Senin, 12 Desember 2011

Cerita di Balik Kehidupan Penulis Novel Lampuki


Oleh: M Jakfar Achmad
dimuat di Harian Waspada (11/12)

Arafat Nur melihat Tariq Ali, penulis Inggris asal Pakistan, sedang menanda-tangani karyanya. Arafat Nur bersama penulis dunia lainnya memenuhi undangan sebagai pemateri di Festival Sastra Internasional yang berlangsung 5-10 Oktober lalu di Ubud-Bali.
MASA KECIL yang dilalui Arafat Nur, penulis novel Lampuki yang jadi fenomenal ini, tidaklah indah, bahkan banyak lika-liku yang dilaluinya sebagaimana cerita yang ditulis dalam novelnya. Lampuki adalah novel paling menonjol di kancah sastra nasional, menyabet dua penghargaan paling bergengsi sekaligus, yaitu memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan peraih anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011.
Dia hidup di kalangan keluarga yang taat agama. H Ali Hamid merupakan guru ngaji pertamanya yang merupakan kakeknya dari pihak ibu. Kakeknya ini terkenal sebagai guru para qari-qariah di Aceh dan Medan, yang anak muridnya banyak memenangkan lomba baca Qur’an tingkat kabupaten dan provinsi. Kakeknya juga merupakan saudagar lembu terpandang setelah pensiun dari dinas tentara Haiho-Jepang dalam upaya mengusir Belanda dari tanah air.
Perhelatan perkawinan orang tuanya, Nurdin dan Fatimah digelar secara besar-besaran, dan foto perkawinan mereka tampil di halaman depan Waspada edisi tahun 1972. Tak disangka kemudian kalau Arafat Nur, pada 2 Februari 2000, malah bergabung di harian ini dan meliput konflik di Aceh. “Waktu kecil, saya sering melihat koran Waspada yang disimpan Bapak itu, tetapi sekarang entah terselip di mana. Kami sering berpindah-pindah, banyak sekali dokumen keluarga yang hilang,” kenang Arafat Nur.
Arafat Nur dilahirkan di Lubuk Pakam pada 22 Desember 1974, merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya adalah kerani kereta api sebelum menikah, sedangkan ibunya guru agama, tetapi dengan alasan tertentu tidak pernah mengajar. Akibat kekacauan politik, berkaitan dengan keadaan ekonomi, dan kebangkrutan kakeknya karena kena tipu, akhirnya semua keluarga ini hijrah ke Desa Buket Rata, Kec Idi Rayeuk, Aceh Timur dan hidup sebagai petani.
Di sinilah Arafat kecil masuk SD, menempuh 7 Km pulang-pergi setiap harinya dengan berjalan kaki. Desa tempat tinggalnya adalah desa terpencil yang bertaburan bukit, tempat Asamera—perusahaan Amerika—melakukan eksplorasi minyak bumi. Di sana dia menekuni dunia yang sunyi bersama para pendatang, sebelum kemudian gejolak Aceh terjadi menyebabkan Arafat dan keluarganya sering berpindah-pindah dari Idi Rayeuk ke Aceh Utara dan Pidie.
Tentu saja sekolah Arafat sangat terganggu, banyak pelajaran yang tertinggal, dan kadangkala nilainya buruk. Namun, dia banyak juga beroleh prestasi di sekolah, bahkan pernah dapat juara I di SMP, dan menjadi berada di tingkat 7-10 besar manakala di SMA, selain itu juga dia pernah mendapat juara I lomba musabaqah di sekolah. “Selama sekolah saya hampir tidak pernah mengulang. Saya hanya mengingat-ingat saja apa yang dijelaskan guru. Maka, ketika guru sedang menjelaskan, saya memerhatikannya dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.
Waktu itu situasi Aceh sangat buruk, jika keadaan mereda, keluarganya yang mengungsi ke Krueng Geukueh, Aceh Utara, kembali lagi ke Idi. Namun, karena Arafat melanjutkan SMA dia tinggal di dayah, dia mendalami ilmu agama di pesantren Darussalam Rhieng Blang, Meureudu, Pidie. Pada tahun 1999, dia sangat terkejut begitu tahu rumahnya di kampung dibakar, dan kampungnya berubah menjadi lautan api. Sejak itu ibu dan adik-adiknya pindah ke Krueng Geukueh, dan ayahnya memilih menyendiri di Ulee Gle, Pidie.
Rumah tak ada lagi, keluarga kucar-kacir, tetapi Arafat menguatkan diri, tetap bertahan di pesantren, bahkan menjadi guru ngaji Al-Qur’an dan kitab Jawi bagi anak-anak di Meureudu. Selain itu, setamat SMA, karena tidak bisa melanjutkan kuliah, dia memanfaatkan separuh waktu untuk bakti di SMA tempatnya sekolah, yaitu menjadi penjaga pustaka. Boleh dibilang waktu itu saya lupa pada penderitaan saya sendiri karena sangking sibuknya.
Subuh-subuh sekali, setelah shalat, Arafat mengantar koran lokal ke langganan dan kedai kopi. Jam delapan dia masuk pustaka. Pulangnya mengantar Waspada sebagaimana waktu pagi. Itu jika dia tidak kena jadwal mengajar anak-anak. Sedangkan waktu malam, dia sendirilah yang belajar ketab Arab pada (alm) Teungku Sulaiman yang merupakan pimpinan dayah. “Karena menjadi penjaga pustaka, saya sering membaca buku, dan kerap membawa pulang. Dari sanalah bakat menulis saya terasah,” ujarnya.
Sebelum gabung di Waspada, cerpen-cerpen Arafat Nur sudah bermunculan di ruang Budaya Waspada, yang waktu itu diasuh As Atmadi. Selain itu juga berbagai tulisan, berupa puisi, catatan budaya, cerita pendek (cerpen), opini, dan essay di koran lokal. Manakala hijrah ke Lhokseumawe yang semula bertujuan untuk melanjutkan kuliah, malah dia sibuk menulis berita. “Pada saat inilah, setelah empat tahun jenuh dengan berita-berita penembakan, saya merasa perlu mengabadikannya dalam novel,” Arafat berucap.
Novel Pertamanya Percikan Darah di Bunga (Zikrul,2005) memenangkan juara III sayembara novel Forum Lingkar Pena Jakarta 2005, tak lama setelah dia terpilih sebagai wartawan Waspada liputan Aceh paling produktif. Kemudian diikuti cerpen, opini, novel-novel lainnya yang banyak meraih penghargaan tingkat lokal dan nasional. Nyanyian Cinta di Tengah Ladang (Pustaka Intermasa,2007) yang pernah diterbitkan sebagai cerita bersambung di Waspada, telah pula disandiwarakan di RRI Lhokseumawe selama 15 episode, yang berupakan program perdamaian Aceh.
Lampuki lahir secara mengejutkan pada januari 2010 dengan memenangkan DKJ, kemudian KLA pada 2011, yang merupakan novel ke tujuhnya. Novel ini meroketkan nama Arafat ke kancah dunia sastra nasional, bahkan mulai dilirik dunia internasional. Saat ini Lampuki sedang dalam upaya penerjemahan ke bahasa Inggris. “Masa penggarapannya terbilang cukup lama. Hampir dua tahun. Ini saya tekuni terus-menerus, sehingga saya hampir-hampir tidak aktif lagi menulis berita,” kisahnya.
Dalam penggarapan, katanya, dia menghadapi masa-masa sulit karena situasi dan juga ekonomi Aceh yang tidak menentu pasca perang. Saat itu dia mulai berkenalan dengan sastra-sastra asing, seperti karya-karya Borges, Milorad Pavic, Milan Kundera, Yasunari Kawabata, Haruki Murakami, Naguib Mahfud, Orhan Pamuk, Amin Maalouf, Tariq Ali, Marquez, dan lainnya. “Saya ingin membuat novel yang dapat memberikan sesuatu pada orang lain, yang bisa mencerahkan, dan membuka mata mereka terhadap dunia,” pungkasnya.(M Jakfar Achmad)

Teks Foto:

Arafat Nur melihat Tariq Ali, penulis Inggris asal Pakistan, sedang menanda-tangani karyanya. Arafat Nur bersama penulis dunia lainnya memenuhi undangan sebagai pemateri di Festival Sastra Internasional yang berlangsung 5-10 Oktober lalu di Ubud-Bali.
   ---------------------------------------------