Oleh: Arafat Nur
SAYA selalu
saja diliputi dilema ketika memastikan bentuk sebuah novel yang hendak kugarap.
Terlalu banyak pertimbangan yang saling berbenturan. Saya tetap tidak bisa
mengikuti selera dan kemauanku dalam menulis teks-teks sastra, sebab saya butuh
minat pembaca yang banyak. Inilah yang terus kuupayakan, membuat novel dengan
selera banyak orang, tetapi tetap menjaga kualitas isinya.
Lampuki adalah
novel dengan pengakuan DKJ dan KLA, mendapat banyak pujian, tetapi sedikit saja
orang yang mampu mencernanya. Padahal, dalam ramuannya, saya telah berupaya
melakukan penyederhanaan sebisa mungkin dalam hal penggunanaan kata dan
kalimat, juga teknik penceritaannya. Inilah yang membuat heran kenapa bisa
mereka tidak mampu menyerapnya dengan baik.
Dalam
senggang waktu yang cukup lama setelah terbitnya Lampuki, saya berupaya membuat “rumusan” lain yang sederhana, yang
lebih mudah, lebih lurus, berketeraturan, dan lugas dalam kisah yang saya
tuturkan sehingga lahirlah bentuk novel Burung
Terbang di Kelam Malam. Sejak
awal saya menyadari buku ini tidak akan “menyaingi” Lampuki, tetapi ia memiliki sisi-sisi kelebihan lain yang tidak ada
dalam Lampuki.
Bila saja
novel baru ini memiliki sisi kekurangan yang seimbang dengan kelemahannya, maka
bisa dianggap impas—tidak ada masalah sama sekali. Yang selalu saya tekankan
dalam diri saya adalah jangan sampai saya membuat kecewa para pembaca. Saya sadar
bila membuat sedikit saja kesalahan, selanjutnya saya sulit untuk memulihkan
diri, sebaik dan sebagus apa pun novel yang saya hasilkan kemudian.
Dalam Burung Terbang di Kelam Malam, saya
mengajak untuk memilihat secara dekat dan dengan pandangan jernih segala realitas
kehidupan sesungguhnya, tanpa menambah atau mengurangi. Berusaha megetengahkan
hal populer yang tidak populer. Artinya, menyanjikan sesuatu yang pop dengan
cara yang tidak pop atau tidak terlalu pop. Maka, saat membaca novel ini ada
yang merasa “pop”, tetapi setelahnya menjadi ragu, dan baru kemudian disadari ternyata
tidak pop.
Ini adalah
kesan saya sendiri yang saya perkirakan sejumlah pembaca juga merasakan hal
demikian. Sejauh ini, selain dari komentar para endorser, saya belum mendengar
adanya tanggapan dari pembaca. Ada dua pembaca memang yang cukup terkesan
dengan gambaran kota-kota yang mengasyikkan dalam novel ini. Ada pula mereka
yang amat terkesan dengan dua perempuan yang menjadi tokoh dalam novel ini.
Bila memang “komposisi”
semacam Burung Terbang di Kelam Malam
ini cocok dengan minat pembaca, dan dianggap memiliki kelebihan-kelebihan, di samping
kekurangan-kekurangannya yang bisa diperkecil, tentu saja saya akan tetap mempertahankan
gaya penulisan semacam ini untuk novel-novelku selanjutnya. Memang gaya tutur
ini tidak bisa dipisahkan dari gaya penuturan dalam Lampuki, melainkan gaya ini adalah turunan-turunan yang berbeda.[]
ikuti twitternya @arafat_nur.