Selasa, 30 Oktober 2012

Novel Pertama yang Juara, Lahir dari Kekacauan Perang

Resensi Oleh: Hendra Kasmi

Judul : Percikan Darah di Bunga
Pengarang : Arafat Nur
Penerbit : Zikrul, Juni 2005.
Tebal Buku : 176 hlm ; 11,5x17,5 cm

SEJAK konflik melanda Tanah Rencong, cukup banyak kasus kekerasan yang terjadi, mulai dari penyiksaan fisik, perkosaan, penjarahan hingga pembunuhan. Batin siapa yang tak menjerit saat melihat martabat manusia dilecehkan begitu saja tanpa perasaan cinta. Tapi di mana-mana drama konflik memang sudah diskenariokan begitu, tak seru jika pelakon konfontrasi saja yang bermain, orang-orang sipil termasuk perempuan tak berdaya yang jelas-jelas tak ada sangkut paut dengan masalah pun harus ikut dilibatkan, walau hanya sekedar pemuas ambisi semu.
Hal itulah yang membuat Dhira tergerak untuk bergabung dengan sebuah organisasi yang memperjuangan nasib orang-orang tertindas. Namun, kehadiran tokoh Teungku Don yang membuat Dhira memendam hasrat cinta adalah warna lain yang mewakili sisi kepribadian dalam cerita ini.
Perasaan senasib telah membuat Teungku Don lebih banyak berinteraksi dengan Meulu—korban pelecehan seksual oleh orang-orang bersenjata. Gadis ini lebih beruntung dibandingkan Dhira karena memiliki alasan untuk berhubungan dengan sang Teungku. Sehingga melahirkan konflik pribadi berupa ungkapan-ungkapan jengkel dan cemburu yang membuncah terpendam dalam lubuk hati Dhira.
Sisi lain yang dipaparkan adalah tentang kehidupan sosial yang melahirkan perbedaan karakter yang begitu tajam. Walaupun mereka berjuang dengan misi yang sama, tapi sulit menyerasikan watak kepribadian mereka karena sudah terlanjur dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda, sehingga mereka sama-sama sulit memahami perasaan lawannya. Teungku Don dan Meulu adalah orang yang dibesarkan dalam kesederhanan lingkungan kampung dan dayah yang membuat mereka selalu berpegang teguh pada norma. Sehingga pembawaan mereka cenderung apa adanya. Sedangkan Dhira, gadis peranakan Aceh dengan jawa, dibesarkan dalam keluarga ekonomis yang cenderung tak ingin ikut campur dalam permasalahan yang melanda Aceh. Meski watak Dhira berbeda dari anggota keluarganya, lemah lembut dan perduli kepada sesama tapi tak bisa membuat dia bertahan dari arus modernisasi yang menyeretnya.
Sampai keadaan tragis datang memberikan kesempatan yang luas bagi Teungku Don dan Dhira untuk berkomunikasi. Maka di sinilah puncak cerita yang paling seru ketika benturan kultural terjadi. Dhira ingin melepaskan batasan norma yang mengikat mereka. Ia juga menginginkan sikap Teungku Don yang monoton berubah menjadi lelaki romantis yang bisa mengucapkan cinta lalu mereka akan bermesraan seperti pasangan lainnya.
Tapi garis etika yang membentuk kepribadian Teungku Don bertahun-tahun membuatnya tak menginginkan hal semacam itu. Ia tak mengenal getaran cinta. Yang membuat kita di bawa pada keharuan yang sangat adalah saat keadaan memaksa mereka kembali berpisah, Dhira yang menderita tak sempat menumpahkan semua isi hatinya yang lama terpendam.
Itulah sedikit gambaran cerita dalam novel “Percikan Darah di Bunga” karangan Arafat Nur. Seperti kebanyakan novel aceh lainnya yang mengisahkan liku-liku cinta dengan latar kelabu, bencana, desiran peluru, darah dan airmata. Tapi Arafat menyuguhkannya dengan nuansa yang berbeda dari novel lainnya. Ia begitu cerdas memadukan unsur cinta, religi, dan kemanusiaan di tengah konflik yang mendera secara menarik dan terarah. Ia menggambarkan tentang cinta yang terpendam dalam gemuruh pergolakan hingga harga diri manusia yang di cabik-cabik. Pada awalnya emosi pembaca akan terenyuh, tapi gelora itu akan kembali luluh bergantikan kedamaian saat pembaca di bawa kembali pada renungan spiritual yang menggugah jiwa.
Di lihat dari beberapa segi cerita ini sudah cukup menarik. Ide cerita yang tidak terlalu mencolok dan terkesan apa adanya, juga bahasa yang ditulis tidak berbelit-belit sehingga pembaca mudah mencerna isi cerita. Hal yang menarik lainnya adalah tentang kronologis cerita yang penuh misteri, mendebarkan saat konflik muncul secara tiba-tiba, plus dengan dialog tokoh yang tidak monoton sehingga membuat pembaca seolah-olah hanyut dalam suasana tragis dan mencekam saat masa diberlakukannya darurat militer di Aceh.
Ada sedikit ketidaknyamanan di sini, yakni pada penggambaran sudut pandang yang tak teratur. Misalnya, penulis memaparkan lebih dulu kronologis bebasnya tokoh Tengku Don dari penyiksaan, padahal biarkan saja pembaca terbawa oleh perasaan Dhira yang mengkawatirkan keselamatan lelaki idamannya.
Percikan Darah di Bunga, perpaduan nuansa cinta tanpa romantisme dengan warna konflik Aceh. Sebuah kisah penuh fantastis, betapa tidak, di satu pihak menceritakan tentang kehidupan yang penuh penderitaan, bayang-bayang teror, penyiksaan dan kebutuhan ekonomis yang menghimpit membuat orang lebih mementingkan nasibnya daripada masalah cinta. Sementara di pihak lain, kehidupan tokoh lain justru sedang di bakar gelora asmara yang dahsyat.
Judul novel tersebut diambil dari akhir kisah yang tragis, yang tetap menjadi misteri dalam setiap rangkaian cerita. Padahal penulis telah memberikan gambaran berupa dunia kedamaian para gadis dalam nuansa bunga, tapi kita tetap akan kesulitan menemukan hubungan antara kronologis cerita dengan topik yang diangkat di awal cerita.
Tak ada aroma politik dalam novel ini. Kedua pihak yang bertikai sama-sama berkesan negatif. Mereka digambarkan seperti penjahat, orang yang haus kekuasaan, otak pemerasan dan penganiayaan, pelaku teror yang telah menciptakan ketidaknyamanan dalam kehidupan masyarakat.
Arafat Nur, sang penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, Medan. Usia enam tahun ia pindah menetap di Aceh hingga ia merasakan dampak kemelut yang membakar Tanah Rencong yang membuat penulis akrab dengan suasana dan orang-orang yang terlibat dalam pergolakan. Oleh sebab itu, ia begitu lihai merancang ide dari realita yang terjadi kemudian mengolahnya menjadi fiktif cerita, tak heran bila hampir seluruh isi cerita ini menjiwai sisi kehidupan penulis.
Novel ini adalah peraih juara III Sayembara Novel yang diselenggarakan FLP (Forum Lingkar Pena) tahun 2005. Sekilas buku ini layak di miliki dan di baca oleh siapa saja khususnya kalangan remaja karena umumnya karya asuhan FLP berusaha membangkitkan minat baca dikalangan remaja. Novel ini juga layak anda koleksi karena sarat hikmah di dalamnya, diantaranya adalah perjuangan persamaan hak kemanusiaan dan keperdulian untuk melindungi martabat perempuan yang tak hanya dikesampingkan di tengah perseturuan politik tapi juga di libas oleh roda ankara murka untuk mencapai kepentingan sepihak.
      Secara tidak langsung, novel ini juga telah mengajak kita untuk merenung tentang pencarian hakikat cinta. Betapa rumit menemukan hakikat cinta yang sebenarnya di tengah zaman yang serba sulit. Perbedaan norma kehidupan membuat orang menafsirkan cinta menurut caranya sendiri. Pelaku konfontrasi sudah tentu cinta pada pengabdiannya walaupun harus menindas hak-hak kemanusiaan tanpa perasaan cinta. Sedangkan nafsu keduniawian hanyalah cinta semu yang membuat orang terus tersiksa karena selalu dipermainkan oleh perasaannya. Lalu dimana letak cinta yang hakiki itu?



Sastrawan Indonesia dan Nasional
§  Fina Sato
§  Jumari HS
§  Sam Haidy
§  T. Wijaya
§  Yudi MS

Cerpenis

§  Danarto
§  Eko Tunas
§  Hamka
§  Wan Anwar

Novelis

§  Ayu Utami
§  Gola Gong
§  Marga T
§  Nh. Dini
§  Ruli NS
§  Selasih
§  T. Wijaya
§  Titiek WS

[sunting]Kritikus/Eseis

§  Wan Anwar

Lain-lain

§  Adinegoro
§  Agus Noor
§  Ayu Utami
§  Clara Ng
§  Danarto
§  Dharmadi
§  Eko Tunas
§  Faruk HT
§  Gola Gong
§  Hamka
§  Idrus
§  Kriapur
§  Marga T
§  Mutmainna
§  Nh. Dini
§  S. Yoga
§  Selasih/Seleguri
§  Sholeh UG
§  SM Ardan
§  Suman Hs
§  T. Wijaya
§  Widjati
§  Y. Wibowo
§  Zen Hae