Sabtu, 28 Mei 2011

Lampuki Mulai Meluncur

Novel Lampuki sudah mulai memasuki sejumlah toko buku di Jakarta dan sekitarnya, pastinya awal Juni depan sudah beredar seluruhnya, dan kemungkinan besar awal minggu kedua Juni sudah ada di Aceh dan seluruh nusantara. Mudah-mudahan penyalurannya lancar sehingga novel ini mudah didapatkan siapa saja. Lampuki layak dibaca pelajar SMA ke atas dan mereka yang pikirannya benar-benar dewasa dan cerdas.

Seorang Pengarang dan Gadis Sabang di Keterasingan Kultural

Oleh: Musmarwan Abdullah
Arafat Nur
DAYA kait atau saraf kontekstualisasi dalam sistem penalaran otak manusia memang terbilang unik. Di tengah belangsungkawa musibah daerah banjir bandang di Tangse, Pidie yang telah diamini para petinggi negeri sebagai akibat kemesuman sifat tamak segelintir warga di ranah illegal logging, saya malah teringat pada musibah tenggelamnya kapal Gurita rute Krueng Raya-Sabang tahun 1996 yang juga akibat ketamakan pihak pelabuhan yang menyumpal kapal dengan berdesak-desaknya penumpang dan barang hingga melebihi kapasitas resmi demi lebam-lebamnya beberapa dompet segelintir oknum di ruang penjualan tiket.

Jumat, 27 Mei 2011

Tradisi Menulis di Aceh

Serambi Indonesia, Sun, Feb 27th 2011.

PADA paruh abad 16 di Aceh telah muncul penulis berkaliber dunia, yaitu Hamzah Fansuri, yang kemudian diikuti pula oleh murid-muridnya seperti Syamsuddin As-sumatrani. Kiprah, kejayaan, dan kemasyhuran Hamzah dan penulis setelahnya ini tidak terlepas dari perhatian dan andil besar sang Sultan sendiri yang berkuasa pada masa itu.

Lampuki Mulai Meluncur


Novel Lampuki sudah mulai memasuki sejumlah toko buku di Jakarta dan sekitarnya, pastinya awal Juni depan sudah beredar seluruhnya, dan kemungkinan besar awal minggu kedua Juni sudah ada di Aceh dan seluruh nusantara. Mudah-mudahan penyalurannya lancar sehingga novel ini mudah didapatkan siapa saja. Lampuki layak dibaca pelajar SMA ke atas dan mereka yang pikirannya benar-benar dewasa dan cerdas.

Kamis, 26 Mei 2011

Kiprah Sastrawan Aceh

Pada medio Januari 2011, kabar gembira menghampiri jagad kesastraan Aceh: novel “Lampuki” karya Arafat Nur terpilih sebagai salah satu pemenang unggulan dalam Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Sayembara yang “menghadirkan” 254 naskah dan memakan waktu penjurian selama tiga bulan ini ditangani oleh tiga juri, yakni Sapardi Djoko Damono, Anton Kurnia, dan A.S. Laksana.

Selasa, 24 Mei 2011

Kesadaran Saat Menggarap Lampuki



RASANYA seluruh isi dan masalah dunia ada di dalam kepala, meskipun pada kenyataannya tidak begitu. Atau lebih sederhananya lagi seperti orang yang sedang membangun sebuah rumah bagus, yang harus mencari bahan-bahan sekaligus mengerjakannya sendiri.

Bahan yang bagus adalah gagasan cerita yang unik, sederhana tetapi jarang terjadi. Pada bahan ini terletak unsur-unsur kerumitan, seperti batang kayu langka di hutan yang belum ditebang. Untuk itu dibutuhkan tenaga yang besar dan kerja keras untuk mengolahnya, sekalipun kecacatan-kecacatan yang terjadi kemudian tidak dapat dihindari.

Minggu, 22 Mei 2011

Novel yang Menawan


JIKA kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.

Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan  yang begitu kental, tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.

Pujian -Pujian Pembaca:
1. Sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan, menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali.
Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai.

2. Novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat. Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini.
Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan budayawan, menetap di Bali.


3. Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik.
Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra.


4. Dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang. Maka, saya sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai. Novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya.
John H. McGlynnpenerjemah dan editor berkebangsaan Amerika.


5. Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.
Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis.


6. Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia.
Joko Pinurbo, penyair.


7. Novel yang renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung Terbang di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini.
Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan Bukan Permaisuri.


8. Membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu. 
Oka Rusmini, novelis, tinggal di Bali.


9. Disadari atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat mencengangkan. Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya!
Sanie B Kuncorocerpenis dan novelis yang cukup dikenal di dunia tulis-menulis.


10. Arafat Nur berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois, idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik.
Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.


11. Berani, genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua.
Sandi Firly, penulis novel Lampau.


12.Burung Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi. Selamat!
 Benny Arnas, cerpenis.


13. Burung Terbang di Kelam Malam tentulah sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan kontemplatif!
Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


14. Novel ini berkisah tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia korban perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural yang begitu segar dan memikat. Arafat Nur menyuguhkan kepada kita sejumlah snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia dalam Burung Terbang di Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.
Nezar Patria, sarjana filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra.


15. Menghadirkan situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus menghanyutkan. Malah di tengah-tengah kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala rintangan belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat: inilah Aceh hari ini.
Iyut Fitra, penyair, tinggal di Payakumbuh.


16. Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini. Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!
Bamby Cahyadi, cerpenis.


17. Tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat berkuasa. Sudut bidik cerita novel ini cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang di Aceh, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas, dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan sastra Indonesia.
Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, tinggal di Lampung.


18. Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh. Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.
Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.

19. Cerita yang disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu tanpa terasa dengan penuh tanda tanya.
Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra, tinggil di Tangerang.


20. Tema kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.
Kiai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur.


21. Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini. Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan seusai tsunami.
Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sastra, penyair, penulis prosa dan esai).


22. Pada dasarnya aku tidak suka novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam, aku tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran, membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Aku suka sekali novel ini dan tidak bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan. Begitu indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah aku baca. Tidak ada kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan membuatku berkali-kali terpaksa menahan napas!
Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.


23. Sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran. Arafat Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan. Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita tersentak dan tercengang. Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya, memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri!
Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia dan pencinta sastra.


24. Kalau orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki, bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra. Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati berdebar.
Nanda Feriana, mahasiswi penggemar sastra.


25. Saya harap Burung Terbang di Kelam Malam akan memenangkan banyak penghargaan. Saya juga berharap suatu saat pembaca Malaysia berkesempatan membaca novel ini karena sangat penting bagi kedua negara untuk saling mengenal karya sastranya. Bahkan, kiranya perlu juga diterjemahkan dalam bahasa lain agar pembaca di seluruh dunia bisa menikmatinya.
—Sharon Bakar, pengajar penulisan kreatif, editor, dan Dosen Senior The University College of St Mark and St John, Kuala Lumpur.


26. Ada tawaran-tawaran yang berbeda bagaimana memandang Aceh dari novel Burung Terbang di Kelam Malam. Tokoh Fais yang berprofesi sebagai seorang wartawan membeberkan dengan lugas dan terbuka tentang prilaku manusia-manusia hipokrit dan amoral yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa terjadi di negeri dengan hukum syariat yang (konon) ketat. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua itu, lewat perjalanan ambisiusnya membongkar sisi kelam tuan calon walikota—yang kemudian mempertemukannya dengan banyak perempuan—tokoh aku sesungguhnya tengah mencari dirinya sendiri, juga cinta.
Yetti A.KA, penulis buku kumpulan cerita Kinoli.

27. Melalui novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita ulung. Dengan lincah, ia meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa kita merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.

Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita Arafat Nur berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri.
Ika Yuliana Kurniasih, editor Penerbit Bentang.

       ---------------------------------------------------------

Sabtu, 21 Mei 2011

Komentar Mereka yang Telah Membaca Lampuki

“Strategi pengarang untuk mengambil jarak emosional dengan masalah politik dan sosial penting yang diungkapkannya berhasil menyadarkan kita bahwa protes atau komentar sosial dan politik tidak harus disampaikan dengan bahasa kepalan tangan. Pengarang telah memanfaatkan penghayatan dan pengetahuannya tentang masalah itu untuk menyusun sebuah kisah yang mampu menumbuhkan simpati terhadap tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.” 
—Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar sastra UI, juri Sayembara Menulis Novel DKJ 2010

Proses Lahirnya Lampuki

Oleh: Arafat Nur

JAUH hari  sebelum Lampuki lahir, gagasan ceritanya sudah cukup mendesak dalam benak saya, dan kian hari tambah berkembang lantaran saya pindah ke sebuah rumah tempat semua cerita itu terjadi. Saya pun secara tak langsung mendalaminya melalui cerita orang-orang, termasuk dari si narator sendiri (yang memang dalam kenyataannya dia itu seorang teungku, guru yang mengajar mengaji di sebuah balai kampung).

Keinginan untuk menuliskan kisah itu tak kunjung dapat terlaksana, ihwal itu saya sadari karena cerita yang terbangun terlampau dekat dengan fakta, sehingga tak tersedia ruang bagi berkembangnya imajinasi, dan keadaan ini tentunya akan mengeringkan kekuatan estetika. Maka gagasan itu pun mengendap bertahun-tahun lamanya, dan saya hanya menceritakan penggalan-penggalan kisah itu kepada sejumlah kawan, terutama di kala hati sangat kesal.

Proses Lahirnya Lampuki

Oleh: Arafat Nur

JAUH hari  sebelum Lampuki lahir, gagasan ceritanya sudah cukup mendesak dalam benak saya, dan kian hari tambah berkembang lantaran saya pindah ke sebuah rumah tempat semua cerita itu terjadi. Saya pun secara tak langsung mendalaminya melalui cerita orang-orang, termasuk dari si narator sendiri (yang memang dalam kenyataannya dia itu seorang teungku, guru yang mengajar mengaji di sebuah balai kampung).

Keinginan untuk menuliskan kisah itu tak kunjung dapat terlaksana, ihwal itu saya sadari karena cerita yang terbangun terlampau dekat dengan fakta, sehingga tak tersedia ruang bagi berkembangnya imajinasi, dan keadaan ini tentunya akan mengeringkan kekuatan estetika. Maka gagasan itu pun mengendap bertahun-tahun lamanya, dan saya hanya menceritakan penggalan-penggalan kisah itu kepada sejumlah kawan, terutama di kala hati sangat kesal.

Di saat minat baca tak lagi menggebu dan sejumlah buku tidak menarik hati—apalagi terhadap bermacam novel karangan penulis kita yang terasa kian hambar dan terlampau biasa—gagasan cerita Lampuki semakin terabaikan. Ini adalah puncak dari segala titik jenuh bakat kepenulisan saya yang kian terancam, di samping pukulan berat dari berbagai persoalan lain yang mengelindani seputar hidup saya.

Sebelum lahir, saya mengira segala tentang Lampuki telah tamat. Akan tetapi, cerita-cerita ganjil yang berlangsung di seputar kompleks perumahan pensiunan tentara, tempat saya tinggal itu, semaking mengusik dan mengesalkan, sehingga terbetik dalam pikiran untuk membalas rasa sakit hati itu terhadap sikap dan perilaku pesong orang-orang di perumahan dengan cara menuliskan segala ihwal tindak-tanduk mereka; menyindir dan mengolok-olok mereka semua.

Awalnya memang untuk balas dendam ketika baris pertama novel itu saya tuliskan, tetapi untuk selanjutnya menimbulkan kesadaran lain, bahwa apa yang saya tuliskan dalam Lampuki itu adalah sebentuk kesadaran saya terhadap kehidupan penduduk yang terpuruk, kalah, dan mirip gelandangan, yang menyebabkan perilaku mereka menyimpang; sesungguhnya hal serupa juga menimpa kepala orang Aceh secara umum, yang mereka itu tidak pernah sadar siapa sesungguhnya mereka semua.

Maka tujuan dari novel ini pun berbelok haluan, timbul semacam kewajiban bagi saya untuk meluruskan pola pikir dan pemaham-pemahaman orang tentang Aceh, dan juga perihal sejumlah kampung di sini yang telah luluh-lantak oleh perang. Tanpa mengerti pasal apa yang mendasari Aceh bergejolak dan segala kehancuran yang terjadi, sungguh mustahil membenahi Aceh kembali dengan benar, apalagi jika hal itu dilakukan oleh orang-orang bodoh. Dasar inilah yang menjadi sendi Lampuki semakin sungguh-sungguh saya kerjakan.


Berkenalan dengan Karya Asing
APA PUN ceritanya, tanpa saya mengenali karya-karya asing, Lampuki tak akan pernah lahir. Novel-novel Amin Maalouf, Haruki Murakami, dan Tariq Ali-lah yang mendasari bangkitnya hasrat saya dari keterpurukan di puncak titik jenuh. Leo The African, The Rock of Tanios, Samarkand, dan Balthasar Odessey karya Amin Maalouf mengajari saya tehnik bercerita yang baik, tentang bagaimana membangkitkan daya pukau hanya dengan menggunakan kalimat-kalimat sederhana, tetapi tidak biasa.

Begitu juga yang saya dapatkan dari novel-novel Tariq Ali yang saya baca, yang gaya dia bercerita tak jauh beda dari Amin Maalouf, dan mereka sama-sama memiliki dasar bercerita dari sumber yang sama; sastra Arab. Karya mereka mengajari saya untuk menjaga jarak dari gagasan yang kita ceritakan, sehingga tak ada beban, dan membuka peluang bagi imajinasi berkeliaran; hal ini memudahkan saya untuk bermain-main dengan cerita sambil menciptakan gurauan dan gelak dari sebuah peristiwa, termasuk di bagian kisah yang menyedihkan.

Tentang ruang imajinasi yang harus terbuka lebar, tak lain adalah untuk mengantikan fakta-fakta kaku, dan perihal ini semakin tegas saya kuasai melalui pemahaman saya terhadap karya-karya Haruki Murakami, yaitu Kaze No Uta O Kike, Norwegian Wood, dan Kafka on the Shore. Haruki sangat fasih mengisahkan kejadian-kejadian rumit dengan cara yang sederhana; sehingga saya berpikir kenapa novelis kita melakukan kebalikannya, yaitu menceritakan hal sepele, tetapi dengan cara yang amat rumit. Bukankah itu aneh?

Bahkan Haruki mampu menjelaskan suatu kejadian rumit hanya dengan menceritakan hal-hal kecil, sebagaimana gambaran tindakan wajar manusia hari-hari dan keadaan lingkungan yang diaceritaka; daun-daun berguguran, gerakan kucing yang bangun dan tidur, percakap biasa orang di sebuah kedai; dan anehnya semua itu sangat indah, amat menggugah.

Selain dari karya tiga penulis itu, tentunya juga saya termakan pengaruh The New Life, The Whith Castle, Istambul, My Name is Red, dan Snow karya Orhan Pamuk (pemenang hadiah nobel 2006) yang saya kagumi, bahkan sampai sekarang pun—meskipun banyak pemenang nobel lainnya—karya penulis ini masih tak tertandingi. Dia memiliki kedetilan dan kepolosan bercerita yang luar biasa, juga tenang dan santai.

Perlu saya tegaskan, cerita Orhan Pamuk tidaklah berjalan lambat sebagaimana sangkaan sebagian orang, akan tetapi dia mengisahkan secara santai. Beda antara lambat dan santai. Maka saya bingung jika Lampuki dikatakan sangat lamban. Dan juga tentang karakter tokoh narator yang lemah. Gaya cerita perawian memang tidak berhajat pada karakter narator, selain yang diceritakan itu bila ada riwayat yang berkaitan dengan si pencerita. Bahkan dalam The Rock of Tanios, kita tidak mengenal sama selaki siapa si narator itu; tentang nama dan bagaimana dia hidup.

Demikianpun karakter tokoh si pencerita dalam Lampuki jauh lebih memadai, cuma saja mereka yang telah membaca melewatkan beberapa bagian penting. Tentang umur, perilaku, dan segala hal sosok Teungku Muhammad (si pencerita dalam novel ini) jauh lebih kuat kedudukannya sebagai tokoh pendukung. Tetapi, dalam hal ini saya tetap menghormati siapa pun yang berpendapat lain, karena perbedaan pendapat itu perlu, agar dunia ini bertambah semarak.

Secara tak langsung, karya penulis lainnya seperti Leo Tolstoy, Milan Kundera, Paulo Celho, Jorge Luis Borges, Milorad Pavic, Franz Kafka, VS Naipul, dan Gabrieal Garcia Marquez, turut mempengaruhi diri saya (bukan karya saya), dan sejatinya semua pengaruh itu tidak membawa dampak bagi Lampuki serta novel saya lainnya. Lampuki adalah novel yang tidak sama dengan karya salah seorang pun dari penulis asing itu, baik dalam hal gaya, ruh, dan wujud lainnya. Lampuki kental akan pengaruh tutur lisan, kearifan, dan watak orang Aceh sendiri, sebagaimana yang terlihat dalam kenyataan hari-hari.[majalah nolkilometer]

Kamis, 19 Mei 2011

Lampuki Adalah Gagasan Besar

 
SETELAH melihat beberapa ide-ide dasar yang tercetus dalam karya-karya sastra klasik, sebagaimana Ana Karena (Leo Tosltoy) dan A House for Mrs Biswas (VS Naipul), tampaklah oleh saya bahwa sejumlah peristiwa di Aceh punya potensi besar bagi cerita yang hebat.

Saya menyadari bahwa tanpa kecakapan yang cukup, sebuah cerita besar akan menjadi kecil. Maka segala daya dan upaya saya kerahkan melalui kerja kecil-kecilan berupa observasi dan riset serta pendalaman-pendalam estetika untuk mewujudkan sebuah novel sebaik mungkin.