Penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam
LAMA sebelum menulis cerita pendek (cerpen), saya sudah
terlibat dengan sejumlah bacaan, baik buku kumpulan puisi, bunga rampai cerpen,
novel, maupun buku teks sastra lainnya. Buku-buku bacaan ini saya dapatkan dari
meminjam di perpustakaan sekolah semasa di SMP dan SMA yang kemudian banyak
memberikan pemahaman tentang sastra bagi saya.
Tidak ada
bayangan bahwa kelak saya akan menulis puisi, cerpen, ataupun novel. Saya
membaca buku-buku itu hanya sebatas menikmati dan disebabkan adanya rasa ingin
tahun saja, layaknya orang yang menikmati kue lantas penasaran terhadap apa
saja bahan-bahan panganan tersebut. Oleh keadaan yang demikianlah kemudian
wawasan tentang sastra saya kian bertambah, sampai kemudian saya mencoba-coba
untuk membuat sebuah tulisan.
Lantaran puisi
lebih singkat dan bisa ditulis lebih cepat daripada tulisan lainnya, maka
tulisan pertama saya adalah sebuah puisi. Saya menulis sebuah puisi pada tahun
1995 yang dimuat majalah Kiprah—saya sudah
lupa isi dan judul puisi itu. Setahun kemudian saya menulis puisi lagi yang
berjudul Sebuah Kota di Tengah Hutan
yang dimuat Harian Serambi.
Pada awal menulis
puisi memang terasa amat berat. Gagasan yang sudah begitu padat dan ingin dituangkan
tidak kunjung bisa diujudkan dalam bentuk tulisan. Apa pun kata-kata yang saya tuliskan
rasanya tidak pernah cocok, tidak mampu mewakili apa yang saya maksudkan.
Sehingga berhari-hari saya berusaha mencari kata-kata lain yang saya anggap
lebih tepat, menyebabkan saya seperti orang yang senantiasan dalam keadaan
uring-uringan.
Saya percaya,
bila kita punya pendirian yang kokoh dan tekad yang kuat terhadap suatu usaha,
kelak tidak ada yang bakal sia-sia. Atas sikap inilah saya terus berusaha
membaguskan puisi saya, sampai kemudian saya rasakan cukup mantap dan
mengirimkannya ke penerbit selayak sebuah surat, lantas melupakannya. Waktu itu
saya tidak tahu prosedur pengiriman, dan betapa terkejutnya tatkala puisi itu dimuat
di majalah dan koran yang saya sebutkan di atas.
Tentunya saya kembali
terkejut begitu koran yang memuat tulisan saya ini mengirimkan wesel, uang berupa
honor tulisan. Jumlahnya memang tidak seberapa, tetapi membuat saya amat gembira
dan memicu semangat saya untuk menulis lagi, yang pada awalnya hanya sebagai
adu kemampuan; artinya apakah saya juga mampu menulis puisi yang layak dimuat di
majalah atau koran sebagaimana karya orang lain.
Untuk selanjutnya
saya memang terus menulis, tetapi tidaklah begitu teratur. Saya terus membaca
karya-karya orang lain, baik melalui buku maupun koran yang memuat puisi,
cerpen, dan catatan budaya. Kegiatan membaca ini saya sadari teramat penting,
bahkan jauh lebih penting bila dibandingkan dengan menulis. Tanpa rajin membaca
rasanya amat mustahil untuk bisa menuliskan sesuatu, apalagi sebuah tulisan
yang berbobot.
Seiring dengan
kegiatan membaca dan menulis puisi ini pula kemudian saya mencoba-coba untuk
menulis cerpen. Sebagaimana jamaknya orang yang begitu sulit dalam mengawali
sebuah tulisan, begitu pulalah yang saya hadapi saat itu. Bermacam-macam godaan
datang silih berganti untuk menggagalkan rencana menulis saya. Ada bisikan
semacam ini; untuk apa menyusahkan diri dengan menulis, bukankah lebih baik
gabung sama kawan-kawan; model kamu ini mau menulis cerpen, jangan harap bisa; kalaupun
bisa apa mamfaat cerpen itu bagi kamu, buang-buang waktu saja!
Burung Terbang di Kelam Malam |
Sebagaimana
pemaksaan saat menulis puisi, pemaksaan menulis cerpen ini jauh lebih berat.
Saya tidak bisa meninggalkan begitu saja cerpen yang belum selesai, karena
khawatir tidak akan pernah selesai selamanya. Maka, bila saya tidak sanggup
menyelesaikannya dalam sekali duduk, saya tidak akan menulis cerpen, dan
kebiasaan semacam itu terus berlanjut sampai sekarang bila sewaktu-waktu saya
menulis cerpen.
Pengalaman saya
menulis, dan mungkin ini hanya terjadi pada diri saya saja, bahwa dalam
mengawalinya saya harus memaksakan diri. Setelah berhasil menulis sebuah puisi,
selanjutnya lebih mudah bagi saya untuk menuliskan yang lain. Begitu pula
ihwalnya saat saya memaksakan diri menulis cerpen Malam, selanjutnya lebih mudah bagi saya untuk menuliskan cerpen
lain. Artinya tidak harus terlalu memaksakan diri lagi, dan kadang bahkan saya
dapat dengan santai dan menikmatinya.
Tentu saja, novel
tidaklah bisa diselesaikan dalam sehari, apalagi sekali duduk—ini sangat
mustahil dilakukan, dan rasanya belum pernah ada hal semacam itu di dunia ini,
sehebat apa pun penulis itu! Namun, proses menulis novel tidak jauh dari apa
yang sudah saya lalui saat saya menulis puisi dan cerpen. Tatkala menuliskan
novel pertama saya, Percikan Darah di
Bunga, saya menulisknya selama 44 hari berturut-turut, tanpa ada jeda
sehari pun. Saya hanya berhenti begitu waktu makan, waktu shalat, dan waktu
tidur.
Kala menggarap
novel pertama, saya menganggap bahwa saya ini adalah seorang prajurit yang
terjun ke medan pertempuran. Karena sudah memulai, maka tidak ada alasan untuk
undur diri; peperangan ini harus tuntas, entah nanti kalah atau menang (novel
ini tidak jadi atau jadi), itu adalah urusan nanti. Ternyata novel pertama ini
justru memenangkan Sayembara Novel Forum Lingkar Pena 2005, yang membuktikan
bahwa saya menang di medan pertempuran dalam melawan godaan, kebosanan, dan
rasa tidak percaya diri.
Burung Terbang di Kelam Malam |
Sekarang saya
jarang menulis puisi dan cerpen, karena saya lebih memusatkan diri pada menulis
novel. Setelah Lampuki ada banyak
novel lain yang sedang saya kerjakan, dan satu di antaranya yang berjudul Burung Terbang di Kelam Malam akan segera
diterbitkan Bentang November 2013. Saya merasa lancar-lancar saja saat menulis,
tidak lagi harus terlalu memaksakan diri seperti dulu. Cuma saja, yang jadi
kendala sekarang adalah waktu. Menulis novel membutuhkan waktu yang luas dan panjang,
sementara setiap hari saya harus bekerja dan sering disibukkan dengan ragam
masalah lain.[]