Rabu, 18 Desember 2013

Mengasah Keterampilan Menulis

Burung Terbang di Kelam Malam


Oleh: Arafat Nur, penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam


BANYAK orang yang berminat menulis sebuah cerita pendek, artikel, novel, ataupun lainnya, tetapi tidak pernah diiringi dengan tindakan nyata. Mereka hanya mengatakan, “Saya ingin sekali menulis cerpen. Tolonglah diajarkan!”

     Lantas mereka pun mengikuti sekolah, pelatihan, menulis, work shop, dan seminar-seminar. Nyatanya hanya sebagian kecil dari mereka saja yang berhasil. Kenapa demikian? Jawabannya karena mereka tidak pernah mengasah keterampilan menulis, selain hanya mengikuti berbagai kegiatan itu hanya untuk mendengar saja.

     Sedangkan mereka yang berhasil ini adalah yang langsung menerapkan ilmunya dalam praktik, diiringi dengan upaya dan berusaha mengatasi berbagai rintangan dengan tekun dan sabar. Tidak sekadar mengungkapkan keluh-kesah, “Saya sebetulnya ingin sekali menulis novel, tapi tidak bisa.”

     Bagaimana mungkin dapat menulis dengan baik bila memulainya saja tidak pernah? Beberapa orang, segera dibantahnya, mengatakan bahwa dia sudah berusaha menulis, tetapi setelah melalui satu alenia tidak dapat melanjutkan lagi akibat buntu pikiran.

     Lalu saya menanyakan ada berapa buku atau novel yang telah dibacanya dalam hidup ini? Ada yang menjawab dua atau tiga, itu pun semasa SMA dulu. Namun, lebih banyak dari mereka tidak pernah menamatkan satu buku pun, bahkan kebanyakan dari mereka membenci buku pelajaran.

   Bila keadaannya begini, apa pantas menyebutkan dirinya berminat menjadi penulis? Bagaimana mungkin bisa menulis dengan baik jika tidak pernah membaca karya orang? Lebih dari sekadar untuk menghargai karya-karya bermutu yang dengan susah-payah ditulis, membaca karya orang adalah untuk mempelajari gaya dan tehnik, serta pengaruh-pengaruh.

   Bahkan bukan saja mahasiswa, ada pula seorang guru yang bertanya pada saya apa pentingnya membaca karya orang. Saya tidak tahu kenapa orang ini bertanya demikian. Jika karya-karya yang sudah memperoleh pengakuan luas itu bukan untuk dibaca, lantas untuk apa pula? Apakah mahasiswa dan guru tadi ini ingin menulis buku untuk dibacanya sendiri?

    Kenyataan yang memalukan memang, tetapi hal ini perlu saya ungkapkan agar mengetahui bagaimana sesungguhnya tingkat kebodohan dan kemalasan kita. Kalau saja yang bertanya itu bukan oknum mahasiswa dan guru tadi, tentu tidak jadi masalah. Sebab pertanyaan seperti itu hanya cocok diajukan anak SD atau SMP. Jika saja yang mengajukannya anak SD, malah saya merasa bangga.

     Perlu dicamkan bahwa mustahil sekali seorang dapat menguasai menulis baik dengan hanya mempelajari teori. Teori menulis, sekalipun dipaparkan dengan panjang lebar sampai mulut berbuih-buih, kemudian diikuti pula dengan berbagai contoh, tidak akan pernah mampu dijabarkan dalam praktek. Selain teori itu penting, penglaman membaca dan melatih diri dengan tekunlah yang menentukan sebuah keberhasilan itu.

     Makanya, untuk mengasah keterampilan menulis, menurut saya, hal yang utama adalah dengan cara banyak membaca, terutama karya-karya bermutu yang mencerdaskan. Baru kemudian yang kedua adalah melatih diri dengan menulis secara teratur. Tentunya, pendapat saya ini berseberangan dengan orang lain. Saya tidak hendak mendebatnya lantaran beginilah pengalaman saya.

     Menyangkut perihal kedua, tidak jauh dari pengalaman pertama manakala saya mengajukan pertanyaan, “Kalau kamu benar-benar ingin menjadi penulis, apa yang sudah kamu tuliskan?” Lantas kebanyakan peserta menulis tadi menjawab tidak ada. Tidak ada usaha sedikit pun bagi mereka untuk menulis, lalu bagaimana bisa menjadi penulis?

     Inilah dunia yang aneh saya temukan, mereka yang berminat menjadi penulis, selain jarang (tidak pernah) menbaca, mereka juga tidak pernah memulai menulis. Bahkan, manakala diminta untuk membuat tugas, masih banyak di antara mereka yang malas-malasan dan mengabaikannya.

     Hanya beberapa orang saja, yang tidak pernah mengatakan keinginannya itu justru kemudian menjadi penulis. Mereka tidak menunjukkannya dengan perkataan, tetapi dengan tindakan. Biasanya mereka langsung menunjukkan hasil, “Bang, coba lihat cerpen saya ini, di mana letak kekurangan, dan mohon bimbingannya.”

     Ternyata minat untuk menjadi seorang penulis itu tidak perlu diungkapkan, tetapi tunjukkanlah kesungguhan itu dengan tindakan. Bukan dengan berkoar-koar dan berkeluh kesah. Maka, mereka yang berkeinginan kuat menjadi penulis—meskipun tinggal di pelosok kampung, tanpa ada yang membimbing dan mengajarkan—mereka tetap saja bisa menjadi penulis. Kebanyakan sastrawan Indonesia belajar dengan cara demikian, bahkan sastrawan dunia!

     Suatu hal yang biasanya menjadi persoalan dalam menulis adalah tidak mampu menguasai tehnik dengan baik. Teori itu tidak untuk dihafal, tetapi untuk mengarahkan, dan tidak harus menurutinya secara kaku. Harus bisa membedakan antara bercerita dan melaporkan—begitu intinya—kendati cerita reportase dalam segi tertentu bukan kelemahan.

     Namun, untuk kecakapan menulis, penting sekali melatih penceritaan dengan baik. Tentu saja beda antara menceritakan dengan melaporkan. Menceritakan lebih pada penunjukkan peristiwa, sedangkan melaporkan hanyalah penjelasan sebuah kejadian. Maka, dalam bercerita lebih banyak dibutuhkan kata kerja, buka kata sifat atau klaim yang justru terkesan menggurui.

     Sebagai contoh reportase atau berita; “Oknum tentara itu telah membunuh si polan dengan sangat kejam. Polan ditemukan mati terkapar bersimbah darah.”

     Sedangkan menceritakan seperti berikut; “Tidak saja menendang-nendang si Polan, tetapi tentara itu juga menerjang, menampar-nampar, memukulinya sampai berdarah-darah dan membuat tubuh korban sempoyongan. Tidak puas sampai di situ, oknum tentara tadi mencabut sangkur, lantas menancapkan ke dada korban sehingga tewas bersimbah darah.”

     Pada bagian menceritakan ini, penulis tidak perlu memindahkan fakta atau ikut campur mengklaim bahwa tentara itu kejam, pulangkan saja penilaian itu sepenuhnya pada pembaca. Yang terpenting adalah menunjukkan sebaik mungkin perilaku, aktifitas, dan tindakan para tokohnya secara terus-menerus seiring dengan berpindahan alur dan plot. Hal semacam inilah yang jarang dikuasai, sehingga cerita yang terbangun begitu kering dan menjenuhkan.



*Penulis adalah penggemar buku sejarah dan sastra asing, bergabung di Balai Sastra Samutra Pasai (BSSP),

Lhokseumawe, Aceh.



-------------------------------

Burung Terbang di Kelam Malam 

karya Arafat Nur

Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.[]

Selasa, 17 Desember 2013

10 Negara Termiskin di Dunia


Kemiskinan masih terjadi di negara-negara tertinggal. Umumnya negara-negara miskin ini berasal dari benua Afrika. Berdasarkan pendapatan per kapita dan kemampuan daya beli, setidaknya dari 10 negara termiskin di dunia. Seperti dikutip dari situs therichest, ada 10 negara yang tergolong negara termiskin.
 
10. Afghanistan Pendapatan per kapita masyarakat Afganistan sebesar US$ 1.072,19 per tahun. Masuk urutan kesepuluh termiskin di dunia, Afganistan saat ini dinilai sebagai negara yang masuk kategori daerah berbahaya di dunia. Banyak penduduk Afganistan yang mengungsi dan mencari suaka ke berbagai negara. Negara ini masih dihadapi dengan aksi teroris sehingga mengganggu pertumbuhan ekonominya.
 

9. Madagaskar Pendapatan per kapita masyarakat Madagaskar sebesar US$ 972,07 per tahun. Negara kepulauan ini merupakan pusat sumber hayati di dunia. Sebanyak 90% binatang liar di Afrika ada di negara ini. Hampir 90% masyarakat di Madagaskar hidup dengan penghasilan di bawah US$ 2 per hari.
 

8. Malawi Pendapatan per kapita masyarakat Malawi sebesar US$ 893,84 per tahun. Negara secara geografis berada di wilayah Afrika Tenggara ini memiliki kontur wilayah yang sulit. Negara ini memiliki tingkat harapan hidup yang rendah dan angka kematian bayi yang tinggi. Perseberan virus HIV di daerah ini juga sangat tinggi dan merata di seluruh wilayah.
 

7. Nigeria Pendapatan per kapita masyarakat Niger sebesar US$ 853,43 per tahun. Nigeria yang berada di area Afrika Barat ini memiliki kontur daerah yang sulit. Negara ini memiliki berbagai persoalan menyangkut infrastruktur, perawatan kesehatan, lingkungan hingga pendidikan.
 

6. Republik Afrika Tengah Negara ini masuk ke terbilang terkucil di area Afrika Tengah dengan pendapatan per kapita US$ 827,93 per tahun. Negara ini dihadapi persoalan konflik yang berlangsung lama.
 

5. Eritrea Eriteria merupakan negara relatif baru di Afrika. Merdeka tahun 1991, Eritaria memiliki pendapatan per kapita US$ 792,13 per tahun. Negara ini memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi yakni tumbuh 8,7%. Namun pendapatan per kapita masyarakat didorong oleh transfer dari luar negeri.
 

4. Liberia Negara yang berada di Afrika Barat ini, memiliki pendapatan per kapita US$ 716,04 per tahun. Negara ini sejak tahun 1980 mengalami perang sipil berkepanjangan. Hal ini berdampak terhadap kondisi ekonomi negara itu bahkan telah menewaskan hingga 250.000 jiwa penduduk.
 

3. Burundi Burundi yang berada di bagian Afrika Timur ini, memiliki pendapatan per kapita US$ 648,58. Negara ini terbelenggu oleh perang berkepanjangan, korupsi, kebodohan hingga persebaran HIV.
 

2. Zimbabwe Zimbabwe masuk ke negara yang cukup terisolasi di Afrika bagian Selatan. Negara yang dipimpin Robert Mugabe sejak tahun 1980 ini, didera kasus pelanggaran HAM hingga persoalan ekonomi. Negara ini memiliki pendapatan per kapita US$ 589,46 per tahun.
 

1. Republik Kongo Negara ini memiliki pendapatan per kapita US$ 394,25 per tahun. Negara ini dinobatkan sebagai negeri termiskin di dunia. Negara terluas kedua di Afrika ini, masih dedera berbagai kekesaran terkait pengelolaan pertambangan. Meskipun memiliki potensi besar di bidang pertanian, Kongo masih dihadapi dengan persoalan gizi buruk dan tingginya angka kematian. 



Burung Terbang di Kelam Malam
 
Burung Terbang di Kelam Malam
Jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.
   -------------------------------------------------------------------
 

Perubahan Aktifitas Arafat Nur Dua Bulan Terakhir

Burung Terbang di Kelam Malam
SELAMA dua bulan terakhir ini Arafat Nur, penulis novel Burung Terbang di Kelam Malam menjalani perubahan hidup yang drastis. Dia tidur lepas Isya dan bangun pada pukul dua dini hari, lantas memperbaiki tulisannya sampai waktu Subuh. Selepas shalat dia berlari-lari kecil sejauh 3 km lebih, bolak-balik dari rumah ke Simpang Buloh.
        Sehabis sarapan, dia membaca buku, dan sekarang sedang membaca ulang Norwegian Wood. Sudah dua kali tamat dia membaca buki itu. Karena sulit mendapatkan buku itu, pertama dia meminjam temannya Azhari, yang kedua dia meminjamnya pada Teuku Kemal. 
       Sebulan lalu dia melihat buku itu di TB Arun Post Lhokseumawe dan membelinya. Dia membaca ulang buku karya Haruki Murakami itu untuk yang ketiga kalinya. "Rasanya aku tidak akan bosan membaca buku ini, sekalipun Kafka on the Shore lebih bagus. Aku membaca Kafka dua kali tamat," ujarnya.
        Pada hari menjelang siang dia berangkat kerja, dan pulang pada petang hari. Dia akan kembali berolahraga, kemudian shalat Magrib, membaca beberapa ayat Qur’an. Bila acara bagus dia akan menonton televisi. Jika tidak, dia akan segera tidur dan kembali bangun pada pukul dua dinihari.
       Menjalani hidup seperti ini secara terus-menerus berat juga bagi dia. Dan karena sering olahraga yang menuntutnya harus mandi, maka dia memangkas botak kepalanya. Ada yang bilang sekarang dia lebih rapi, dan lebih seksi (hahaha), dan ada pula yang mengatakan dia jelek.

Senin, 09 Desember 2013

Novel Baru Arafat Nur Sita Perhatian Publik


ARAFAT NUR

Dimuat di harian Waspada, Minggu (8/12/2003)

 BEGITU membaca novel terbaru Arafat Nur bertajuk Burung Terbang di Kelam Malam yang diterbitkan Bentang, November 2013 ini, kita sulit sekali untuk melepaskannya. Ternyata benar apa yang dikatakan Ni Komang Ariani, penulis perempuan asal Jakarta ini. Novel ini memiliki daya magnet yang sangat kuat, berkisah dengan tehnik yang amat memikat.
Maka wajar saja kalau novel ini banyak mendapat pujian dari sejumlah tokoh sastra, pengamat sosial, jurnalistik, akademisi, dan aktifis kemanusiaan. “Melalui novel terbarunya ini, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita yang ulung,” kata Perwakilan Bentang, Ika Yuliana Kurniasih, melalui surat elektronik kepada Waspada.
Kata Ika, selaku editor yang menangani naskah ini, penulis dengan lincah meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa pembaca merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.

Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita dia, berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. “Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri,” ujarnya.
Burung Terbang di Kelam Malam
Sejak meluncurkan novel Lampuki (Serambi, 2011) yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan Khatulistiwa Literary Award 2011, khalayak pembaca bertanya-tanya novel bagaimanakah yang akan muncul setelah itu dari penulis yang terbilang kontraversi ini. Bahkan ada yang menduga, kualitas novel Arafat selanjutnya akan menurun, sebab Lampuki begitu menjulang untuk ukuran penulis baru yang tinggal jauh dari pusat kota besar.
Namun, justru kemunculan novel baru ini semakin mengukuhkan kemahiran Arafat bercerita dengan gaya khasnya yang masih terbilang tidak lazim di Indonesia. Terlebih lagi, novel ini beda dengan Lampuki yang hanya mampu dicerna oleh kalangan tententu. Sedangkan Burung Terbang di Kelam Malam dapat dengan baik dicerna oleh semua lapisan masyarakat dari pelajar SMA ke atas, tanpa sedikit pun mengurangi kualitas sastranya.
Kepiawaian Arafat Nur inilah yang membuat orang harus angkat topi untuknya. Sekalipun dia bercerita kisah cinta di negeri pasca perang, tetapi tidak terjebak dalam situasi menunggangi, hal yang tentu saja sulit dihindari oleh penulis kebanyakan. Terlebih istimewa lagi, bahasa novel ini begitu renyah, ringan, dan mudah dipahami dengan diksi yang sangat baik dan terjaga.
Dengan bahasa dan percikan peristiwa kecil, dia mampu membangun hal yang luar biasa besar, tanpa jeda menyeret perasaan dan rasa ingin tahu pembaca sampai pada akhir cerita. Pembaca juga akan dibuat terkejut dan tercengang, seolah-olah ini hanyalah fantasi belaka. Namun, bangunan logika yang demikian kuat menyadarkan pembaca akan pijakan kakinya di bumi. Tak jarang, novel ini kerap membuat kita termenung, sedih, dan juga tertawa.
Sejauh ini Arafat sendiri tidak banyak berkomentar kepada publik selain sedikit mengenai proses penulisan yang memakan waktu hampir setahun. “Saya mempertimbangkan kemampuan pembaca terhadap pemahaman teks-teks sastra yang berat, dan untuk ini saya harus memakluminya. Maka saya pun menggunakan bahasa dan cerita yang mudah dicerna untuk menyampaikan sesuatu yang besar dan rumit dengan cara sederhana. Tentu ini pertaruhan yang amat sulit,” ujarnya.
Burung Terbang di Kelam Malam
Maka jangan heran ketika membaca kisah yang biasa-biasa ini, tiba-tiba pembaca sudah terseret dalam suatu dunia yang penuh dengan lika-liku dan pelik. Tidak ada beban untuk memahaminya, pembaca langsung paham, dan kerap akan termenung-menung, terkadang jengkel, terkadang memang harus menahan nafas karena tegang.
Al Chaidar, Dosen Politik dan Pengamat Teroris Nasional yang juga salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah, merasakan biusan novel ini yang luar biasa, sehingga dia sulit melepaskan perhatiannya dari membaca. “Peristiwa dalam novel ini seakan menyatu dengan diri saya, dan saya tidak menyangka ada orang Aceh yang mampu menulis novel bagus semacam ini, hahaha....” katanya.
Sepengetahuan Al Chaidar bahwa Arafat Nur yang sehari-hari dikenalnya sebagai juru warta di Harian Waspada ini, sangatlah tekun membaca sejarah dan karya-karya sastra dunia. Demikianpun, dia tetap merasa terkejut dengan karya yang dihasilkan penulis muda Aceh ini, sebagaimana Lampuki yang menjadi pusat perhatian nasional, dan bahkan akan menjadi bacaan negara lain.
Selain merasa bangga, dosen politik ini juga menganggap, karya cerdas yang memukau dari buah tangan Arafat ini akan menjadi sumbangan penting dari Aceh untuk dunia. “Tapi agaknya pemerintah dan orang Aceh sendiri tidak paham, tidak begitu menaruh perhatian padanya. Bahkan banyak kabar miring, baik yang menghujat karyanya maupun pribadinya. Hal ini tak perlu diherankan lagi, semua orang besar mengalami hal buruk tidak mengenakkan semacam ini,” ucapnya.
Namun, bagaimanapun, Arafat itu seorang pejuang dibidangnya. Melalui sastra dia menyuarakan hati nuraninya, menentang ketidak-adilan, memusuhi kebodohan, dan berteriak-teriak terhadap perlakuan buruk pemerintah terhadap rakyat. Katanya, siapa yang hendak menyangkal kalau Arafat sudah melakukan itu, sebagaimana yang tercermin dalam Lampuki dan kali ini dalam Burung Terbang di Kelam Malam?
Aktifis sosial dan demokrasi Aceh di Swedia, Asnawi Ali mengakui kiprah Arafat ini dalam membela kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri. Novel Burung Terbang di Kelam Malam begitu sarat dengan makna, sindiran; mengungkap dengan baik situasi sosial serta sisi kelam politik dan cinta. “Dia adalah penulis muda Aceh yang cukup penting dan perlu diperhitungkan,” ujarnya.
Tidak hanya membahas masalah kehidupan sosial dan politik, novel ini sarat romansa hidup dan hubungan antar manusia dengan penghayatan yang luar biasa. Novel yang akan bertahan cukup lama, menjadi bahan kajian, dan akan melekat kuat dalam hati pembaca. Untuk ini kita memang haru angkat topi sekali lagi untuk Arafat Nur. (Mustafa Kamal)

Minggu, 08 Desember 2013

Tragedi dan Ironi Politik Aceh dalam Novel Terbaru Arafat Nur


Oleh: Al Chaidar, Dosen Politik Universitas Malikussaleh
(Dimuat Harian Serambi Indonesia, Minggu, 8/12/2013) 

Burung Terbang di Kelam Malam
NOVEL Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, November 2013) karya Arafat Nur bukanlah novel biasa, bukan pula novel picisan. Novel ini merupakan potret gambaran kehidupan politik Aceh yang semakin hari semakin menuju ke arah fasisme. Demokrasi Aceh, dalam novel yang ironik ini, telah dibajak oleh segelintir orang pandir dan munafik yang menggunakan segenap kekuatan parokial untuk membungkam media tentang kehidupannya yang bergelimang dosa dan tindakan melawan hukum lainnya.
Novel setebal 400 halaman ini berlatar Aceh pada tahun 2005 hingga 2010 yang sarat dengan parodi dan tragedi. Mengisahkan tentang Fais, seorang wartawan sebuah surat kabar terkemuka, mencoba membongkar kebohongan seorang calon walikota di wilayahnya. Tuan Beransyah, sang kandidat ini, memiliki istri-istri simpanan yang berserakan di berbagai wilayah Aceh. Ia menantang semua orang untuk membuktikan petualangan seksualnya yang sudah terlanjur kondang dalam masyarakat.
Dalam upayanya menjawab tantangan tersebut, Fais menelusuri satu per satu istri-istri atau mantan istri Tuan Beransyah itu. Usaha penelusuran ini bukanlah mudah, melainkan sebuah kerja keras, sebuah upaya auto-ethnographic yang penuh tantangan dan biaya serta waktu dan pengorbanan yang mengakibatkan ia terperosok dalam lingkaran setan jaringan para istri sang Tuan. Fais akhirnya berhasil menulis hasil penyelidikannya itu dan diterbitkan di koran tempat ia bekerja—yang kemudian memecatnya karena dianggap sangat lancang. Ia kemudian melarikan diri karena hendak dibunuh, dan akhirnya bersembunyi di tempat kekasihnya yang sebelumnya telah kecewa atas kelemahannya yang tidak mampu menolak setiap godaan wanita kesepian.
Novel ini menarik karena mengungkapkan tentang situasi moral Aceh yang sudah rusak dan Fais terjerembab ke dalam pelukan perempuan-perempuan yang sudah tidak perawan lagi, sebagiannya adalah istri-istri telantar Tuan Beransyah yang mengalami alienasi dan kesepian badaniah (carnal loneliness).
Fais akhirnya diselamatkan oleh Safira, yang juga sudah tidak perawan lagi, yang mau mengerti perjuangannya dalam mengungkap dunia hitam masa lalu sang pemimpin. Fais, dalam perspektif Georg Lukacs (1963)  adalah tipe pahlawan Aceh modern yang problematik (problematic hero) di tengah nilai-nilai problematik (problematic values) peradaban Aceh pasca DOM (Daerah Operasi Militer) yang tidak menentu.
Pasca DOM, banyak perempuan yang ditinggal telantar oleh tentara bagai sepah dibuang. Perempuan-perempuan ini kemudian mencari pemuasannya sendiri dengan berbagai cara yang mungkin untuk tetap bertahan di tengah getaran dunia yang problematik (problematic world).  Dalam kalimat Georg Lukacs sendiri, “the modern novel had become 'the epic of an age in which the extensive totality of life is no longer directly given’. The novel form is therefore organised around the problematic hero in pursuit of problematic values within a problematic world.”
            Novel Arafat Nur ini adalah novel modern dalam kesusasteraan Aceh. Kendatipun novel sebagai “sastra” atau sebagai “seni” masih jarang dibicarakan, apalagi jika bicara tingkat kesusastraan Indonesia, Arafat Nur menuangkan persepsi masyarakat Aceh yang masih guyub tentang apa itu novel. Kehadiran novel Burung Terbang di Kelam Malam ini menunjukkan peradaban Aceh yang problematis mulai menemukan media ekspresi baru terutama jika dibandingkan dengan cerita epik lainnya: prosa dan puisi atau hikayat.
Padahal di abad 21 ini, novel merupakan genre kesusastraan yang bisa dibilang sangat populer, terutama jika dilihat dari kuantitas penulis maupun pembacanya, serta dari jumlah buku yang beredar. Hal ini barangkali disumbang oleh menjamurnya novel-novel yang, katakanlah, merupakan novel ringan atau novel hiburan, meskipun istilah itu pasti sangat bisa diperdebatkan. Tapi kita tak bisa menutup mata, barangkali banyak di antara penulis novel sendiri yang tak pernah peduli, tak pernah mempertanyakan, apa itu novel? Akan tetapi, Arafat Nur sangat sensitif dengan wacana tentang novel yang dipahami masyarakat Aceh.
            Lihatlah ketika dialog Fais bertemu dengan Aida, istri Tuan Beransyah yang ditelantarkan di Panton:
[“Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan tugasku sebagai wartawan,” kataku kemudian, “aku hanya ingin menulis novel. Maka, kukatakan tadi bahwa pekerjaanku adalah penulis.”
“Apa itu novel?”
Aku baru sadar bahwa masih banyak orang yang asing terhadap benda itu. Jangankan membaca, menyentuh pun mereka tidak mau. Semasa sekolah dahulu mereka tidak menyukai jenis buku ini dan sangat membenci buku-buku pelajaran. Sekolah hanyalah sebuah keterpaksaan, tempat mencurahkan harapan bahwa dengan cara demikian kelak mereka bakal mendapat pekerjaan dan punya masa depan. Sekolah bukanlah tempat belajar, melainkan lebih banyak digunakan untuk kesibukan bermain dan pacaran. Itulah kenyataannya. Bahkan, sampai kuliah usai pun banyak di antara mereka yang tidak pernah menamatkan sebuah buku! Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa lulus dan memperoleh nilai bagus.
“Novel itu semacam buku cerita,” kataku untuk mengingatkannya.
“Oh, iya, aku tahu!” sambarnya. “Seperti yang dibaca anak-anak nakal itu,bukan?”
Aku agak tersinggung, “Yang kutulis ini tidak begitu!”
“Terserah kamu saja,” ucapnya kurang peduli. “Tapi, aku senang kalau kamu menuliskan cerita tentang hidupku ini,” lanjutnya dengan raut muka berseri-seri.]
Kenapa novel ditulis? Kenapa novel dibaca? (Sebagaimana orang menjalani hidup malas bertanya apa itu hidup? Kenapa ada kehidupan?) Untuk saya, itu pertanyaan penting. Tanpa pertanyaan-pertanyaan itu, saya barangkali kehilangan gairah untuk menulis novel. Jika ada buku semacam ini yang ditulis oleh bukan penulis novel, tapi pastinya ia pembaca novel yang tekun, saya bisa menyebut satu yang sangat penting: The Theory of the Novel, karya filsuf Hungaria, Georg Lukács. Sementara novel Arafat Nur ini menceritakan bagaimana pengalaman auto-etnografis Fais dalam menulis novel yang ia sendiri tengah berada dalam cerita itu. Lihatlah bagimana ketika Fais bertemu dengan orang yang sangat dicintainya, Safira, dan menceritakan rencananya untuk menulis novel:
[“Novel?” tanyanya aneh.
“Kenapa?”
“Kamu menuliskan cerita yang jorok-jorok, ya?”
“Tidak begitu,” aku menyanggah dan merasa perlu menjelaskan lebih lanjut.
“Pemahaman kita terhadap novel memang buruk sekali. Kalau sudah bicara tentang novel, seakan-akan yang diceritakan itu semuanya masalah jorok. Sebetulnya, tidak begitu. Aku tidak bakal menuliskan yang cabul kalau memang tidak perlu. Kalau nantinya memang dibutuhkan untuk mendukung kekuatan cerita, ya, aku tidak bisa menghindar.”
“Kamu menulis kehidupan nyata, ya? Maksudku, cerita yang benar-benar nyata?”
“Boleh juga kalau ada yang beranggapan begitu.”
“Berarti rumit, dong!”
“Tidak juga. Malah aku tidak suka yang rumit. Bukankah hidup ini sudah cukup rumit, untuk apa dibuat semakin pelik lagi? Aku lebih suka menulis hal biasa saja, apa adanya, tanpa berusaha menciptakan kesan luar biasa. Menurutku, novel itu harus sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak sekadar menuruti selera murahan segelintir orang.”
“Wow!” serunya. “Kalaupun tidak terlalu mengerti, aku setuju sekali denganmu, Fais!”]
 Jika selama ini novel modern dan filsafat modern tampak seperti dua rel yang berjejeran, buku-buku semacam ini merupakan upaya segar mempertemukan keduanya, di mana kedua tradisi saling meminjam metode dan upaya kreatif mereka. Buku lainnya adalah Aspects of the Novel karya E.M. Forster.  Novel Arafat Nur ini juga menggambarkan banyak keheranan orang-orang Aceh, bahkan yang sudah terpelajar sekalipun dalam memandang aspek novel yang penuh cerita fiktif, khayal mengkhayal dan lucah. Arafat Nur telah menempatkan dirinya sebagai “truth teller” yang lihai dalam menyusun kata demi kata yang membentuk kalimat yang ajaib. Lihatlah bagaimana ia menuliskannya tentang ini:
[“Jadi, kamu ini wartawan, begitu?”
“Betul. Tapi, aku tidak sedang dalam urusan meliput berita, sekarang aku lebih disibukkan menulis novel ....”
“Novel? Wah, kamu suka mengkhayal, ya?”
Selalu saja aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebutkan kata “novel” sehingga aku harus memberikan keterangan tambahan dan berbagai penjelasan lain di seputarnya yang kuketahui lewat pengalaman membaca, sama sekali bukan teori—aku tidak paham kata rumit itu! Bukan maksudku ingin berterus terang, melainkan memang aku tidak tahu cara berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa kuutarakan untuk lebih meyakinkannya.
“Tidak juga,” kataku berusaha mengubah pandangannya. Tak penting lagi benar atau keliru. Dalam sastra yang paling penting adalah bagaimana mengutarakan alasan yang masuk akal. “Aku menuliskan berdasarkan pengalaman nyata,” lanjutku kemudian.]
Novel Arafat Nur ini sekali lagi membuktikan bahwa apa yang dikatakan George Orwell (1945) dalam Animal Farm, bahwa manusia hidup melawan penindasan totalitarianisme dan fasisme menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam banyak hal, dua  buku itu bersinggungan satu sama lain dan terverifikasikan di dalam novel ini dengan dunia yang problematis; Aceh adalah dunia yang penuh dengan kesimpulan filosofis yang mendalam. Secara antropologis, manusia hidup dan mengembangkan kebudayaan berdasarkan responnya terhadap situasi yang ada. Jika Forster banyak bicara mengenai elemen-elemen novel, dalam beberapa tingkat nyaris teknis, buku Orwell lebih bersifat filosofis, terutama menyangkut novel modern.  Novel Arafat Nur menjadi cukup filosofis jika kita lihat Aceh dari kerangka konseptual George Orwell dan EM Forster.
Di Aceh, novel adalah barang langka. Tokoh Rohana atau Nana, dalam novel ini juga heran melihat Fais yang bekerja menulis novel. “Aku baru tahu kalau orang Aceh ada yang bikin novel!” (hlm. 121). Apa yang ditulis oleh Arafat Nur adalah sebuah “politics of truth” seperti George Orwell tulis dalam Homage to Catalonia (1938). Dalam konflik dan perang, novel yang jumlahnya lebih sedikit dari senjata, masih juga dianggap sangat berbahaya. Lihatlah bagaimana Arafat Nur menuliskan realitas politik kebenaran tentang hal ini:
[“Apa itu novel?” tanyanya dengan raut wajahnya yang sangat bodoh. “Rasanya seumur hidup aku belum pernah mendengar kata itu.”
Sadarlah aku kemudian bahwa terkadang benda itu sangat langka dan sulit ditemukan dalam masyarakat di sini. Mungkin dua tahun lalu—selagi perang masih berlangsung—bila ada orang yang menggeledahi rumah-rumah penduduk, mereka lebih mudah mendapati beberapa pucuk senjata api daripada menemukan sebuah novel. Bahkan, banyak orang terpelajar beranggapan bahwa novel lebih berbahaya daripada senjata. Benda itu dianggap dapat merusak akhlak, meracuni pikiran, dan menjerumuskan anak-anak pada perbuatan maksiat. Orang-orang cenderung mengenal novel picisan yang lumayan banyak beredar sehingga kemudian mereka menganggap semua novel sama saja.]
Novel sudah menjadi media baru, atau mungkin juga senjata baru, bagi masyarakat Aceh untuk menuliskan sejarah masalalunya; meninggalkan hikayat, prosa dan puisi lirih yang sangat terbatas baris dan sanjak. Bagi Arafat Nur, novel bukanlah domain khayal mengkhayal, melainkan workspace untuk melukiskan masa lalu yang sulit ditulis oleh skripsi, thesis atau disertasi sekalipun. Banyak tragedi Aceh yang tidak bisa ditulis dalam sebentuk buku, kecuali ada beberapa penulis yang sudah hilang urat takutnya dalam mengungkapkan tragedi Aceh (DOM, misalnya) di masa lalu. Novel modern adalah media baru yang tepat untuk menulis tentang tragedi Aceh yang sangat rumit dan problematis itu.
Sejarah adalah satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Ilmuwan sejarah atau antropolog mau tidak mau terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya sendiri. Menurut Georg Lukacs (1963:53), novel sejarah ialah novel yang membawa masa lampau kepada kita dan membuat kita mengalami hakikat masa silam yang sebenarnya.[]