Rabu, 18 April 2012

Percikan Darah di Bunga

Percikan Darah di Bunga, Arafat Nur
Novel Pemenang Sayembara FLP 2005 
Penulis   : Arafat Nur
Penerbit : Zikrul Jakarta
Terbit     : Juli 2005 


Bercerita tentang berbagai tragedi kekerasan, pemerkosaan, dan penyiksaan-penyiksaan selama perang Aceh. Novel ini merupakan pergelutan jiwa saya atas kenyataan-kenyataan yang terjadi saban hari di Aceh masa konflik. 
      Penulisnya yang tinggal di daerah setempat sering sekali berhadapan dengan berbagai suasana tidak mengenakkan, teror, sadis, pembunuhan, dan meilihat mayat-mayat yang tidak utuh lagi, baik busuk, kena mortir, dan penganiayaan berat, hingga kadang banyak anggota tubuh korban yang tidak sempurna lagi. Sebuah novel yang layak dibaca bagi siapa saja.
Nukilan Cerita:
Dhira baru menyadari kalau gadis korban perkosaan itu bernama Meulu. Sedari tadi ia kelihatan bengong terus. Pikirannya masih dipenuhi perihal yang menimpa gadis malang itu. Bahkan sampai-sampai ia belum mengetahui nama korban. Sejak tiba di Rumah Sakit Umum Cut Mutia tiga jam lalu, benaknya dipenuh bayangan-bayangan mengerikan yang terjadi pada gadis itu semalam. 
    “Maaf, Mbak Tri pesan kalau Saudari dibolehkan pulang. Biar saya yang menunggu di sini,” lanjut lelaki setengah baya itu dengan logat daerah yang khas.
   Dia sempat tersenyum sekali lagi ketika mengucapkan pamit. Lelaki yang tidak bisa meninggalkan ciri kedesaannya itu seperti lupa membalas senyumnya. Hatinya memaki-maki lagi, menyesali dengan senyum yang sudah terlanjur ia berikan. Seharusnya ia bisa bersikap biasa saja tanpa harus tersenyum. Apakah kita mesti tersemyum pada orang baru kita kenal? Apalagi lelaki itu bukan muhrim. Haram hukumnya. 
     Namun Nabi Muhammad SWT mengatakan senyum itu sedekah. Senyum menjadi sarana menjalin keakraban persaudaraan. Senyum sarana utaman bersilaturrahmi. Senyum menghubungkan hati manusia satu dengan lainnya. Senyum sebagai silaturrahmi singkat ketika berjumpa. Pahalanya setimpal dengan bersedekah. Untuk mengobati kejengkelan hatinya, Dhira menganggap bahwa dirinya sudah memberikan sedekah pada lelaki itu!
      Lelaki itu memang kelihatan agak lusuh, seperti mengalami sedikit stress. Terakhir kali, pemuda berkulit kuning agak kecoklatan itu sempat juga membalas senyumnya. Senyum paling manis di antara senyum yang pernah dilihatnya. Aneh sekali lelaki itu, pikirnya. Dhira merasakan sensasi luar biasa, seperti benar-benar terhipnotis.[]