Oleh
Nasrullah Thaleb
Siang
kemarin, aku mendapat kabar dari Bang Arafat, Novel barunya TEMPAT PALING SUNYI
(Gramedia, 2015) telah sampai dirumah dan sudah mulai beredar sekarang. Sorenya aku langsung ke rumahnya,
membelinya satu. Novel yang sampai ke rumahnya tidak banyak hanya beberapa buah
saja yang dihadiahkan oleh penerbit untuknya.
Jika ada orang pesan dan butuh banyak, dia juga harus membelinya di toko buku
layaknya pembaca pada umumnya. Malam
ini ketika aku memulai membaca Tempat Paling Sunyi, aku seolah sedang berada
diatas sebuah rakit bambu yang dialiri sungai yang deras yang menghanyutkan
diriku tanpa mampu lagi aku menepi. Aku seperti dirayunya, dipikat dan di
tenggelamkan ke dasar. Di situ ada gejolak penuh cita rasa, Kebencian, kesetiaan,
kekonyolan, bahkan derita; semua larut, mengembara.
Tokoh
utamanya, Mustafa, seorang biasa yang tidak punya kelebihan apa-apa, tidak bisa
dikatakan jenius, bahkan kadang hampir putus asa, namun dia punya tekad yang
kuat untuk mengabdikan hidup demi orang banyak. Dia telah mengabdikan hampir
seluruh hidupnya untuk menyelesaikan sebuah novel. Di tengah berkecamuknya
perang, di saat orang-orang sibuk mempertahankan hidupnya di ujung mesiu di
malah mempertaruhkannya di ujung pena.
Tak ada seorang pun kala itu yang menghargai dan mendukung kerja kerasnya,
termasuk istrinya sendiri. Perempuan itu tidak lebih dari seorang perempuan
pencemburu yang manja yang belum bisa menerima kenyataan hidup mereka yang
miskin, juga tidak pernah tau kalau negerinya sedang dilanda perang dan
rakyatnya jatuh melarat. Menurut Mustafa, itu karena istrinya dilahirkan dari
sebuah keluarga kaya dan terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan
dibesarkan dengan kebodohan.
Dalam
keadaan yang sedemikian rupa, Mustafa tidak tahu bagaimana harus menjelaskan
pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan, ditambah lagi ibu
mertuanya yang beranggapan menantunya ternyata hanya seorang lelaki tolol yang
sebetar lagi menderita sakit jiwa.
"Oh
Tuhan dosa apakah aku? Aku terjepit di antara dua perempuan bodoh yang tidak
mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan
diriku yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain
menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar." (hal 40).
Malam
ini sebagai permulaan, aku telah menghabiskan tujuh bab, aku belum bisa
bercerita banyak kecuali penasaranku akan perjuangan Mustafa dalam menggapai
cita-citanya demi mewujudkan mimpinya. Sekalipun ia terkadang berpikir bahwa
takkan pernah lahir sebuah novel dari seorang yang menderita dan miskin seperti
dirinya. Akankah Mustafa akan menyerah dalam keterpurukannya?
Membayangkan
penderitaan Mustafa, aku ikut merasa sedih dan terenyuh. Aku bahkan tidak mampu
melukisnya dengan luna yang mahal sekalipun, kecuali kau sendiri yang
membacanya, dan aku yakin kau akan langsung terjerumus dalam alurnya yang
deras.
“Menulis
novel adalah ketersiksaan di suatu sisi dan kenikmatan pada sisi yang lainnya.
Namun bukan alasan itu semata untuk sejemput kabahagiaan ini-- dia melakukan
pekerjaan menulis, sama sekali bukan. Ini adalah tanggung jawab yang besar
dalam hidupnya, bila bisa dikatakan demikian, di saat tidak ada jalan lain
baginya mengisi dan memaknai hidup yang sangat singkat ini.” (hal- 13).
Malam
ini saat usai membaca novel ini aku tidak bisa memejamkan mataku, hatiku telah
rusuh. Aku tidak mampu membayangkan kepedihan dan penderitaan apa lagi yang
sedang menunggu Mustafa. Akankah dia
benar-benar tiba pada titik yang paling sunyi?
Aku
sangat menderita bila nanti tidak sempat menkhatam novel ini sampai akhir. Karena
kegelisahan ini, aku tidak bisa tidur, semalam aku telah bangun tujuh kali
untuk buang air kecil ke kamar mandi dan tanpa sadar aku mengkhatamnya satu
kali di kasur....