Minggu, 16 Juni 2019

Kemanusiaan dan Kesetiaan Anjing


Oleh Novita Dewi

*dimuat harian KOMPAS

Arafat Nur taat dan telaten pada detail, tetapi deskripsi sadisme yang berlebihan tidak ditemukan. Kezaliman tentara pemerintah maupun pemberontak dinarasikannya untuk menyentuh nurani sesama anak bangsa. Meski agak antroposentris, pemerian tentang panen di kebun Kakek mencerminkan makna kehidupan. Setiap tiga bulan tauke pisang membawa pekerjanya mencari sendiri tandan pisang yang siap dipanen.
 
Alam ramah kepada manusia jika diperlakukan baik, seperti kebun Kakek yang terawat dan terbukti menghidupi keluarga. Di kebun pisang ini Nasir kecil belajar arti kata ”melawan”. Diliputi rasa takut, bocah berusia 13 tahun itu mengintip sekawanan tentara mengobrak-abrik kebun.
 
Gagal menemukan pemberontak yang dicari, mereka pun berlalu sambil membawa setandan pisang ranum. Saat itulah Nasir mafhum mengapa orang-orang Aceh berani melawan serdadu. Perang timbul dari gairah untuk melawan, melebihi rasa takut.
 
Novel ini rekonsiliatif. Kebencian rakyat pada tentara digambarkan berimbang dengan kegusaran serdadu pada pemberontak. Dilukiskan pula bencana yang menimpa ketika anggota keluarga terlibat dengan pasukan pejuang. Nasir menyaksikan orang-orang terkasih terenggut dari kehidupannya gara-gara pamannya, Arkam, bergabung dengan GAM.
 
Sewaktu Arkam menghilang, tentara menghabisi siapa pun yang disangka pembangkang. Nasir merindukan kehidupan Alue Rambe yang tenang dan damai. Ia akhirnya memutuskan untuk angkat senjata guna menyudahi budaya kematian.
 
Perang adalah selebrasi budaya kematian. Perang memungkiri kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Tidak ada bendera yang cukup lebar untuk menutupi rasa malu membunuh orang tak bersalah, kata sejarawan Amerika, Howard Zinn. Tidak juga secarik kain merah bergambar bulan bintang yang dikibarkan Arkam pada pembukaan Lolong Anjing di Bulan.
 
Selain menghibur, novel ini menambah alur sejarah. Lolong anjing membangunkan memori perjuangan rakyat Aceh yang berpuluh-puluh tahun terkubur oleh kekuasaan. Kiranya tidak terulang pada rakyat Papua sekarang.
 
Sejak 2008, konflik antara KKB dan TNI telah menewaskan 79 warga sipil (Kompas, 11 November 2018). Sekadar catatan paratekstual, ketiga peta wilayah yang diselipkan di halaman depan terasa mengganggu karena membatasi imajinasi pembaca yang seharusnya dibiarkan meruak.
 

Secara alegoris novel ini memang kurang mewah karena dirajut dengan nama-nama tokoh dan peristiwa sejarah nyata. Namun pesannya jelas: perang membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan raungan makhluk bernama anjing menjadi pertanda khilaf ini. Lolong Anjing di Bulan diterjemahkan oleh Maya Denisa Saputra, Blood Moon over Aceh (Dalang Publishing, 2018).
 
NOVITA DEWI  Dosen Program Magister Kajian Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma.