Minggu, 20 April 2014

Mereka Anggap Novel Sekadar Cerita Cabul


Oleh Teguh Affandi


JUJUR saya belum baca Lampuki karya Arafat Nur (sedih nan menyesal), tetapi novel Burung Terbang di Kelam Malam (BTKM) ini tidak menjadi soal sebagai awalan membaca karya Arafat Nur. Saya termasuk orang yang cerewet dengan sampul, maka sampul BTKM sangat manis nan lembut, dominan warna ungu muda dengan ilustrasi burung-burung yang tidak belebihan tapi asyik.

Aku percaya apa pun pekerjaan yang dilakukan seseorang tertentu pasti mendatangkan manfaat, bentuknya bermcam-macam dan tidak nyata. Tidak mungkin orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan kalau bukan orang tersebut salah urat (h.8)

Fais seorang wartawan dan sedang menyambi menulis novel. Kerja jurnalistiknya terbentur dengan pencalonan Tuan Beransyah menjadi calon kuat walikota. Dan Fais tahu Tuan Beransyah bukan lelaki yang baik, sebagaimana pesona Tuan Beransyah pada masyarakat umum. Tuan Beransyah hobi bermain perempuan. Fais bertemu dengan Kak Aida yang ternyata adalah gundik dari Tuan Beransyah. Entah gundik keberapa? Pada bagian awal, novel ini sangat feminis karena mengkritik dengan sadis tentang kekeuasaan laki-laki yang diwakili oleh Tuan Beransyah yang pongah dan arogan terhadap perempuan, macam Aida.

"Baginya, aku inilah hanyalah umpan telurnya. Tapi bagiku, landok (red:lelaki tua lapuk) tua itu tidak lebih dari telur busuk. Cuiih!" (h.12), demikian Kak Aida yang mengata-ngatai suami sirinya, Tuan Beransyah yang sudah bertahun-tahun tidak pulang, kepada Fais.

Feminis juga ditampakkan dari bagaimana penokohan perempuan yang mendahului perkataan laki-laki. Kak Aida yang dikisahkan baru bertemu sekali dengan Fais, justru menerima Fais sebagai tamu dan bercakap-cakap akrab. Apalagi Aida bertanya demikian. Apakah menurutmu aku ini masih cantik?(h.5). (Mungkin ini budaya daerah penulis, kalau di Jawa sangat tidak sopan apabila melakukan demikian).

Kalau boleh saya sebut keagresifan seorang perempuan, juga dikisahkan oleh tokoh Safira, kenalan Fais yang baru selama dua bulan (noted: 2 bulan), tetapi saat baru dikunjungi oleh Fais, dia malah bertanya demikian: tentu saja karena aku memikirkanmu! Apakah kamu tidak memikirkanku? Kenapa, sih, pertanyaanmu itu sungguh tidak berperasaan sekali?(h.23)

Apakah sudah sedemikian perempuan punya hak sama dalam mengungkapkan perasaan tanpa malu-malu? Mungkin demikian perempuan yang selalu dibatasi oleh "layak-tidak layak" apabila perempuan mendahului laki-laki dalam berkisah perihal hati.

Rasa pemberontakan akan kungkungan juga dilakukan "perempuan kota itu" terhadap pemakaian hijab. Kebanyakan perempuan tidak benar-benar ingin mengenakan kain tutup kepala, selain hanya oleh rasa terpaksa, terutama gadis-gadis belia yang hanya memakainya waktu bepergian saat mendatangi tempat keramaian, semacam pasar dan kota.(h.22) Safira memakai jins dan kemeja ketat.

Ceritera Fais yang berpetualang hingga bertemu banyak perempuan menjadi catatan tersendiri dalam novel ini. Ternyata Fais juga laki-laki yang bisa dikategorikan sejenis dengan Tuan Beransyah, karena Fais juga suka mempermainkan "telur"-nya di beberapa perempuan di perjalannya. Aida, Nana, Laila, Safira, Diana, yang menaruh rasa pada Fais. Beberapa wanita bahkan sempat ditanami benih Fais.

Sikap agresif yang ditampakkan oleh Aida, Nana, dan beberapa wanita di novel BTKM ini dijawab oleh penulis dengan klausa yang sangat lucu (bukan dalam arti jelek, tapi lucu satire): Kenapa gadis-gadis yang kugolongkan mudah laku malah terlalu sulit mendapatkan jodoh? Apakah salah satu penyebabnya jumlah laki-laki telah menjadi sedikit akibat terlalu banyak yang mati di pertempuran?(h.108).

Jadi perempuan-perempuan yang manis ketika perang berkecamuk di Aceh, ditiduri tentara, dan saat tentara di tarik menyisakan bindam kepada para wanita manis yang menjanda dengan fakta jumlah laki-laki makin menipis. (Sebentar saya tertawa dahulu...) Mungkin juga secara halus ini adalah sindiran kepada wanita Aceh dan wanita pada umumnya, meski belum bertemu jodoh tetap saja Keep calm and be positive thinking, karena kata Afghan Jodoh Pasti bertemu.


Lalu bagaimana kelanjutan Fais menulis novel demi membongkar keboborkan Tuan Beransyah yang hendak maju sebagai walikota? Menggelitik adalah kiritk Arafat Nur terhadap dunia literasi, bahwa banyak orang-orang tidak mengenal novel secara utuh. Kebanyakan mereka menganggap novel sekadar menuliskan cerita cabul yang menghibur. Tetapi, Arafat Nur lantas membenturkan kepada fakta bahwa banyak novel yang justru menggugah dunia: Banyak orang terpelajar beranggapan bahwa novel lebih berbahaya daripada senjata. Benda itu dianggap merusak akhlak, meracuni pikiran, dan menjerumuskan anak-anak pada perbuatan maksiat.(h.118)

Jedeer! Tentu ingat beberapa novel yang dijadikan rujukan bahkan bahan ajar di berbagai universitas, sekadar menyebut judul Para Priyayi by Umar Kayam, Tetralogi Pulau Buru by Pramoedya Ananta Toer, Atheis by Achdiat K Mihardja, dll. So, tetap ada bacaan sampah dan ada bacaan menggugah, termasuk itu jenis novel.

Pertanyaan besar tentang kisah Tuan Beransyah yang hendak ditulis Fais dan perjalanan Fais adalah; sebenarnya siapa yang suka memamerkan "telur"-nya kepada kaum hawa? Tuan Beransyah atau Fais? Karena semakin ke depan Fais juga menunjukkan perangai bahwa dialah Tuan Beransyah. Fais juga lelaki muda 28 tahun yang suka bermain kelamin dengan wanita-wanita, istri dan gundik Tuan Beransyah, Diana tetangganya... So, apa bedanya?

Nasib Fais, yang hampir mengubah fokus cerita, hanya mengupas kehidupan Fais dan asmara yang rumit. Banyak gadis terpesona pada Fais dan ditidurinya. Ini melenakan atas kisah Tuan Beransyah yang menjadi titik mula novel BTKM ini. Tetapi, justru ini menjadi belokan yang disimpulkan di akhir.

Aku kurang suka kupasan yang banyak masalah politik. Jadi bisa kusimpulkans secara kasar, kisah Tuan Beransyah hanya simbolik untuk kisah Fais yang tidak jauh-jauh dari "menjatuhkan telur" di tubuh banyak wanita.

Ekpektasi di awal novel BTKM ini akan diakhiri dengan kehadiran Arafat Nur atas novel yang sudah rampung ditulis Fais. Jadi dalam benakku, endingnya bakal novel ini adalah hasil tulisan Fais. Jadi, garis semu akan sirna. Ternyata, endingnya adalah twist! Meski agak kasar. Kusangka Safira adalah gundik Tuan Beransyah, ternyata....? Duh, betul-betul tak kebayang! Pokoknya baca sendiri, deh!

Secara keseluruhan novel ini sangat asyik dibaca, seperti sedang mendengar seorang pencerita berkisah dengan teratur dan runut. Ada beberapa hal yang unik dari novel ini, selain cover yang patut diacungi jempol: Aku tertarik dari judul-judul bab dari novel ini. Berupa kalimat yang merdu dilafazkan dan sangat mirip dengan peribahasa. Coba tengok: Bab 2. Aku Ingin Kamu Menuliskan Ciumanku Ini Dalam Novelmu Itu; Bab 10. Sebelum Berpisah, Bolehkah Aku Menciummu?; Bab 18. Nanti, Sesudahnya, Kamu Bisa Mandi Sekalian!, dll... Seru abis!

Fais dalam novel ini menjadi sangat hidup, bahkan terkesan jangan-jangan ini tulisan adalah pendapat Arafat Nur, bukan pendapat tokoh Fais. Meski tokoh utama Fais, tetapi bejibun nama-nama perempuan justru menjadi cerita dari BTKM. Twist endingnya agak kasar, tapi kontan terhenyak dan bilang "wow!". 
Dan yang patut diacungi jempol adalah cara tutur Arafat Nur yang mengalir saja. Tidak butuh liukan-liukan dalam berbahasa. Mengalir tenang sampai selesai. Benar-benar bercerita.
[ goodreads/nagita]