Senin, 09 Desember 2013

Novel Baru Arafat Nur Sita Perhatian Publik


ARAFAT NUR

Dimuat di harian Waspada, Minggu (8/12/2003)

 BEGITU membaca novel terbaru Arafat Nur bertajuk Burung Terbang di Kelam Malam yang diterbitkan Bentang, November 2013 ini, kita sulit sekali untuk melepaskannya. Ternyata benar apa yang dikatakan Ni Komang Ariani, penulis perempuan asal Jakarta ini. Novel ini memiliki daya magnet yang sangat kuat, berkisah dengan tehnik yang amat memikat.
Maka wajar saja kalau novel ini banyak mendapat pujian dari sejumlah tokoh sastra, pengamat sosial, jurnalistik, akademisi, dan aktifis kemanusiaan. “Melalui novel terbarunya ini, sekali lagi Arafat Nur membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pencerita yang ulung,” kata Perwakilan Bentang, Ika Yuliana Kurniasih, melalui surat elektronik kepada Waspada.
Kata Ika, selaku editor yang menangani naskah ini, penulis dengan lincah meracik sebuah cerita yang begitu menghanyutkan, membawa pembaca merasakan derasnya arus politik dan cinta terlarang yang mengombang-ambingkan kehidupan Fais, tokoh utama dalam novel ini. Selain mengungkap lika-liku kisah cinta yang tidak biasa, gugatan terhadap kebusukan di balik politik pencitraan pun disuarakan melalui satire yang tajam dan tepat sasaran.

Kecermatan pemilihan kata yang menjadi kekuatan gaya bercerita dia, berhasil mengantarkan pembaca menelurusi relung terdalam pikiran dan perasaan Fais. “Beragam konflik yang dialami tokoh-tokohnya saling menjalin dan menjadi cerminan sebuah realitas yang lebih besar: betapa manusia akan selalu berhadapan dengan sisi gelap kemanusiaan mereka sendiri,” ujarnya.
Burung Terbang di Kelam Malam
Sejak meluncurkan novel Lampuki (Serambi, 2011) yang memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010 dan Khatulistiwa Literary Award 2011, khalayak pembaca bertanya-tanya novel bagaimanakah yang akan muncul setelah itu dari penulis yang terbilang kontraversi ini. Bahkan ada yang menduga, kualitas novel Arafat selanjutnya akan menurun, sebab Lampuki begitu menjulang untuk ukuran penulis baru yang tinggal jauh dari pusat kota besar.
Namun, justru kemunculan novel baru ini semakin mengukuhkan kemahiran Arafat bercerita dengan gaya khasnya yang masih terbilang tidak lazim di Indonesia. Terlebih lagi, novel ini beda dengan Lampuki yang hanya mampu dicerna oleh kalangan tententu. Sedangkan Burung Terbang di Kelam Malam dapat dengan baik dicerna oleh semua lapisan masyarakat dari pelajar SMA ke atas, tanpa sedikit pun mengurangi kualitas sastranya.
Kepiawaian Arafat Nur inilah yang membuat orang harus angkat topi untuknya. Sekalipun dia bercerita kisah cinta di negeri pasca perang, tetapi tidak terjebak dalam situasi menunggangi, hal yang tentu saja sulit dihindari oleh penulis kebanyakan. Terlebih istimewa lagi, bahasa novel ini begitu renyah, ringan, dan mudah dipahami dengan diksi yang sangat baik dan terjaga.
Dengan bahasa dan percikan peristiwa kecil, dia mampu membangun hal yang luar biasa besar, tanpa jeda menyeret perasaan dan rasa ingin tahu pembaca sampai pada akhir cerita. Pembaca juga akan dibuat terkejut dan tercengang, seolah-olah ini hanyalah fantasi belaka. Namun, bangunan logika yang demikian kuat menyadarkan pembaca akan pijakan kakinya di bumi. Tak jarang, novel ini kerap membuat kita termenung, sedih, dan juga tertawa.
Sejauh ini Arafat sendiri tidak banyak berkomentar kepada publik selain sedikit mengenai proses penulisan yang memakan waktu hampir setahun. “Saya mempertimbangkan kemampuan pembaca terhadap pemahaman teks-teks sastra yang berat, dan untuk ini saya harus memakluminya. Maka saya pun menggunakan bahasa dan cerita yang mudah dicerna untuk menyampaikan sesuatu yang besar dan rumit dengan cara sederhana. Tentu ini pertaruhan yang amat sulit,” ujarnya.
Burung Terbang di Kelam Malam
Maka jangan heran ketika membaca kisah yang biasa-biasa ini, tiba-tiba pembaca sudah terseret dalam suatu dunia yang penuh dengan lika-liku dan pelik. Tidak ada beban untuk memahaminya, pembaca langsung paham, dan kerap akan termenung-menung, terkadang jengkel, terkadang memang harus menahan nafas karena tegang.
Al Chaidar, Dosen Politik dan Pengamat Teroris Nasional yang juga salah seorang penulis buku Aceh Bersimbah Darah, merasakan biusan novel ini yang luar biasa, sehingga dia sulit melepaskan perhatiannya dari membaca. “Peristiwa dalam novel ini seakan menyatu dengan diri saya, dan saya tidak menyangka ada orang Aceh yang mampu menulis novel bagus semacam ini, hahaha....” katanya.
Sepengetahuan Al Chaidar bahwa Arafat Nur yang sehari-hari dikenalnya sebagai juru warta di Harian Waspada ini, sangatlah tekun membaca sejarah dan karya-karya sastra dunia. Demikianpun, dia tetap merasa terkejut dengan karya yang dihasilkan penulis muda Aceh ini, sebagaimana Lampuki yang menjadi pusat perhatian nasional, dan bahkan akan menjadi bacaan negara lain.
Selain merasa bangga, dosen politik ini juga menganggap, karya cerdas yang memukau dari buah tangan Arafat ini akan menjadi sumbangan penting dari Aceh untuk dunia. “Tapi agaknya pemerintah dan orang Aceh sendiri tidak paham, tidak begitu menaruh perhatian padanya. Bahkan banyak kabar miring, baik yang menghujat karyanya maupun pribadinya. Hal ini tak perlu diherankan lagi, semua orang besar mengalami hal buruk tidak mengenakkan semacam ini,” ucapnya.
Namun, bagaimanapun, Arafat itu seorang pejuang dibidangnya. Melalui sastra dia menyuarakan hati nuraninya, menentang ketidak-adilan, memusuhi kebodohan, dan berteriak-teriak terhadap perlakuan buruk pemerintah terhadap rakyat. Katanya, siapa yang hendak menyangkal kalau Arafat sudah melakukan itu, sebagaimana yang tercermin dalam Lampuki dan kali ini dalam Burung Terbang di Kelam Malam?
Aktifis sosial dan demokrasi Aceh di Swedia, Asnawi Ali mengakui kiprah Arafat ini dalam membela kepentingan rakyat tertindas dengan caranya sendiri. Novel Burung Terbang di Kelam Malam begitu sarat dengan makna, sindiran; mengungkap dengan baik situasi sosial serta sisi kelam politik dan cinta. “Dia adalah penulis muda Aceh yang cukup penting dan perlu diperhitungkan,” ujarnya.
Tidak hanya membahas masalah kehidupan sosial dan politik, novel ini sarat romansa hidup dan hubungan antar manusia dengan penghayatan yang luar biasa. Novel yang akan bertahan cukup lama, menjadi bahan kajian, dan akan melekat kuat dalam hati pembaca. Untuk ini kita memang haru angkat topi sekali lagi untuk Arafat Nur. (Mustafa Kamal)