Selasa, 29 Oktober 2013

Burung Terbang di Kelam Malam

Burung Terbang di Kelam Malam

Penulis      : Arafat Nur
Penerbit : PT Bentang Pustaka, November 2013.

DIA tersenyum, tampak berpikir sesaat, “Hei, Fais, aku takut kalau suatu hari nanti kamu bosan kepadaku, terus kamu meninggalkan aku begitu saja tanpa perasaan. Kalau kamu melakukannya, aku sedih sekali. Aku akan menangis berhari-hari, bahkan bertahun-tahun, sampai aku tidak bisa menangis lagi, lalu mati ....”
“Masa bisa sampai begitu, sih?” aku bertanya heran.
“Tentu saja bisa!” serunya.
Beberapa lama aku tertegun menatapnya. “Kamu bersungguh-sungguh?”
“Kenapa bengong begitu? Itu cuma perumpamaan saja, tahu! Lagi pula, mana mungkin kamu sanggup berbuat begitu. Memangnya kamu ini bisa tega sekali kepada gadis yang mencintaimu?”
“Tentu saja tidak.”
“Aku menyukaimu,” ucap Safira, lantas mengecup lembut pipiku yang membuat aku sangat terkejut. “Aku ingin kamu menuliskan ciumanku ini dalam novelmu itu!”

Novel ini mengungkap tentang kehidupan sosial yang begitu dekat, tentang sisi gelap politik dan cinta. Penuh dengan persoalan rumit dan berliku-liku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir. Politik, cinta, takut kehilangan, kesedihan, dan perasaan tidak berdaya begitu kental dalam cerita. Selain mengandung wawasan luas, juga sangat menghibur.

Pujian:

Burung Terbang di Kelam Malam
Novel ini sangat luar biasa dan membius; mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Transisi Aceh ke demokrasi ternyata secara cerdik direbut oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi mengenai dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.

Al Chaidar, Pengamat Politik dan Teroris Nasional, juga salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah, tinggal di Aceh.


Pada dasarnya saya tidak terlalu suka dengan novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam, saya sangat penasaran, begitu emosi, sedih, haru, dan lucu. Saya suka sekali dan tidak bisa melepaskan sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Sangat indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah ada. Betul-betul nyata, tidak terduga, dan membuat saya terpaksa berkali-kali menahan napas!

Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.

Awalnya Adalah Pemaksaan


Oleh: Arafat Nur

LAMA sebelum menulis cerita pendek (cerpen), saya sudah terlibat dengan sejumlah bacaan, baik buku kumpulan puisi, bunga rampai cerpen, novel, maupun buku teks sastra lainnya. Buku-buku bacaan ini saya dapatkan dari meminjam di perpustakaan sekolah semasa di SMP dan SMA yang kemudian banyak memberikan pemahaman tentang sastra bagi saya.
Tidak ada bayangan bahwa kelak saya akan menulis puisi, cerpen, ataupun novel. Saya membaca buku-buku itu hanya sebatas menikmati dan disebabkan adanya rasa ingin tahun saja, layaknya orang yang menikmati kue lantas penasaran terhadap apa saja bahan-bahan panganan tersebut. Oleh keadaan yang demikianlah kemudian wawasan tentang sastra saya kian bertambah, sampai kemudian saya mencoba-coba untuk membuat sebuah tulisan.
Lantaran puisi lebih singkat dan bisa ditulis lebih cepat daripada tulisan lainnya, maka tulisan pertama saya adalah sebuah puisi. Saya menulis sebuah puisi pada tahun 1995 yang dimuat majalah Kiprah—saya sudah lupa isi dan judul puisi itu. Setahun kemudian saya menulis puisi lagi yang berjudul Sebuah Kota di Tengah Hutan yang dimuat Harian Serambi.
Pada awal menulis puisi memang terasa amat berat. Gagasan yang sudah begitu padat dan ingin dituangkan tidak kunjung bisa diujudkan dalam bentuk tulisan. Apa pun kata-kata yang saya tuliskan rasanya tidak pernah cocok, tidak mampu mewakili apa yang saya maksudkan. Sehingga berhari-hari saya berusaha mencari kata-kata lain yang saya anggap lebih tepat, menyebabkan saya seperti orang yang senantiasan dalam keadaan uring-uringan.
Saya percaya, bila kita punya pendirian yang kokoh dan tekad yang kuat terhadap suatu usaha, kelak tidak ada yang bakal sia-sia. Atas sikap inilah saya terus berusaha membaguskan puisi saya, sampai kemudian saya rasakan cukup mantap dan mengirimkannya ke penerbit selayak sebuah surat, lantas melupakannya. Waktu itu saya tidak tahu prosedur pengiriman, dan betapa terkejutnya tatkala puisi itu dimuat di majalah dan koran yang saya sebutkan di atas.
Burung Terbang di Kelam Malam
Tentunya saya kembali terkejut begitu koran yang memuat tulisan saya ini mengirimkan wesel, uang berupa honor tulisan. Jumlahnya memang tidak seberapa, tetapi membuat saya amat gembira dan memicu semangat saya untuk menulis lagi, yang pada awalnya hanya sebagai adu kemampuan; artinya apakah saya juga mampu menulis puisi yang layak dimuat di majalah atau koran sebagaimana karya orang lain.
Untuk selanjutnya saya memang terus menulis, tetapi tidaklah begitu teratur. Saya terus membaca karya-karya orang lain, baik melalui buku maupun koran yang memuat puisi, cerpen, dan catatan budaya. Kegiatan membaca ini saya sadari teramat penting, bahkan jauh lebih penting bila dibandingkan dengan menulis. Tanpa rajin membaca rasanya amat mustahil untuk bisa menuliskan sesuatu, apalagi sebuah tulisan yang berbobot.
Seiring dengan kegiatan membaca dan menulis puisi ini pula kemudian saya mencoba-coba untuk menulis cerpen. Sebagaimana jamaknya orang yang begitu sulit dalam mengawali sebuah tulisan, begitu pulalah yang saya hadapi saat itu. Bermacam-macam godaan datang silih berganti untuk menggagalkan rencana menulis saya. Ada bisikan semacam ini; untuk apa menyusahkan diri dengan menulis, bukankah lebih baik gabung sama kawan-kawan; model kamu ini mau menulis cerpen, jangan harap bisa; kalaupun bisa apa mamfaat cerpen itu bagi kamu, buang-buang waktu saja!
Kemudian saya tahu bahwa ternyata jin yang menggoda orang menulis itu cukup banyak, sehingga orang yang tidak sabar, tidak mau bersusah-payah, dan cepat menyerah, akan langsung gagal. Saya melawan godaan berat ini saat menulis Malam, cerpen pertama saya yang saya selesaikan dalam satu malam. Saya memang memaksakan diri, bagaimanapun juga cerpen ini harus selesai. Saya bertekad tidak akan berhenti sebelum menuntaskannya, yang kemudian membuat saya jatuh sakit lantaran terpaksa berjaga semalaman.
Sebagaimana pemaksaan saat menulis puisi, pemaksaan menulis cerpen ini jauh lebih berat. Saya tidak bisa meninggalkan begitu saja cerpen yang belum selesai, karena khawatir tidak akan pernah selesai selamanya. Maka, bila saya tidak sanggup menyelesaikannya dalam sekali duduk, saya tidak akan menulis cerpen, dan kebiasaan semacam itu terus berlanjut sampai sekarang bila sewaktu-waktu saya menulis cerpen.
Pengalaman saya menulis, dan mungkin ini hanya terjadi pada diri saya saja, bahwa dalam mengawalinya saya harus memaksakan diri. Setelah berhasil menulis sebuah puisi, selanjutnya lebih mudah bagi saya untuk menuliskan yang lain. Begitu pula ihwalnya saat saya memaksakan diri menulis cerpen Malam, selanjutnya lebih mudah bagi saya untuk menuliskan cerpen lain. Artinya tidak harus terlalu memaksakan diri lagi, dan kadang bahkan saya dapat dengan santai dan menikmatinya.
Tentu saja, novel tidaklah bisa diselesaikan dalam sehari, apalagi sekali duduk—ini sangat mustahil dilakukan, dan rasanya belum pernah ada hal semacam itu di dunia ini, sehebat apa pun penulis itu! Namun, proses menulis novel tidak jauh dari apa yang sudah saya lalui saat saya menulis puisi dan cerpen. Tatkala menuliskan novel pertama saya, Percikan Darah di Bunga, saya menulisknya selama 44 hari berturut-turut, tanpa ada jeda sehari pun. Saya hanya berhenti begitu waktu makan, waktu shalat, dan waktu tidur.
Kala menggarap novel pertama, saya menganggap bahwa saya ini adalah seorang prajurit yang terjun ke medan pertempuran. Karena sudah memulai, maka tidak ada alasan untuk undur diri; peperangan ini harus tuntas, entah nanti kalah atau menang (novel ini tidak jadi atau jadi), itu adalah urusan nanti. Ternyata novel pertama ini justru memenangkan Sayembara Novel Forum Lingkar Pena 2005, yang membuktikan bahwa saya menang di medan pertempuran dalam melawan godaan, kebosanan, dan rasa tidak percaya diri.
Setelah itu, novel-novel saya yang lain lahir dengan begitu mudah, sampai kemudian saya memulai menulis Lampuki (Serambi, 2010). Saat menulis novel berat ini,  saya harus kembali memaksakan diri dan sempat membuat prustasi. Namun, saya merasa bahwa kerja keras saya itu membuahkan hasil yang setimpal, sebab Lampuki memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011.
Sekarang saya jarang menulis puisi dan cerpen, karena saya lebih memusatkan diri pada menulis novel. Setelah Lampuki ada banyak novel lain yang sedang saya kerjakan, dan satu di antaranya yang berjudul Burung Terbang di Kelam Malam akan segera diterbitkan Bentang Pustaka November 2013. Saya merasa lancar-lancar saja saat menulis, tidak lagi harus terlalu memaksakan diri seperti dulu. Cuma saja, yang jadi kendala sekarang adalah waktu. Menulis novel membutuhkan waktu yang luas dan panjang, sementara setiap hari saya harus bekerja dan sering disibukkan dengan ragam masalah lain.[] 

Disampaikan sebagai proses kreatif dalam penyuluhan sastra untuk siswa SMA se-Kutacane. Dimuat di Harian Waspada, Minggu (21/10/2013).