Arafat
Nur, born on 22 December 1974 in Lubuk Pakam, North Sumatera is an Indonesian
novelist, poet, and a short stories writer. He has earned a number of awards,
such as the winner of Short Story Writing held by Taman Budaya Aceh (1999), the
first consolation prize winner of Short Story Competition held by Telkom Online
(2005), and the third winner of Novel Writing National Competition held by
Lingkar Pena Forum (2005). His poems were published in Keranda-Keranda anthology (2000), Aceh dalam Puisi (2003), Mahaduka
Aceh (2005), Lagu Kelu (2005),
while his short stories were published in Remuk anthology (2000), And this year
he realease his first own poem book, Keajaiban
Paling Hebat di Dunia(20017). Arafat Nur has also published novels,
including Meutia Lon Sayang (2005), Cinta Mahasunyi (2005), Percikan Darah di Bunga (2005), Lampuki (2011), and Tanah Surga Merah (2017). He won Khatulistiwa Literary Award (KLA)
in 2011, through his novel Lampuki.
Jumat, 12 Mei 2017
Jumat, 05 Mei 2017
Tanah Surga Merah; Antara Politik dan Kritik Sosial
Sekarang arah telah berbalik tajam, aku bukan lagi pahlawan melainkan penjahat
buronan diintai polisi dan diburu orang-orang Partai Merah yang menaruh dendam
kesumat.
Adalah Murad mantan pejuang
kemerdekaan Aceh dan mantan anggota Partai Merah yang kini menjadi buronan
polisi dan Partai Merah karena dianggap sebagai pemberontak. Setelah sekian
lama melarikan diri, akhirnya Murad kembali ke Aceh, ke kota kelahirannya.
Setelah masa damai, banyak mantan pejuang kemerdekan Aceh menduduki kursi
kepemerintahan. Ada juga diantara mereka yang menjadi kepala daerah.
Biasanya, masalah
yang kerap mereka bincangkan hanyalah seputar proyek, jabatan dan perempuan.
Biarpun sudah menjadi anggota dewan dan pejabat terpandang, sifat
kekanak-kanakan mereka tak pernah berkurang. Inilah yang terjadi bila
orang-orang rakus dan bodoh menjadi penguasa negeri.
Kepulangan Murad tidak berjalan
mulus meskipun dia telah menyamar menjadi orang lain. Banyak dari
teman-temannya dulu yang sekarang menjadi musuhnya tetap mengenali Murad. Belum
apa-apa Murad telah dikeroyok beramai-ramai, walau akhirnya mereka percaya
bahwa Murad bukanlah Murad, sang pemberontak partai Merah. Murad menumpang di
rumah Abduh, sahabatnya dulu yang sekarang menjadi guru sejarah. Abduh
seringkali menyayangkan budaya baca buku yang sangat rendah di Aceh dan
herannya budaya pacaran menjurus mesum meningkat di Aceh.
"Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini
orang Aceh yang tidak suka baca buku. Kesukaanku adalah menipu."
"Aku orang Indonesia. Orang Indonesia juga tidak
suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak
suka buku. Kami suka menekan dan menyakiti orang."
Murad mengunjungi teman-temannya
sesama mantan pejuang kemerdekaan yang hidupnya jauh dari kemewahan.
Teman-temannya yang memutuskan untuk tidak bergabung dengan Partai Merah yang
kini berubah menjadi partai yang anggotanya berperilaku semena-mena, sombong
dan hanya memikirkan uang. Kehidupan Murad tidak pernah tenang dan harus
berpindah-pindah untuk menghindari kawanan Partai Merah yang ingin
menghabisinya.
Tiba-tiba
saja aku merasa asing pada tanah kelahiranku yang pulang ke rumah sendiri pun
harus diam-diam dan sembunyi-sembunyi seperti pencuri. Orang-orang dekat dan
sahabat karib kini menjadi musuh, bahkan mereka hendak membunuhku. Sementara
aku harus menjauhi keluarga dan teman-teman dekat yang tidak terlibat politik.
Sungguh asing rasanya negeri ini, tetapai aku terlanjur tidak bisa hidup di
tempat lain. Tanah ini rumahku, surgaku; tanah surga merah.
***
Buku ini terasa nyata bagiku
dibeberapa bagian walaupun buku ini adalah fiksi. Ada beberapa hal yang masih
relevan dan mungkin masih terjadi di Aceh. Membaca bab Partai Tuhan Aku
langsung ingat dengan salah satu kampanye cagub Aceh kemarin dan bab Sumpah
berikan Suara untuk Partai Tuhan adalah bab favoritku, karena sangat jelas
dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, maka hal-hal yang mungkin diluar
logika dan tidak masuk akal adalah sah-sah saja. Agama dijadikan barang
dagangan untuk menarik minat pembeli.
"Kalau Aceh
ingin merdeka, kemenangan Partai Merah kali ini haruslah mutlak, tidak boleh
ditawar-tawar, jangan berikan kesempatan pada partai lain. Hanya Partai Merah
sajalah yang mampu memperjuangkan nasib bangsa kita, yang akan membawa Aceh ke
puncak kejayaan di masa mendatang. Partai lain hanya memperjuangkan kesenangan
mereka sendiri, tak lebih dari itu!"
"Bila partai
ini kalah, Tuhan akan marah pada rakyat Aceh! ini kesempatan yang diberikan
Allah untuk memperbaiki nasib rakyat Aceh yang telah lama dijajah oleh
orang-orang yang tak jelas agamanya. Kita bangsa besar di dunia, dan kita harus
bisa menolong diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap pengakuan Amerika dan
Inggris, mereka orang kafir, mereka tidak mungkin mendukung kita!
"Kalian semua
harus memberikan suara untuk Partai Merah, sebagaimana yang kalian ketahui, ini
adalah Partai Tuhan!
Buku ini bukan hanya tentang
politik tapi juga penuh dengan kritik sosial. Penulis juga menggambarkan
kegagalan pemerintah yang tetap tidak dapat mengubah kehidupan rakyat bahkan
keadaan penduduk semakin terpuruk. Dana-dana program-program perekonomian
rakyat dan juga program pembangunan lain, banyak dialihkan pada sesuatu yang
tidak jelas, yang ujung-ujungnya untuk kekayaan partai dan anggotanya. Melalui
buku ini aku mengetahui bahwa di Aceh masih ada daerah yang belum mendapat
perhatian dari pemerintah, daerah yang benar-benar tertinggal yang penduduknya
masih percaya tahayul, jauh dari agama, belum teraliri listrik, dan anak-anak
yang tidak bersekolah. Entahlah, aku tidak terlalu yakin daerah tersebut hanya
rekaan penulis.
Penulis juga menggambarkan bahwa tidak ada yang benar-benar hitam ataupun putih dalam politik, semua serba abu-abu. Kita tidak pernah tau siapa sesungguhnya kawan maupun lawan. Penulis juga menggambarkan bahwa sah saja menjadikan orang lain kambing hitam demi kepentingan politik. Seperti Murad yang dituduh terlibat dalam kerusuhan yang tidak dilakukannya. Sepertinya wajar saja orang lain mengambil keuntungan terhadap situasi tertentu. Tidak peduli dengan nasib orang lain, yang penting bagaimana menjadi yang terkuat. Ah, politik dan kekuasaan seakan menutup hati nurani manusia. Seperti perkataan salah satu teman Murad, "mereka yang duduk dikursi kekuasaan telah ditutup hatinya dan sebenarnya dikutuk Tuhan." Melalui buku ini saya juga paham tentang orang yang sebenarnya tidak tau apa-apa tapi malah ikut-ikutan, merasa benar dan sok tau. Terkadang mereka sendiri hanya dimanfaatkan dan seakan semuanya beres dengan uang dan tahta.
Aku tertawa saat penulis
menyentil kebiasaan orang Aceh yang lebih suka menghabiskan waktu dengan duduk
dan mengobrol seharian penuh di kedai kopi dan memang tidak suka membaca buku.
Melalui buku ini aku melihat tidak ada yang berubah dari Aceh. Semoga Aceh
kembali bangkit ke arah postif dan tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk
memperkaya diri sendiri dengan mengatas namakan rakyat.
Seandainya endingnya tidak
menggantung seperti itu, aku pasti akan memberi lima bintang (butuh
kelanjutannya nih). Aku akhirnya ngeh hubungan kaver dan ending buku
ini. Btw, penulis berani banget dalam menjabarkan beberapa hal dan
beberapa tokoh walaupun namanya disamarkan tetap saja agak ketebak dan bikin
ketawa miris. Menurutku Tanah Surga Merah salah satu buku yang harus dibaca
masyarakat Aceh.
Favorit line :
Tapi, di Indonesia maupun di Aceh
tidak begitu. Manusianya berperilaku suka-suka, menerobos lampu jalan sesuka
hatinya, suka melanggar aturan, dan merasa bangga. Anjing tidak demikian!
Jangan kalian pikir semua doa
Nabi Muhammad diterima Allah Ta'ala. Ada satu doa yang tak dijawb-Nya, yaitu
permohonan Nabi agat umat islam bersatu. Bagaimana mungkin Allah bisa
mengabulkan doa semacam itu bila umat islam sendiri senang bertengkar dan hidup
berpecah belah?
Setan bukan saja dari golongan
jin. Setan juga ada dari golongan manusia. Kalian tidak sadar kalau diri kalian
yang kalian anggap suci murni itu adalah orang-orang yang dilaknat Tuhan?
Kamis, 04 Mei 2017
Buronan yang Pulang Bikin Gempar
Oleh: Dwennyp.
Salah seorang penggemar novel Arafat Nur |
INGAT tidak, kalau dongeng-dongeng cerita masa kecil pasti semua berujung
bahagia, seperti cinderella yang hidup bahagia dengan pangeran tampan, atau
putri salju yang dibangunkan dari tidur panjang nya dengan ciuman sang
pangeran? Tapi, tak jarang pula fiksi dengan ending yang berujung sediih membuat
hati setiap pembacanya menjadi sesak, sedih bahkan menjadi muram.
Namun, untuk novel ini, tidak happy ending dan juga tidak sad ending. Ok,
kalau happy ending, aku bisa mengakhiri novel dengan menutup bukunya sambil
tersenyum, dan membayangkan kembali betapa bahagia si tokoh utama tersebut.
Kalau sad ending, aku akan menutup buku dengan hati sesak dan sebal. Tapi kalau
baca novel “Tanah Surga Merah” ini aku menutup buku dengan bertanya “Lantas.. bagaimana
kelanjutannya?”. Ending yang belum terjawab.
Cerita pada novel Tanah Surga Merah ini berlatar belakang konflik di Aceh.
Murad – si tokoh utama – adalah mantan pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan
Aceh dan juga seorang buronan, karena telah membunuh anggota partai merah yang
akan memperkosa seorang wanita.
Partai merah merupakan partai yang dianggap membawa perdamaian dan
kemakmuran di Aceh. Namun, saat sudah dilakukan perdamaian antara aceh dan
pemerintah indonesia (setelah konflik tersebut), Murad banyak menemukan orang –
orang partai merah jauh berbeda dengan sifatnya saat berjuang dulu. Mereka
semua jadi diperbudak oleh jabatan, kekuasaan, harta, dan wanita. Murad menjadi
jengah sehingga tidak segan membunuh orang yang ditemuinya akan memperkosa
seorang wanita.
Inti dari novel ini adalah kisah Murad yang kembali ke Aceh setelah
bertahun-tahun melarikan diri ke batam dan kemudian Riau. Walau sudah lama
sekali menghilang dan sudah mengubah penampilannya, ternyata dia dikenali
dengan mudah oleh orang-orang partai merah. Dan dimulailah kisah pelarian si
Murad dari satu daerah ke daerah lain. Hingga di ujung cerita, Murad masih
dalam perjalanan melarikan diri. Jadi seperti yang kubilang di awal tadi,
nanggung endingnya.
Banyak pesan moral yang tertuang di buku ini. Seperti pejabat-pejabat yang
lupa diri saat menjabat dan yang lupa dengan janji-janjinya saat kampanye.
Selain itu budaya rakyat aceh yang tidak suka membaca dan menganggap aceh akan
maju jika ada peraturan “hukuman tembak di tempat jika tidak membaca”. Kritikan
yang tajam memang banyak tertulis di buku ini.
Sebagai catatan sepertinya budaya baca di Indonesia memang rendah, jadi
tidak hanya di aceh saja. Nonton televisi dan main game pasti lebih banyak
disukai orang daripada harus berjibaku membaca buku yang berlembar-lembar
jumlahnya.
Rabu, 03 Mei 2017
Menyentil Issu Membaca
"Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini orang aceh yang tidak suka baca buku. Kesukaanku adalah menipu... Aku orang Indonesia .. Orang Indonesia juga tidak suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak suka buku, Kami suka menekan dan menyakiti orang.." (Halaman 98)
Dari segi ide saya sudah tertarik dengan isunya yang mengangkat tema tentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimana Partai Merah yang berkuasa dan menjadikan hidup rakyatnya semakin melarat dan disinilah sosok Murad buronan yang dicari-cari yang tampil kembali menjadi sosok pahlawan untuk membela ketidakadilan didepan matanya tersebut.
Saya menyukai sentilan yang ditulis oleh Penulis mengenai membaca buku dan betapa negeri ini lebih mempercayai ilmu sihir ketimbang ilmu pengetahuan. Yang sebenarnya tanpa kita sadari hal itu benar-benar nyata terjadi dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari. Tidak usah jauh-jauh ke Aceh di kantor saya sendiri yang notabenenya masih berlokasi di Pusat Jakarta Selatan saja yang suka membaca buku hanya 3-4 orang di dalam satu divisi ya.
Endingnya dibuat gantung atau sengaja dibuat open ending seperti itu kali ya agar pembaca bisa menafsirkan apa yang selanjutnya akan dilakukan atau dihadapi oleh Murad?
"Beginilah buruknya wajah peradaban bangsa yang terpuruk, miskin, dan bodoh ini, sampai-sampai banyak yang beranggapan bahwa membaca itu hanyalah pekerjaan sia-sia yang tidak ada pahala. Pendapat ini semakin menyeret mundur lebih jauh, sampai-sampai mereka lebih menyukai dan mengamalkan ilmu guna-guna daripada ilmu pengetahuan. Lebih memilih sibuk menyakiti sesamanya lalu merasa bahagia mendapati orang lain celaka" (Halaman 99-100).
Langganan:
Postingan (Atom)