Rabu, 20 November 2019

Menanggapi Kerinduan Pembaca


Setelah sekian lama menunggu, novel Arafat Nur cetak ulang dengan cover baru yang cantik dan menawan. Cetak ulang ke tiga novel itu adalah atas permintaan pembaca. Terutama LAMPUKI yang amat dicari-cari, baik dari pembaca di Indonesia, Malaysia, Singapur, dan Brunai Darussalam.

Semoga cetak ulang ini menjawab kerinduan para pembaca sekalian.

Senin, 18 November 2019

Lampuki Novel Arafat Nur Cetak Ulang

Ahmadi, berandalan kampung berkumis tebal, tiba-tiba muncul memimpin pasukan kecil melawan pemerintah. Si Kumis banyak lagak ini berhasil menghasut para penduduk supaya mengangkat senjata menyerang pasukan tentara yang datang dari pulau seberang. 

Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan, dengan Jibral, pemuda rupawan namun penakut yang menjadi pujaan hati para gadis. 

Kampung yang sunyi di tengah cengkraman perang itu pun tak kunjung sepi dari ragam masalah sehari-hari; kesulitan hidup, ancaman, perkelahian, sampai percekcokan sesama penduduk. 

Lampuki adalah novel yang amat menyentuh dan mencerahkan. Berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah keruntuhan Soeharto, novel ini mampu menggambarkan secara terperinci tentang perang, perilaku sosial, karakter masyarakat, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan; sebuah wajah daerah rawan yang tak mudah terlihat apalagi dipahami orang luar. 

Meski diceritakan dengan gaya yang mengundang gelak-tawa, tapi tidak menghilangkan simpati kepada orang-orang tak berdosa yang jatuh sebagai korban. Tidak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap begitu dalam dan tepat sasaran. Sungguh kisah yang unik, tajam, cerdas, dan amat jenaka.


Telah beredar luas. Selain di sejumlah toko buku Gramedia dan toko buku terkemuka lainnya di seluruh Indonesia, novel ini bisa didapatkan langsung di https://www.gramedia.com/products/tempat-paling-sunyi-1

Tempat Paling Sunyi, Novel Arafat Nur Cetak Ulang

Di tengah keriuhan pertengkaran rumah tangga yang tak kunjung reda, Mustafa berjuang keras menyelesaikan penulisan novelnya. Berkisah tentang hidupnya yang bagai tegak di pekarangan tepi neraka, juga sejarah negerinya dalam cengkeraman perang saudara. 


Di antara semua kemelut yang dia hadapi, Mustafa dipertemukan dengan Riana, seorang gadis yang telah lama hadir dalam mimpi-mimpinya. Dia berharap Riana bisa mengubah jalannya, mengubah hidupnya, dan menjadi semacam pemicu semangat untuk menuntaskan novelnya yang sudah begitu lama terkatung-katung. 


Namun, saat Mustafa berhasil merebut hati Riana, takdir pun berkata lain. Lelaki itu justru dihadapkan pada berbagai pilihan hidup membuat luka masa lalunya menganga. Mustafa lagi-lagi terpuruk, terempas, dan terpaksa berjalan sedirian di tempat paling sunyi. 


Sebuah kisah perjuangan tanpa henti, pengorbanan, cinta, impian, dan pencarian diri. Bagai sebuah cermin yang menghadirkan bayang ganda, begitulah kisah kesetiaan yang terkhianati, ketulusan yang tersakiti, cinta yang berubah benci, dan surga yang seketika menjadi bentangan neraka. 



“Sangat menarik; langsung menjerumuskan pembaca dalam derasnya arus cerita!” —Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.



Telah beredar luas. Selain di sejumlah toko buku Gramedia dan toko buku terkemuka lainnya di seluruh Indonesia, novel ini bisa didapatkan langsung di https://www.gramedia.com/products/tempat-paling-sunyi-1

Ringkasan Kisah Tanah Surga Merah, Novel Arafat Nur Cetak Ulang

Pengorbanan dan cinta Murad yang luar biasa terhadap Aceh, ternyata tetap tidak bisa membuatnya diterima di tanah kelahirannya sendiri. Di mana pun dia berada, nyawanya selalu terancam. 

Setelah menembak seorang anggota dewan, Murad menjadi buronan yang paling dicari. Selain pembunuh, dia juga dikecam sebagai penjahat paling kejam dan berbahaya. Dia juga diyakini hendak mengacau pemilihan umum dan merongrong Pemerintahan Aceh Baru. 

Banyak pihak kalang-kabut memburu Murad. Beberapa kali dia sempat dipukuli dan nyaris tertangkap oleh orang-orang Partai Merah yang melacak tanpa henti. Murad terpaksa melarikan diri ke sebuah kampung paling terpencil dalam rimba yang tidak terdapat dalam peta. Di sana pulalah dia terperangkap dalam dunia asing dan ganjil, sambil tetap bertahan dengan menyamar sebagai teungku pandai agama. 

Ketika penyamarannya nyaris terbongkar, Jemala, gadis yang diam-diam jatuh hati padanya, dengan gagah menyelamatkan Murad sesaat sebelum musuh tiba. Gadis itu melarikannya ke hutan belantara yang tidak pernah terjamah manusia. Di sanalah Murad dan Jemala menemukan sepetak surga yang membuat mereka terpana....

Telah beredar luas. Selain di sejumlah toko buku Gramedia dan toko buku terkemuka lainnya di seluruh Indonesia, novel ini bisa didapatkan langsung di https://www.gramedia.com/products/tanah-surga-merah-1

Jumat, 11 Oktober 2019

Masih Banyak Penulis Anti Buku


Masih banyak penulis anti membaca buku, dan hanya terjadi di Indonesia.

SAYA adalah seorang penulis. Saya menulis buku agar apa yang saya tulis dibaca orang. Saya menulis sastra yang mudah dimengerti dengan kualitas tetap tinggi. Tujuan saya menulis lugas agar langsung tepat sasaran. Ukuran kualitas karya saya yaitu dengan penilai juri dan editor. Setidaknya saya sering memenangi lomba, hanya itu yang bisa saya tunjukkan, karena tidak ada cara lain.
 
LAMPUKI, novel untuk dibaca, memenangi DKJ 2010 dam KLA 2011. Sekarang cetak ulang.
Yang membuat saya bingung, banyak penulis di Indonesia yang anti buku. Bahkan, mereka yang anti buku ini jadi pemateri menulis. Kata-kata yang saya ingat dari mereka, “Jangan baca buku orang lain! Jangan baca! Nanti kalian terpengaruh! Itu sangat berbahaya! Tanpa membaca buku tulisan kamu orisinil. Alami. Sekali-kali kalau ingin menjadi penulis hebat, jangan baca buku!!!”

Dalam hati, saya berkata, “Taikmu!”

Sampai sekarang penulis-penulis yang anti buku banyak sekali pengikutnya. Cepat sekali bertambah. Apalagi di Indonesia terkenal dengan budaya malas membaca. Jadi, ya, dengan sendirinya mereka yang membenci buku mengikuti bimbingan penulis sesat yang anti buku itu. Ini sulit dipercaya. Tapi, memang begitu kenyataannya. Seandainya etis untuk disebutkan, saya bisa menunjukkan nama penulis-penulis yang anti buku itu.

Tanah Surga Merah, novel yang juga untuk dibaca, memenangi DKJ 2016. Sekarang cetak ulang.

Namun, penulis-penulis ternama dan berada di papan atas pentas sastra Indonesia justru meresahkan minat baca. Mereka siang malam menganjurkan membaca kepada siapa saja. Namun, orang-orang yang mereka nasihati menanggapinya dengan cibiran atau memantatinya.

Berikut ini pengalamanku di sebuah kafe bersama dua teman yang lagi seru-serunya bicara soal rendahnya minat baca buku di Indonesia dan kampanye gemar membaca yang banyak ditentang orang-orang yang merasa dirinya lebih hebat dan paling pandai.

Teman 1: Padahal minat baca buku di Indonesia paling rendah. Menurut data perpustakaan nasional, hanya 10 persen saja orang yang mau baca buku dan 90 persen suka nonton dan bergunjing. Mereka yang tidak suka membaca, masih juga berharap 10 persen pembaca buku ini untuk jadi pengikut mereka yang membenci buku.

Teman 2: Parahnya lagi ada penulis yang berpendapat tidak perlu membaca buku.

Teman 1: Lho? Kalau begitu untuk apa juga buku yang ditulisnya? Bukankah buku itu ditulis untuk dibaca? Lantas kalau dia sendiri tidak baca buku, buku yang dia tulis itu untuk apa? Kalau memang tidak perlu membaca, untuk apa buku ditulis?

Teman 1: Aku tidak tahu. Mungkin untuk memukul kepalanya yang dungu itu. Kan bisa juga?
Tempat Paling Sunyi, yang juga novel untuk dibaca, tidak ikut lomba, kalau ikut juga Insya Allah akan menang. Sekarang cetak ulang.

Teman 2: Pram bilang, orang yang tidak mencintai sastra itu seperti hewan. Mencintai sastra, berarti gemar membaca sastra. Pram saja banyak belajar pada karya sastra dunia. Berarti yang tidak cinta sastra dan malas membaca buku itu hewanlah!

Teman 1: Banyak yang mengangung-agungkan kalimat Pram itu, tapi mereka tidak mengerti dan tidak bisa memahaminya karena kebodohan yang sangat parah.

Teman 2: Itulah anehnya Indonesia. Membaca buku dianggap tidak perlu dan mereka mencari berbagai alasan bernalar palsu untuk membenarkan pendapat salahnya. Makanya Indonesia sulit maju dan pikiran orangnya sempit-sempit.

Teman 1: Menurutku, orang-orang anti membaca dan anti buku itu pengikut setan. Sebab, Islam sangat menganjurkan pemeluknya membaca. Ayat pertama saja Iqrak (baca). Tuhan menurunkan Kitab Suci dan berbagai ilmu pengetahuan untuk dibaca, bukan untuk disimpan dan dipajang!

Dalam hati aku berkata, beginilah bodohnya manusia. Mereka yang anti buku mendapat dukungan 270 juta jiwa penduduk Indonesia. Sedangkan yang menkampanyekan minat baca hanya mendapatkan dukungan dari saya seorang.

Silakan baca buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini agar mendapat banyak wawasan. Dan, bisa dijadikan sebagai pedoman untuk ikut sayembara novel nasional. Insya Allah tidak gagal.