Jumat, 05 Mei 2017

Tanah Surga Merah; Antara Politik dan Kritik Sosial

Oleh: Cut Lilizrustana

Sekarang arah telah berbalik tajam, aku bukan lagi pahlawan melainkan penjahat buronan diintai polisi dan diburu orang-orang Partai Merah yang menaruh dendam kesumat.

Adalah Murad mantan pejuang kemerdekaan Aceh dan mantan anggota Partai Merah yang kini menjadi buronan polisi dan Partai Merah karena dianggap sebagai pemberontak. Setelah sekian lama melarikan diri, akhirnya Murad kembali ke Aceh, ke kota kelahirannya. Setelah masa damai, banyak mantan pejuang kemerdekan Aceh menduduki kursi kepemerintahan. Ada juga diantara mereka yang menjadi kepala daerah.

Biasanya, masalah yang kerap mereka bincangkan hanyalah seputar proyek, jabatan dan perempuan. Biarpun sudah menjadi anggota dewan dan pejabat terpandang, sifat kekanak-kanakan mereka tak pernah berkurang. Inilah yang terjadi bila orang-orang rakus dan bodoh menjadi penguasa negeri.

Kepulangan Murad tidak berjalan mulus meskipun dia telah menyamar menjadi orang lain. Banyak dari teman-temannya dulu yang sekarang menjadi musuhnya tetap mengenali Murad. Belum apa-apa Murad telah dikeroyok beramai-ramai, walau akhirnya mereka percaya bahwa Murad bukanlah Murad, sang pemberontak partai Merah. Murad menumpang di rumah Abduh, sahabatnya dulu yang sekarang menjadi guru sejarah. Abduh seringkali menyayangkan budaya baca buku yang sangat rendah di Aceh dan herannya budaya pacaran menjurus mesum meningkat di Aceh.

"Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini orang Aceh yang tidak suka baca buku. Kesukaanku adalah menipu."

"Aku orang Indonesia. Orang Indonesia juga tidak suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak suka buku. Kami suka menekan dan menyakiti orang."

Murad mengunjungi teman-temannya sesama mantan pejuang kemerdekaan yang hidupnya jauh dari kemewahan. Teman-temannya yang memutuskan untuk tidak bergabung dengan Partai Merah yang kini berubah menjadi partai yang anggotanya berperilaku semena-mena, sombong dan hanya memikirkan uang. Kehidupan Murad tidak pernah tenang dan harus berpindah-pindah untuk menghindari kawanan Partai Merah yang ingin menghabisinya.


Tiba-tiba saja aku merasa asing pada tanah kelahiranku yang pulang ke rumah sendiri pun harus diam-diam dan sembunyi-sembunyi seperti pencuri. Orang-orang dekat dan sahabat karib kini menjadi musuh, bahkan mereka hendak membunuhku. Sementara aku harus menjauhi keluarga dan teman-teman dekat yang tidak terlibat politik. Sungguh asing rasanya negeri ini, tetapai aku terlanjur tidak bisa hidup di tempat lain. Tanah ini rumahku, surgaku; tanah surga merah.
***

Buku ini terasa nyata bagiku dibeberapa bagian walaupun buku ini adalah fiksi. Ada beberapa hal yang masih relevan dan mungkin masih terjadi di Aceh. Membaca bab Partai Tuhan Aku langsung ingat dengan salah satu kampanye cagub Aceh kemarin dan bab Sumpah berikan Suara untuk Partai Tuhan adalah bab favoritku, karena sangat jelas dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, maka hal-hal yang mungkin diluar logika dan tidak masuk akal adalah sah-sah saja. Agama dijadikan barang dagangan untuk menarik minat pembeli.


"Kalau Aceh ingin merdeka, kemenangan Partai Merah kali ini haruslah mutlak, tidak boleh ditawar-tawar, jangan berikan kesempatan pada partai lain. Hanya Partai Merah sajalah yang mampu memperjuangkan nasib bangsa kita, yang akan membawa Aceh ke puncak kejayaan di masa mendatang. Partai lain hanya memperjuangkan kesenangan mereka sendiri, tak lebih dari itu!"
 
"Bila partai ini kalah, Tuhan akan marah pada rakyat Aceh! ini kesempatan yang diberikan Allah untuk memperbaiki nasib rakyat Aceh yang telah lama dijajah oleh orang-orang yang tak jelas agamanya. Kita bangsa besar di dunia, dan kita harus bisa menolong diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap pengakuan Amerika dan Inggris, mereka orang kafir, mereka tidak mungkin mendukung kita!

"Kalian semua harus memberikan suara untuk Partai Merah, sebagaimana yang kalian ketahui, ini adalah Partai Tuhan! 


Buku ini bukan hanya tentang politik tapi juga penuh dengan kritik sosial. Penulis juga menggambarkan kegagalan pemerintah yang tetap tidak dapat mengubah kehidupan rakyat bahkan keadaan penduduk semakin terpuruk. Dana-dana program-program perekonomian rakyat dan juga program pembangunan lain, banyak dialihkan pada sesuatu yang tidak jelas, yang ujung-ujungnya untuk kekayaan partai dan anggotanya. Melalui buku ini aku mengetahui bahwa di Aceh masih ada daerah yang belum mendapat perhatian dari pemerintah, daerah yang benar-benar tertinggal yang penduduknya masih percaya tahayul, jauh dari agama, belum teraliri listrik, dan anak-anak yang tidak bersekolah. Entahlah, aku tidak terlalu yakin daerah tersebut hanya rekaan penulis.

Penulis juga menggambarkan bahwa tidak ada yang benar-benar hitam ataupun putih dalam politik, semua serba abu-abu. Kita tidak pernah tau siapa sesungguhnya kawan maupun lawan. Penulis juga menggambarkan bahwa sah saja menjadikan orang lain kambing hitam demi kepentingan politik. Seperti Murad yang dituduh terlibat dalam kerusuhan yang tidak dilakukannya. Sepertinya wajar saja orang lain mengambil keuntungan terhadap situasi tertentu. Tidak peduli dengan nasib orang lain, yang penting bagaimana menjadi yang terkuat. Ah, politik dan kekuasaan seakan menutup hati nurani manusia. Seperti perkataan salah satu teman Murad, "mereka yang duduk dikursi kekuasaan telah ditutup hatinya dan sebenarnya dikutuk Tuhan." Melalui buku ini saya juga paham tentang orang yang sebenarnya tidak tau apa-apa tapi malah ikut-ikutan, merasa benar dan sok tau. Terkadang mereka sendiri hanya dimanfaatkan dan seakan semuanya beres dengan uang dan tahta.
Aku tertawa saat penulis menyentil kebiasaan orang Aceh yang lebih suka menghabiskan waktu dengan duduk dan mengobrol seharian penuh di kedai kopi dan memang tidak suka membaca buku. Melalui buku ini aku melihat tidak ada yang berubah dari Aceh. Semoga Aceh kembali bangkit ke arah postif dan tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dengan mengatas namakan rakyat.

Seandainya endingnya tidak menggantung seperti itu, aku pasti akan memberi lima bintang (butuh kelanjutannya nih). Aku akhirnya ngeh hubungan kaver dan ending buku ini. Btw, penulis berani banget dalam menjabarkan beberapa hal dan beberapa tokoh walaupun namanya disamarkan tetap saja agak ketebak dan bikin ketawa miris. Menurutku Tanah Surga Merah salah satu buku yang harus dibaca masyarakat Aceh.


Favorit line :

Tapi, di Indonesia maupun di Aceh tidak begitu. Manusianya berperilaku suka-suka, menerobos lampu jalan sesuka hatinya, suka melanggar aturan, dan merasa bangga. Anjing tidak demikian!

Jangan kalian pikir semua doa Nabi Muhammad diterima Allah Ta'ala. Ada satu doa yang tak dijawb-Nya, yaitu permohonan Nabi agat umat islam bersatu. Bagaimana mungkin Allah bisa mengabulkan doa semacam itu bila umat islam sendiri senang bertengkar dan hidup berpecah belah?

Setan bukan saja dari golongan jin. Setan juga ada dari golongan manusia. Kalian tidak sadar kalau diri kalian yang kalian anggap suci murni itu adalah orang-orang yang dilaknat Tuhan?