jarang, novel ini kerap membuat kita termenung, sedih, dan juga
tertawa.
Sejauh ini Arafat sendiri tidak banyak berkomentar
kepada publik selain sedikit mengenai proses penulisan yang memakan waktu
hampir setahun. “Saya mempertimbangkan kemampuan pembaca terhadap pemahaman
teks-teks sastra yang berat, dan untuk ini saya harus memakluminya. Maka saya
pun menggunakan bahasa dan cerita yang mudah dicerna untuk menyampaikan sesuatu
yang besar dan rumit dengan cara sederhana. Tentu ini pertaruhan yang amat
sulit,” ujarnya.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Al Chaidar, Dosen Politik dan Pengamat Teroris Nasional
yang juga salah seorang penulis buku Aceh
Bersimbah Darah, merasakan biusan novel ini yang luar biasa, sehingga dia
sulit melepaskan perhatiannya dari membaca. “Peristiwa dalam novel ini seakan
menyatu dengan diri saya, dan saya tidak menyangka ada orang Aceh yang mampu
menulis novel bagus semacam ini, hahaha....” katanya.
Sepengetahuan Al Chaidar bahwa Arafat Nur yang
sehari-hari dikenalnya sebagai juru warta di Harian Waspada ini, sangatlah tekun membaca sejarah dan karya-karya
sastra dunia. Demikianpun, dia tetap merasa terkejut dengan karya yang
dihasilkan penulis muda Aceh ini, sebagaimana Lampuki yang menjadi pusat perhatian nasional, dan bahkan akan
menjadi bacaan negara lain.
Selain merasa bangga, dosen politik ini juga
menganggap, karya cerdas yang memukau dari buah tangan Arafat ini akan menjadi
sumbangan penting dari Aceh untuk dunia. “Tapi agaknya pemerintah dan orang
Aceh sendiri tidak paham, tidak begitu menaruh perhatian padanya. Bahkan banyak
kabar miring, baik yang menghujat karyanya maupun pribadinya. Hal ini tak perlu
diherankan lagi, semua orang besar mengalami hal buruk tidak mengenakkan
semacam ini,” ucapnya.
Namun, bagaimanapun, Arafat itu seorang pejuang
dibidangnya. Melalui sastra dia menyuarakan hati nuraninya, menentang ketidak-adilan,
memusuhi kebodohan, dan berteriak-teriak terhadap perlakuan buruk pemerintah
terhadap rakyat. Katanya, siapa yang hendak menyangkal kalau Arafat sudah
melakukan itu, sebagaimana yang tercermin dalam Lampuki dan kali ini dalam Burung
Terbang di Kelam Malam?
Aktifis sosial dan demokrasi Aceh di Swedia,
Asnawi Ali mengakui kiprah Arafat ini dalam membela kepentingan rakyat
tertindas dengan caranya sendiri. Novel Burung
Terbang di Kelam Malam begitu sarat dengan makna, sindiran; mengungkap
dengan baik situasi sosial serta sisi kelam politik dan cinta. “Dia adalah
penulis muda Aceh yang cukup penting dan perlu diperhitungkan,” ujarnya.
Tidak hanya membahas masalah kehidupan sosial dan
politik, novel ini sarat romansa hidup dan hubungan antar manusia dengan
penghayatan yang luar biasa. Novel yang akan bertahan cukup lama, menjadi bahan
kajian, dan akan melekat kuat dalam hati pembaca. Untuk ini kita memang haru
angkat topi sekali lagi untuk Arafat Nur. (Mustafa
Kamal)