Rabu, 21 Desember 2011

Lowongan Mengerikan, Honorer Pun Tak Ada...

Oleh Arafat Nur

Harian Waspada, Kamis (22/12)
DI TENGAH sulitnya lapangan kerja dan jumlah pengangguran yang kian bertambah, pemerintah pun malah terkesan tak peduli. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Aceh, terutama di Lhokseumawe, bahkan lowongan pengawai honorer pun tak ada lagi.
        Di mana-mana Waspada menerima keluhan tentang sulitnya lapangan kerja. Jangan cerita dulu tamatan SLTA, mereka yang sarjana saja tercampak entah di mana-mana. Agar tidak menjadi parasit dalam keluarga, ya mau tak mau kerja apa saja, sambil menutup-nutupi identitas diri.
Lampuki karya Arafat Nur
       Namun ada yang tetap mempertahankan diri, setiap keluar rumah selalu dengan pakaian rapi, padahal tidak da kerja apa-apa. Mereka yang rela menghadapi kenyataan pahit terpaksa kerja layaknya petani dan buruh kasar, dengan berkeringat badan di menjadi semacam penjaga toko atau berdagang kecil-kecilan jika ada modal.
       Bilamana mengingat bagaimana sulitnya lapangan kerja di Lhokseumawe sudah pada tingkat sangat mengerikan. Jangankan pekerjaan yang layak, pekerjaan tidak layak pun dengan upah Rp500 ribu atau Rp600 ribu per bulan, semacam penjaga toko atau sejenisnya, sudah sangat sulit, dan mereka harus bersaing ketat untuk mendapatkannya.
       Sebagaimana Rasyidin,25, sarjana sosial yang sudah dua tahun berlanlang buana kian kemari, tetapi tidak ada yang menampungnya. Akhirnya untuk menutupi kebutuhannya sendiri agar tidak semakin menambah beban keluarganya yang miskin, dia harus bergabung dengan para nelayan untuk menangkap ikan.
       Kepada Waspada, Selasa (20/12) dia menuturkan rasa sedih dan malunya yang luar biasa. “Saya tidak dapat menyembunyikan kekecewaan saya dan kekecewaan orangtua terhadap saya. Ayah mengharapkan saya mendapatkan pekerjaan yang layak, lebih baik dari dirinya, tetapi begitu tamat kuliah saya malah menjadi penganggur. Kalau mau jadi nelayan untuk apa harus kuliah tinggi-tinggi,” katanya.
       Bukan tanpa perjuangan. Ayah Rasyidin banyak menghabiskan uang untuk biaya kuliah anaknya, berharap anaknya yang lelaki ini lebih baik dari nasib semua anggaota keluarga lainnya. Namun, ayahnya yang polos tidak mengerti bahwa kehidupan di kota ternyata lebih keras dari di laut. Dia tidak paham bahwa dewasa ini banyak orang yang kesulitan pekerjaan. Dalam sangkaannya, begitu tamat kuliah anaknya segera diterima kerja di kantoran.
       Jangankan jadi PNS, kerja di kantor swasta saja sulit, bahkan untuk menjadi honorer pun tidak bisa lagi. Malah tersiar kabar angin, sekarang ini untuk menjadi pegawai bakti saja harus menyediakan uang sekian untuk, dan setelah menjadi pegawai bakti, honornya tidak ada. “Jadi setiap hari kita hanya bergaya-gaya saja dengan pakaian seragam, seolah-olah kita sudah jadi pegawai. Sementara uang jajan harus minta pada ibu seperti masa SD dulu!” ujarnya.
      Jangan salah anggap, bukan hanya Rasyidin seorang yang menghadapi kenyataan semcam ini. Ada Sulaiman, Masyittah, Nura Sari, Zulfikar, Zulkifli, dan ratusan sarjana lainnya, yang setiap tahun jumlah mereka terus bertambah, dengan beban hidup dan tekanan tanggungan malu yang tak tertolong. Jika mereka tidak tahan berada di kampung, mereka akan pergi ke Batam, Medan, Riau, bahkan banyak yang ke Malaysia.
       Sebelumnya, bagi sarjana-sarjana masih punya pengharapan menjadi semacam honorer di Pemko Lhokseumawe, tetapi setelah Walikota Lhokseumawe, Munir Usman melarang menerima pegawai honorer Juli lalu maka pupuslah harapan sekalian orang. Munir mengingatkan seluruh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) tidak sembarangan menerima tenaga honorer karena akan menjadi beban APBD.
      “Jika tenaga honorer ditambah terus, anggaran Pemko Lhokseumawe bisa kolaps. Sekarang saja pegawai di lingkungan Pemko Lhokseumawe sudah mencapai 6.000 orang, maka jangan ada penambahan lagi,” ucap Munir, Senin (25/7) di sela memberikan bonus kepada anggota Drum Band Bahana Gita Samudera SD Negeri 1 Lhokseumawe.
      Begitulah. Maka barisan pengangguran di Aceh, khususnya di Lhokseumawe, kian bertambah parah. Mengerikan, itulah uangkapan yang pantas untuk menggambarkan keadaan ini. Tak ada solusi, tak ada jalan keluar, masing-masing dipersilakan untuk mengambil jalannya sendiri...

Arafat Nur adalah penulis Aceh penerima anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011 dan pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2010.



Tentang Lampuki
Peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 dan Pemenang Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
Novel ini ditulis penuh perasaan dan dengan rasa humor yang cerdas. Tak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap ke dalam cerita dengan bahasa yang lincah, kental kepemihakan terhadap si lemah....