LHOKSEUMAWE: Novelis Aceh,
Arafat Nur, kembali merilis novel terbarunya bertajuk Tempat Paling Sunyi yang
diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan beredar secarak serentak, Kamis
(11/6) di Jakarta dan sekitarnya.
Novel ini sudah beredar di
sejumlah toko-toko buku di kota besar Pulau Jawa sejak Minggu (8/6), diikuti
dengan kota-kota lainnya, termasuk Medan dan Banda Aceh. “Sejak Minggu memang
sudah ramai pembeli novel ini,” kata Arafat di Lhokseumawe.
Novel ini mengisahkan perjuangan
dan pengorbanan Mustafa, seorang penulis novel tidak terkenal di wilayah yang
sedang berkecamuk perang. Seumur hidupnya, dia terus berusaha menuliskan sebuah
buku yang dianggapnya sangat penting, demi bangsa dan demi negara.
Mustafa menghadapi
berbagai tantangan, termasuk hubungan rumitnya dengan seorang gadis yang
kemudian menjadi istrinya, yang justru seperti berusaha mengagalkan cita-cita
besarnya. Memang pada akhirnya, novel itu berhasil dicetak, tetapi dalam waktu
cepat, baik secara sengaja maupun tidak, novel Mustafa itu lenyap semua. Bahkan
penulisnya diracun.
Novel ini sangat
inspiratis, mengajarkan tentang ketulusan, keikhlasan, mengenai ketidak-berdayaan,
serta kebodohan manusia. Dalam novel ini Arafat Nur menyampaikan banyak pesan
penting demi kepentingan dan kemajuan manusia, di mana bangsa ini harus cerdas
dan maju dengan mencintai ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, penulis Aceh
ini telah menulis Lampuki (Serambi, 2011),
novel penting dalam sejarah sastra Indonesia yang memenangkan sayembara Dewan
Kesenian Jakarta 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011, yang
kemudian menjadi perbincangan hangat di kalangan sastrawan dan akademisi.
Sedangkan novel Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang,
2014) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Bird
Flies in the Dark of Night yang direncanakan akan tampil di Frankfurt Book Fair (FBF), Oktober 2015 mendatang, dan diliput
oleh 10.000 (sepuluh ribu) jurnalis manca negara.
Kata Arafat, sastra juga
bisa mengangkat harkat dan martabat manusia, memperkenalkan bangsa kita pada
dunia. Karena di negara-negara maju, masyarakat dan pemerintah amat peduli pada
sastra, sehingga banyak sastrawan yang tinggal di negara maju mendapatkan
hadiah nobel setiap tahunnya.
Arafat mengharapkan
pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Aceh memperhatikan pengembangan
sastra di daerah ini, membantu penulis-penulis yang hidupnya tidaklah terlalu
beruntung. “Tidak hanya masyarakat umum, pemerintah juga sangat perlu membaca
novel Tempat Paling Sunyi ini,” tandasnya.