Burung Terbang di Kelam Malam |
Perwakilan
Bentang, Ika Yuliana Kurniasih selaku
editor, kepada pers, Selasa (12/11) menyatakan, paling tidak pada awal tahun
2014 ini Burung Terbang di Kelam Malam sudah beredar luas di sejumlah toko buku
terkemuka di kota besar Indonesia. “Kami sendiri menganggap sangat istimewa
novel yang ditulis Arafat Nur ini, penulis muda Aceh yang kami anggap cukup
penting,” ujarnya.
Dia
mengungkap sedikit rahasia, bahwa novel setebal 400 halaman ini ditangani
secara khusus dan dengan begitu cepat agar pembaca Indonesia dapat segera
menikmatinya. Beberapa pembaca memang sudah menanti dan bertanya-tanya novel
bagaimana yang ditulis Arafat Nur selanjutnya setelah Lampuki yang meraih dua penghargaan bergengsi sekaligus, yaitu pada
Dewan Kesenenian Jakarta 2010 dan Khatulistiwa Literary Award 2011.
Sementara itu Sharon Bakar, Guru Menulis Kreatif,
redaktur, mengelola penerbit indie yang bekerja sebagai dosen senior di Universitas College of St Mark dan St Johnn, dan Koordiantor
untuk Program Bisnis di The British Council, Kuala Lumpur mengharapkan buku sangat luar biasa ini. “Saya berharap novel
Burung Terbang di Kelam Malam akan
mendapatkan penghargaan, mengingat ini sangat penting.
Selain itu pembaca dengan
bahasa serumpun, seperti Malaysia diharapkan dapat menikmati pula sebagai
literatur untuk dipelajari bagi kedua negara. “Saya juga berharap buku ini akan diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa dunia agar masyarakat internasional dapat menikmatinya. “Itu sangat
penting sebagai karya sastra yang mengusung kepadatan kearifan lokal sebagai
bahan untuk saling belajar antara satu bangsa dengan bangsa lainnya,” kata
Sharon yang kelahiran Inggis.
penerjemah dan editor
berkebangsaan Amerika, John H. McGlynn mengatakan, dalam khazanah sastra Indonesia
modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang.
Dia sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka
masing-masing kepada khalyak ramai.
Novel
Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca
atas keunikan kebudayaan Aceh. “Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat
hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang
membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya,”
kata John H. McGlynn.
Sedanakn
Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai, juga alumni
International Writing Program University of Iowa USA dan International Writing
Workshop Hong Kong Baptist University mengatakan Burung Terbang di Kelam Malam
adalah sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik
suatu masyarakat dari kurun yang rawan.
Ini menandakan bahwa pandangan
penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan
kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang
hendak memonopoli kebenaran. “Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru
bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan
untuk bangkit berkali-kali,” tegasnya.
Sastrawan dan budayawan Bali, Wayan
Jengki Sunarta mengajukan pendapat, novel ini sungguh menghibur sekaligus
membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu
meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan
konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat.
“Alur ceritanya runut dengan
bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan
manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar
situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan
kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini,”
ucap dia.
Sebuah novel
menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik, kata Anton Kurnia,
penulis cerita dan editor buku sastra. Sementara Avianti Armand, arsitek, penyair,
dan cerpenis mengungkapkan, Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan
kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam
sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.
“Arafat
Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial,
dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang
bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat
kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini
mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah
menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia,” kata penyair Joko Pinurbo.
“Novel yang renyah sekaligus
bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung
Terbang di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai
politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat
kita menertawakan kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini,”
kata Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah,
Senjakala dan Bukan Permaisuri.
Menurut Oka Rusmini, novelis
Bali, membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan
muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan
begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan
gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu.
Disadari atau tidak Aceh telah
menjadi bagian Tanah Air yang istimewa
tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa
seolah wilayah itu terlalu istimewa,
terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya membuat pembaca terbentur
pada realitas yang amat mencengangkan. “Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi
pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir
yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya,” tegas Sanie B Kuncoro, seorang prosais.
“Arafat Nur berhasil
mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois, idealis
sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring cerita
asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik,” ujar Ragdi F. Daye,
penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.
“Berani, genit, dan terus
menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi
gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti
sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran
kita semua,” kata Sandi Firly, penulis novel Lampau.
Dimas Arika Mihardja, penyair
dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengatakan
Burung Terbang di Kelam Malam
tentulah sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator
mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam
kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan kontemplatif!
“Burung
Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi-lima
yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga
kuat dan rapi,” ungkap Benny Arnas, seorang cerpenis.
Nezar Patria, seorang sarjana
filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra berucap, novel Arafat ini berkisah
tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia
korban perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural
yang begitu segar dan memikat.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Katanya, Arafat menyuguhkan kepada
kita sejumlah snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada
moralitas manusia dalam Burung Terbang di
Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan
yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.
Sementara itu, Iyut Fitra,
penyair di Payakumbuh berkata, novel ini menghadirkan situasi tidak menentu dan
penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan
manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam
dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus
menghanyutkan.
“Malah di tengah-tengah
kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala
rintangan belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel
ini adalah sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat,
inilah Aceh hari ini,” ujarnya.
Sebuah sisi kelam dan janji
politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru
yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan
perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini, kata Bamby
Cahyadi, cerpenis lainnya.
Persoalan perempuan diceritakan
begitu menohok dan berani, lanjut dia. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk
masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan
terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang
kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!
Isbedy Stiawan ZS, seorang sastrawan
Lampung mengatakan, tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat
dalam menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi
dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat
berkuasa.
Sudut bidik cerita novel ini
cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang
di Aceh, lanjutnya, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas,
dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan
sastra Indonesia.
Cerita yang disajikan Arafat Nur
merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena layar realis jelas
tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak
relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu
tanpa terasa dengan penuh tanda tanya, begitu pendapat Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra,
tinggil di Tangerang.
Selain
itu, Kiyai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah
Semenep, Jawa Timur mengatakan, tema kemanusiaan dalam sebuah
novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang
penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’
dijadikan persyaratan untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi
pengarang sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit
dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.
Novel
yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca
konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas peralihan masa
transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh orang-orang
hipokrit, kejam, dan bodoh, kata Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat
Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.
Menurutnya,
Burung Terbang di Kelam Malam adalah
sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan, politisi,
dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir,
dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk
lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa
kini.
Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sarjana sastra yang
juga penyair, aktif di berbagai kegiatan sastra dan juga menulis prosa dan esai
mengatakan, Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan
si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi
pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini.
Arafat
Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam
Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada
konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan,
getir, dan juga penuh harapan. “Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di
Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi,
seusai tragedi, dan seusai tsunami,” kata Sihar.
“Pada dasarnya saya tidak suka
novel, tetapi begitu membaca Burung
Terbang di Kelam Malam, saya tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran,
membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Saya suka sekali novel ini dan
tidak bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan, ucap Lan
Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.
Menurut Lan Chin, novel ini begitu
indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah dia baca. Tidak ada
kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan
membuatnya berkali-kali terpaksa menahan napas.
Menurut
Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia, seorang pencinta sastra,
novel ini sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap
situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa mengagumkan
dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik percikan
peristiwa kecil yang banyak bertebaran.
Arafat
Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan.
Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita
tersentak dan tercengang. “Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah,
dan sedikit politik. Dan yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian
dalam bidangnya, memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan
caranya sendiri,” ujarnya.
Kalau orang tahu betapa asyiknya
novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu saja untuk membacanya.
Tak kalah luar biasa dari Lampuki,
bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua kalangan,
remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra, kata Nanda Feriana, seorang mahasiswi
penggemar sastra.
“Tak perlu bimbang, Arafat Nur
adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan
dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya
dengan hati berdebar,” tandasnya.[]