Oleh: Dwennyp.
Salah seorang penggemar novel Arafat Nur |
INGAT tidak, kalau dongeng-dongeng cerita masa kecil pasti semua berujung
bahagia, seperti cinderella yang hidup bahagia dengan pangeran tampan, atau
putri salju yang dibangunkan dari tidur panjang nya dengan ciuman sang
pangeran? Tapi, tak jarang pula fiksi dengan ending yang berujung sediih membuat
hati setiap pembacanya menjadi sesak, sedih bahkan menjadi muram.
Namun, untuk novel ini, tidak happy ending dan juga tidak sad ending. Ok,
kalau happy ending, aku bisa mengakhiri novel dengan menutup bukunya sambil
tersenyum, dan membayangkan kembali betapa bahagia si tokoh utama tersebut.
Kalau sad ending, aku akan menutup buku dengan hati sesak dan sebal. Tapi kalau
baca novel “Tanah Surga Merah” ini aku menutup buku dengan bertanya “Lantas.. bagaimana
kelanjutannya?”. Ending yang belum terjawab.
Cerita pada novel Tanah Surga Merah ini berlatar belakang konflik di Aceh.
Murad – si tokoh utama – adalah mantan pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan
Aceh dan juga seorang buronan, karena telah membunuh anggota partai merah yang
akan memperkosa seorang wanita.
Partai merah merupakan partai yang dianggap membawa perdamaian dan
kemakmuran di Aceh. Namun, saat sudah dilakukan perdamaian antara aceh dan
pemerintah indonesia (setelah konflik tersebut), Murad banyak menemukan orang –
orang partai merah jauh berbeda dengan sifatnya saat berjuang dulu. Mereka
semua jadi diperbudak oleh jabatan, kekuasaan, harta, dan wanita. Murad menjadi
jengah sehingga tidak segan membunuh orang yang ditemuinya akan memperkosa
seorang wanita.
Inti dari novel ini adalah kisah Murad yang kembali ke Aceh setelah
bertahun-tahun melarikan diri ke batam dan kemudian Riau. Walau sudah lama
sekali menghilang dan sudah mengubah penampilannya, ternyata dia dikenali
dengan mudah oleh orang-orang partai merah. Dan dimulailah kisah pelarian si
Murad dari satu daerah ke daerah lain. Hingga di ujung cerita, Murad masih
dalam perjalanan melarikan diri. Jadi seperti yang kubilang di awal tadi,
nanggung endingnya.
Banyak pesan moral yang tertuang di buku ini. Seperti pejabat-pejabat yang
lupa diri saat menjabat dan yang lupa dengan janji-janjinya saat kampanye.
Selain itu budaya rakyat aceh yang tidak suka membaca dan menganggap aceh akan
maju jika ada peraturan “hukuman tembak di tempat jika tidak membaca”. Kritikan
yang tajam memang banyak tertulis di buku ini.
Sebagai catatan sepertinya budaya baca di Indonesia memang rendah, jadi
tidak hanya di aceh saja. Nonton televisi dan main game pasti lebih banyak
disukai orang daripada harus berjibaku membaca buku yang berlembar-lembar
jumlahnya.