Senin, 24 Februari 2014

Arafat Nur Luncurkan “Burung Terbang di Kelam Malam”

Isbedy Stiawan ZS/teraslampung.com
Arafat Nur (dok)
Bandarlampung—Novelis Banda Aceh Arafat Nur kembali meluncurkan novel terbarunya,  Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014). Penulis novel Lampuki (Serambi, 2010) yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award tahun 2011 ini berharap novelnya ini pun mendapat sambutan pembaca seperti novel sebelumnya.
     Arafat Nur mengatakan, novel terbarunya ini sekarang sudah beredar di sejumlah toko buku di Jakarta dan di sekitar pulau Jawa. “Sedangkan wilayah lainnya dalam tahap penyaluran, termasuk di beberapa toko buku di Banda Aceh,” ujar Arafat saat dihubungi via telepon selular, Senin (24/02/2014).
      Menurut dia, novel ini juga sudah mulai dijual di sejumlah toko buku online dan sejumlah masyarakat sudah mulai memesannya. “Saya berharap novel ini beredar dengan lancar sehingga mudah ditemukan oleh pembaca di seluruh Indonesia,” kata Arafat Nur .
    Lebih lanjut Arafat menjelaskan, beberapa pembaca setia novelnya memang menanti dengan tak sabar. Novel barunya ini disebut-sebut menggunakan gaya cerita baru dengan selera pasar yang luas yang tidak hanya menyentuh pembaca serius, tapi juga sangat mudah dinikmati oleh kaum remaja.
     Menurut Arafat, Burung Terbang di Kelam Malam memiliki kisah yang berliku, tapi begitu mudah dicerna dan dinikmati oleh semua kalangan, termasuk oleh mereka yang tidak bisa dengan teks-teks sastra yang rumit. “Saya sengaja menyederhanakan hal yang rumit supaya bisa dicerna oleh kalangan yang lebih luas,” ujarnya.
    Novel setebal 392 halaman ini mengisahkan tentang petualangan Fais, seorang juru warta muda yang mengungkap kebusukan seorang pejabat pemerintah, dengan bumbu cinta romantis. Sehingga novel ini termasuk dalam genre sastra politik romantis yang sangat menghibur dan mencerahkan.
     Dikisahkan jika kehidupan adalah sebuah perjalanan, Fais adalah seorang petualang yang berjalan sendirian di antara riuhnya dunia. Di tengah masyarakat yang mengelu-elukan sosok Tuan Beransyah, Fais memilih jalannya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa kandidat wali kota yang dikenal alim, dermawan, dan pandai agama itu tidak lain adalah sosok yang amat munafik.
    Maka, dimulailah sebuah perjalanan dengan kejutan di setiap tikungannya. Perjalanan itu tidak saja membuat Fais menemukan kebenaran di balik politik pencitraan yang memuakkan, tetapi juga kebenaran perasaannya. Fais akhirnya sadar, pertemuan dengan perempuan-perempuan yang sempat menggetarkan hatinya justru adalah jalan yang membawanya pulang pada cinta sejatinya.
     Novel Burung Terbang di Kelam Malam mengungkap kehidupan sosial yang begitu dekat; tentang sisi gelap politik dan cinta. Hubungan cinta terlarang, perasaan tidak berdaya, takut kehilangan, dan kesedihan yang begitu kental terpadu tanpa kehilangan rasa humor. Sebuah kisah yang berliku, tetapi diceritakan dengan sangat lugas dan mengalir.
    
Kisah dalam novel ini juga menegangkan, sedih, haru, dan humoris, sebagaimana juga ciri khas dalam novelnya Lampuki (Serambi,2010) yang telah menyabet dua penghargaan bergensi tingkat nasional, yaitu pada sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (2010) dan Khatulistiwa Literary Award (2011).
     Arafat Nur berharap novel ini bisa diterima dan mendapatkan sambutan baik dari khalayak pembaca di Indonesia yang lebih luas.
“Saya pikir kita juga harus memperhatikan selera dan minat pembaca. Untuk itulah saya menuliskan novel ini, dengan harapan orang Indonesia gemar membaca dan menyukai sastra sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mencerdaskan,” kata jurnalis di salah satu media di Lhokseumawe.
     Arafat Nur lahir di Lubuk Pakam dan mulai serius mendalami bidang sastra terutama puisi dan cerita pendek sekitar tahun 1997, tapi sebelumnya sudah mulai menulis cerpen anak-anak.Dia menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Peureulak dan SLTP di Idi Rayeuk. Kelas tiga SLTP pindah ke Meureudu dan menamatkan SMA di Meureudu. Pernah jadi tenaga pengajar di Dayah Babussalam (1992-1999) dan menjadi pegawai honorer SMU Meureudu-Aceh Pidie (1994-1999). Lalu pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jurnalis.
  Arafat pernah mengikuti pertemuan sastrawan se-Sumatra yang diselenggarakan DKA/Lempa di Banda Aceh (1999). Pertemuan Sastrawan Nusantara di Ternate. Karya-karya lainnya yang pernah terbit adalahAceh Dalam Puisi (Assy-Syaamil, 2003), Mahaduka Aceh (PDS HB. Jassin, 2005), Lagu Kelu (ASA-Japan Aceh Net, 2005), serta Meutia Lon Sayang (dar! Mizan, 2005), Cinta Mahasunyi (dar! Mizan, 2005) dan Percikan Darah di Bunga (Zikrul Hakim, 2005).