Senin, 11 November 2013

Burung Terbang di Kelam Malam Menuai Banyak Pujian




Burung Terbang di Kelam Malam
SEKALIPUN novel Burung Terbang di Kelam Malam karya penulis muda Aceh, Arafat Nur belum terbit, sejumlah ahli dan pengamat sastra, tokoh budayawan, akademisi, jurnalis, dan aktifis yang telah membaca naskah ini melalui upaya kerja sama antara penulis dan Penerbit Bentang, begitu memuji-muji kelebihan novel ini yang sarat dengan kisah yang menakjubkan.



Perwakilan Bentang, Ika Yuliana Kurniasih selaku editor, kepada pers, Selasa (12/11) menyatakan, paling tidak pada awal tahun 2014 ini Burung Terbang di Kelam Malam sudah beredar luas di sejumlah toko buku terkemuka di kota besar Indonesia. “Kami sendiri menganggap sangat istimewa novel yang ditulis Arafat Nur ini, penulis muda Aceh yang kami anggap cukup penting,” ujarnya.

Dia mengungkap sedikit rahasia, bahwa novel setebal 400 halaman ini ditangani secara khusus dan dengan begitu cepat agar pembaca Indonesia dapat segera menikmatinya. Beberapa pembaca memang sudah menanti dan bertanya-tanya novel bagaimana yang ditulis Arafat Nur selanjutnya setelah Lampuki yang meraih dua penghargaan bergengsi sekaligus, yaitu pada Dewan Kesenenian Jakarta 2010 dan Khatulistiwa Literary Award 2011.
Burung Terbang di Kelam Malam
Sejauh ini, Arafat Nur sendiri, selaku penulis tidak banyak berkomentar selain mengatakan beberapa hal mengenai proses penulisan karya yang memakan waktu setahun ini. “Saya berusaha memadukan kisah cinta dengan permasalahan politik di Aceh pasca konflik dan tsunami secara seimbang. Sebuah pertaruhan yang sangat berat, tetapi saya bahagia dapat menuntaskannya sesuai rencana,” ujarnya.

Sementara itu Sharon Bakar, Guru Menulis Kreatif, redaktur, mengelola penerbit indie yang bekerja sebagai dosen senior di Universitas College of St Mark dan St Johnn, dan Koordiantor untuk Program Bisnis di The British Council, Kuala Lumpur mengharapkan buku sangat luar biasa ini. “Saya berharap novel Burung Terbang di Kelam Malam akan mendapatkan penghargaan, mengingat ini sangat penting.

Selain itu pembaca dengan bahasa serumpun, seperti Malaysia diharapkan dapat menikmati pula sebagai literatur untuk dipelajari bagi kedua negara. “Saya juga berharap buku ini akan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia agar masyarakat internasional dapat menikmatinya. “Itu sangat penting sebagai karya sastra yang mengusung kepadatan kearifan lokal sebagai bahan untuk saling belajar antara satu bangsa dengan bangsa lainnya,” kata Sharon yang kelahiran Inggis.

penerjemah dan editor berkebangsaan Amerika, John H. McGlynn mengatakan, dalam khazanah sastra Indonesia modern, jumlah novel yang mencerminkan keragaman budaya masih terbilang kurang. Dia sangat meyambut baik usaha pengarang untuk memperkenalkan daerah mereka masing-masing kepada khalyak ramai.

Novel Burung Terbang di Kelam Malam sangat menolong membuka wawasan pembaca atas keunikan kebudayaan Aceh. “Puji syukur karya Arafat Nur ini bisa memikat hati pembaca dengan cerita yang begitu realistis, sehingga sangat gampang membayangkan sosok dan kepribadaian sejumlah tokoh yang muncul dalam kisahnya,” kata John H. McGlynn.

Sedanakn Sitok Srengenge, penyair, penulis prosa dan esai, juga alumni International Writing Program University of Iowa USA dan International Writing Workshop Hong Kong Baptist University mengatakan Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah novel yang mengungkap realitas sosial-politik suatu masyarakat dari kurun yang rawan.

Ini menandakan bahwa pandangan penulis telah menjelma menjadi sebuah sikap nyata, semacam upaya aktif untuk penyelamatan kenangan yang terancam punah oleh sejarah—rekayasa naratif kaum penguasa yang hendak memonopoli kebenaran. “Arafat Nur, melalui Burung Terbang di Kelam Malam, telah menciptakan tanah air baru bagi kebenaran di luar sejarah yang terancam mati, memberi mereka kemerdekaan untuk bangkit berkali-kali,” tegasnya.

Sastrawan dan budayawan Bali, Wayan Jengki Sunarta mengajukan pendapat, novel ini sungguh menghibur sekaligus membuat saya terkagum, terharu, dan pada akhirnya termenung. Arafat Nur mampu meramu adegan-adegan lucu, lugu, kisah romantis, kritik sosial, ketegangan, dan konflik yang dialami sang tokoh “aku” dengan sangat memikat.

“Alur ceritanya runut dengan bahasa yang renyah, berusaha mengungkapkan kebusukan dan kemunafikan manusia-manusia yang berkedok dogma-dogma agama. Meski novel ini berlatar situasi Aceh pasca perang, namun kisahnya bisa menjadi cerminan bagi persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang banyak ditemui di negeri ini,” ucap dia.

Sebuah novel menarik berbalut intrik politik dan kisah cinta yang unik, kata Anton Kurnia, penulis cerita dan editor buku sastra. Sementara Avianti Armand, arsitek, penyair, dan cerpenis mengungkapkan, Arafat Nur masih tetap setia dengan kelugasan dan kelurusan bercerita. Di buku ini, kita akan merasa seperti dibawa masuk dalam sebuah reportase yang jujur dan apa adanya. Bagi yang menyukai Lampuki, novel Burung Terbang di Kelam Malam, sungguh tak akan mengecewakan.

“Arafat Nur mengajak kita untuk menguak persoalan-persoalan kemanusiaan, agama, sosial, dan politik yang ditemui di negeri ini. Di tengah jalinan kisah cinta yang bermuatan kritik sosial, sarat konflik, dan ketegangan, kita dapat melihat kemunafikan dan kebusukan manusia yang berbalut kefanatikan buta. Kisah ini mengandung satire ringan, jenaka, dan juga tajam—sesuatu yang memang telah menjadi salah satu kekuatan dari gaya bercerita dia,” kata penyair Joko Pinurbo.

“Novel yang renyah sekaligus bernas. Begitu masuk ke dalam ceritanya, kau tidak bakal bisa berhenti lagi. Burung Terbang di Kelam Malam memperbincangkan perihal penting mengenai politik, korupsi, keagamaan, dan feminisme dengan cara yang jenaka. Membuat kita menertawakan kepahitan dan kegetiran hidup yang tidak menguntungkan ini,” kata Ni Komang Ariani, penulis buku Lidah, Senjakala dan Bukan Permaisuri.

Menurut Oka Rusmini, novelis Bali, membaca karya Arafat Nur ini, kita dibuatnya tercekat. Melalui kandungan muatan lokal yang luar biasa padat, segera kita dapat memahami Aceh dengan begitu baik. Bahkan, pembaca yang bukan orang Aceh sekalipun, bisa betul-betul merasakan gejolak dan geliat yang pernah terjadi di bumi itu.

Disadari atau tidak Aceh telah menjadi bagian Tanah Air yang istimewa tidak hanya secara geografis atau politis. Beberapa dari kita bahkan merasa seolah wilayah itu terlalu istimewa, terutama dengan perda-perda gendernya. Maka membaca Burung Terbang di Kelam Malam, niscaya membuat pembaca terbentur pada realitas yang amat mencengangkan. “Arafat Nur secara lembut mengeksplorasi pemahaman terhadap tanah lahirnya, mengupas setiap lapisan menuju bagian akhir yang sungguh sulit untuk bisa dipercaya,” tegas Sanie B Kuncoro, seorang prosais.

“Arafat Nur berhasil mengungkapkan sisi remang-remang manusia: humanis sekaligus egois, idealis sekaligus pragmatis, dan relejius sekaligus munafik dalam jejaring cerita asmara yang ganjil di tengah cengkraman politik yang licik,” ujar Ragdi F. Daye, penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.

“Berani, genit, dan terus menggoda hingga titik akhir cerita. Novel ini seperti menelanjangi sisi-sisi gelap manusia yang tersembunyi, dan bahkan akan mengguncang jiwa. Yang pasti sangat bertolak-belakang dengan bayangan Aceh yang sebelumnya ada dalam pikiran kita semua,” kata Sandi Firly, penulis novel Lampau.

Dimas Arika Mihardja, penyair dan Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengatakan Burung Terbang di Kelam Malam tentulah sebuah kaya yang mengandung metafora. Arafat Nur sebagai kreator mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi, mengimajinasikan rekaan dalam kisahnya. Sebuah novel yang sangat puitis, inspiratif, dan kontemplatif!

“Burung Terbang di Kelam Malam adalah anak dari cinta segi-lima yang penuh gairah: politik, humor, romansa, serta citra bahasa yang terjaga kuat dan rapi,” ungkap Benny Arnas, seorang cerpenis.

Nezar Patria, seorang sarjana filsafat, jurnalis, dan penyuka sastra berucap, novel Arafat ini berkisah tentang gejolak cinta di tengah ketegangan tragik dan komik dari para manusia korban perang yang meletihkan. Dikemas dengan kepiawaian gaya tutur eksotis karikatural yang begitu segar dan memikat.
Burung Terbang di Kelam Malam

Katanya, Arafat menyuguhkan kepada kita sejumlah snapshot yang akan terus berdiam dalam ingatan. Gugatan pada moralitas manusia dalam Burung Terbang di Kelam Malam mampu menerabas lokalitas yang dikandungnya, dan menjadi bacaan yang sangat mengasyikan bagi siapa saja.

Sementara itu, Iyut Fitra, penyair di Payakumbuh berkata, novel ini menghadirkan situasi tidak menentu dan penuh kebimbangan di tengah situasi konflik politik, sosial, dan keserakahan manusia. Arafat Nur secara piawai mengorek borok tanah lahirnya, bertutur tajam dan kadang dengan amat jenaka. Dia menusuk begitu dalam sekaligus menghanyutkan.

“Malah di tengah-tengah kaburnya makna kemerdekaan, dia justru berhasil membebaskan diri dari segala rintangan belenggu seraya mencatat setiap jengkal sejarah yang dilaluinya. Novel ini adalah sebuah potret dan sebingkai cermin yang memantul-mantulkan bayangan isyarat, inilah Aceh hari ini,” ujarnya.

Sebuah sisi kelam dan janji politikus untuk mensejahterakan rakyat, sungguh jauh panggang dari api. Justru yang muncul adalah persoalan pelik, yaitu nafsu berkuasa atas jabatan dan perempuan yang begitu lugas didedah dan dibeberkan dalam novel ini, kata Bamby Cahyadi, cerpenis lainnya.

Persoalan perempuan diceritakan begitu menohok dan berani, lanjut dia. Di tengah minimnya prestasi dan setumpuk masalah pemerintahan, Arafat Nur justru tampil begitu garang menyuarakan penentangan terhadap ketimpangan melalui mata batinnya. Melalui sastra, dia berteriak lantang kepada dunia: Seperti inilah Aceh sekarang!

Isbedy Stiawan ZS, seorang sastrawan Lampung mengatakan, tokoh jurnalis muda dalam novel ini memilih langkah nekat dalam menghadapi berbagai tantangan berat, bahkan rela mengambil risiko tinggi dalam mengungkap sebuah kasus berbahaya terhadap seorang pejabat yang amat berkuasa.

Sudut bidik cerita novel ini cukup baik dalam menyoroti sejumlah persoalan pelik yang muncul sehabis perang di Aceh, lanjutnya, begitu kental dan mendalam. Arafat Nur memang sastrawan cerdas, dan saya sangat berharap novel-novelnya kembali mampu mencerahkan dan mengharumkan sastra Indonesia.

Cerita yang disajikan Arafat Nur merupakan kisah yang dengan mudah dapat diikuti, karena layar realis jelas tegas mengantar pembaca. Tapi dari cerita semacam ini, karakter dan gejolak relung jiwa para tokoh menjadi magnet yang membuat halaman demi halaman berlalu tanpa terasa dengan penuh tanda tanya, begitu pendapat Wahyu Arya, Pengamat dan Esais Sastra, tinggil di Tangerang.

Selain itu, Kiyai Mohammad Faizi, penyair dan Pemimpin Pondok Pesantren Annuqayah Semenep, Jawa Timur mengatakan, tema kemanusiaan dalam sebuah novel akan mampu bertahan lebih lama dalam memori pembaca. Sejatinya, sembarang penulis bisa mengangkat tema ini. Akan tetapi, jika ‘bercerita secara baik’ dijadikan persyaratan untuk mengukur keberhasilan—seperti menyuguhkan imajinasi pengarang sedekat mungkin dengan imajinasi pembaca—itulah yang mungkin sulit dilakukan. Untuk urusan ini, kiranya Arafat Nur bisa dikatakan cukup mahir.

Novel yang luar biasa membius; tidak hanya menggugah, tetapi mampu merekam every detail of sequel Aceh pasca konflik dan tsunami. Menggambarkan dengan sangat baik dan jelas peralihan masa transisi Aceh ke demokrasi yang secara cerdik direbut oleh orang-orang hipokrit, kejam, dan bodoh, kata Al Chaidar, Dosen Ilmu Politik, Pengamat Teroris Nasional, dan salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah.

Menurutnya, Burung Terbang di Kelam Malam adalah sebuah auto-etnografi yang menelusuk tajam mengenai dunia wartawan, politisi, dan orang-orang biasa yang dihadirkan secara realis dengan romantisme lucu, satir, dan sinis. Semua peneliti dan pemerhati Aceh harus membaca novel ini untuk lebih memahami ‘zeitgeist’ Aceh masa kini.

Sihar Ramses Simatupang, jurnalis sarjana sastra yang juga penyair, aktif di berbagai kegiatan sastra dan juga menulis prosa dan esai mengatakan, Ada tiga alasan sebuah novel menjadi kuat. Pertama, latar kehidupan si pengarang. Kedua, kekuatan berbahasa dan teknik bercerita. Ketiga, visi pengarang yang jelas menyoal kehidupan ini.

Arafat Nur, dalam novel Burung Terbang di Kelam Malam, memperlihatkan kekuatan atas ketiga alasan itu. Sebagaimana Lampuki, dia tetap tidak bergeser pada konsistensi mengusung kisah tokoh-tokoh dengan perjuangan hidup yang rawan, getir, dan juga penuh harapan. “Dia menjadi wakil dari narasi lokal yang ada di Nusantara, berkesaksian tentang Aceh, seusai perjuangan, seusai reformasi, seusai tragedi, dan seusai tsunami,” kata Sihar.

“Pada dasarnya saya tidak suka novel, tetapi begitu membaca Burung Terbang di Kelam Malam, saya tidak bisa melepaskan, timbul rasa penasaran, membangkitkan emosi; sedih, haru, dan lucu. Saya suka sekali novel ini dan tidak bisa berpaling sampai cerita berakhir dengan sangat mengejutkan, ucap Lan Chin, warga turunan Thionghua, karyawati swasta di Tangerang.

Menurut Lan Chin, novel ini begitu indah dan romantis sekali dibandingkan novel yang pernah dia baca. Tidak ada kesan menunggangi peristiwa, betul-betul tampak nyata, tidak terduga, dan membuatnya berkali-kali terpaksa menahan napas.

Menurut Asnawi Ali, aktivis sipil dan demokrasi Aceh di Swedia, seorang pencinta sastra, novel ini sebuah kesadaran utuh atas pengamatan yang sangat cermat terhadap situasi sosial dan politik pasca konflik, kesederhanaan yang luar biasa mengagumkan dalam cara dia mengungkapkan masalah besar melalui pernak-pernik percikan peristiwa kecil yang banyak bertebaran.

Arafat Nur adalah penulis muda Aceh yang cukup penting serta pantas diperhitungkan. Dia punya kefasihan bercerita yang tidak terlalu lazim, kerap membuat kita tersentak dan tercengang. “Selain sastra, dia tahu betul ilmu sosial, sejarah, dan sedikit politik. Dan yang tak kalah penting, dia adalah aktifis kemanusian dalam bidangnya, memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri,” ujarnya.

Kalau orang tahu betapa asyiknya novel ini, pasti mereka tidak bakal melewatkan begitu saja untuk membacanya. Tak kalah luar biasa dari Lampuki, bahkan novel ini lebih ringan, sangat cocok dengan selera semua kalangan, remaja dan dewasa, termasuk bagi mereka yang tidak suka sastra, kata Nanda Feriana, seorang mahasiswi penggemar sastra.

“Tak perlu bimbang, Arafat Nur adalah penulis cerdas yang mampu mengungkapkan suatu masalah dengan tepat dan dengan cara yang amat jenaka. Saya selalu menunggu-nunggu novel terbarunya dengan hati berdebar,” tandasnya.[]