Jumat, 07 Maret 2014

Saat Menulis, Saya Selalu Diliputi Dilema


Oleh: Arafat Nur
SAYA selalu saja diliputi dilema ketika memastikan bentuk sebuah novel yang hendak kugarap. Terlalu banyak pertimbangan yang saling berbenturan. Saya tetap tidak bisa mengikuti selera dan kemauanku dalam menulis teks-teks sastra, sebab saya butuh minat pembaca yang banyak. Inilah yang terus kuupayakan, membuat novel dengan selera banyak orang, tetapi tetap menjaga kualitas isinya.



Lampuki adalah novel dengan pengakuan DKJ dan KLA, mendapat banyak pujian, tetapi sedikit saja orang yang mampu mencernanya. Padahal, dalam ramuannya, saya telah berupaya melakukan penyederhanaan sebisa mungkin dalam hal penggunanaan kata dan kalimat, juga teknik penceritaannya. Inilah yang membuat heran kenapa bisa mereka tidak mampu menyerapnya dengan baik.



Dalam senggang waktu yang cukup lama setelah terbitnya Lampuki, saya berupaya membuat “rumusan” lain yang sederhana, yang lebih mudah, lebih lurus, berketeraturan, dan lugas dalam kisah yang saya tuturkan sehingga lahirlah bentuk novel Burung Terbang di Kelam Malam. Sejak awal saya menyadari buku ini tidak akan “menyaingi” Lampuki, tetapi ia memiliki sisi-sisi kelebihan lain yang tidak ada dalam Lampuki.



Bila saja novel baru ini memiliki sisi kekurangan yang seimbang dengan kelemahannya, maka bisa dianggap impas—tidak ada masalah sama sekali. Yang selalu saya tekankan dalam diri saya adalah jangan sampai saya membuat kecewa para pembaca. Saya sadar bila membuat sedikit saja kesalahan, selanjutnya saya sulit untuk memulihkan diri, sebaik dan sebagus apa pun novel yang saya hasilkan kemudian.



Dalam Burung Terbang di Kelam Malam, saya mengajak untuk memilihat secara dekat dan dengan pandangan jernih segala realitas kehidupan sesungguhnya, tanpa menambah atau mengurangi. Berusaha megetengahkan hal populer yang tidak populer. Artinya, menyanjikan sesuatu yang pop dengan cara yang tidak pop atau tidak terlalu pop. Maka, saat membaca novel ini ada yang merasa “pop”, tetapi setelahnya menjadi ragu, dan baru kemudian disadari ternyata tidak pop.



Ini adalah kesan saya sendiri yang saya perkirakan sejumlah pembaca juga merasakan hal demikian. Sejauh ini, selain dari komentar para endorser, saya belum mendengar adanya tanggapan dari pembaca. Ada dua pembaca memang yang cukup terkesan dengan gambaran kota-kota yang mengasyikkan dalam novel ini. Ada pula mereka yang amat terkesan dengan dua perempuan yang menjadi tokoh dalam novel ini.



Bila memang “komposisi” semacam Burung Terbang di Kelam Malam ini cocok dengan minat pembaca, dan dianggap memiliki kelebihan-kelebihan, di samping kekurangan-kekurangannya yang bisa diperkecil, tentu saja saya akan tetap mempertahankan gaya penulisan semacam ini untuk novel-novelku selanjutnya. Memang gaya tutur ini tidak bisa dipisahkan dari gaya penuturan dalam Lampuki, melainkan gaya ini adalah turunan-turunan yang berbeda.[]


ikuti twitternya @arafat_nur.