Oleh: Musmarwan Abdullah
Pendahuluan
“Siapa yang berani mengejek orang Aceh?” Kalimat ini terdengar angkuh. Apalagi diajukan dalam sebuah forum resmi seperti ini; sebuah forum yang tak terpikir sebelumnya untuk ikut terkontaminasi dengan hal-hal picik seumpama prasangka etnik, rasial, dan kedaerahan.
Hingga sejauh ini, baik di pidato-pidato perseorangan, forum-forum resmi, media massa, apalagi dalam sebuah karya monumental semisal karya sastra—puisi, cerpen dan novel—belum ada seorang pun, atau sekelompok orang di Indonesia yang punya kenekatan mengungkapkan sesuatu tentang Aceh melalui bahasa yang miring, ironis, miris, dan penuh satir bahkan ejekan.