Burung Terbang di Kelam Malam
Oleh: Al
Chaidar, Dosen Politik
Universitas Malikussaleh
(Dimuat Harian Serambi Indonesia, Minggu, 8/12/2013)
NOVEL Burung
Terbang di Kelam Malam (Bentang,
November 2013) karya Arafat Nur bukanlah novel biasa, bukan pula novel
picisan. Novel ini merupakan potret gambaran kehidupan politik Aceh yang
semakin hari semakin menuju ke arah fasisme. Demokrasi Aceh, dalam novel yang
ironik ini, telah dibajak oleh segelintir orang pandir dan munafik yang
menggunakan segenap kekuatan parokial untuk membungkam media tentang
kehidupannya yang bergelimang dosa dan tindakan melawan hukum lainnya.
Novel
setebal 400 halaman ini berlatar Aceh pada tahun 2005 hingga 2010 yang sarat
dengan parodi dan tragedi. Mengisahkan tentang Fais, seorang wartawan sebuah
surat kabar terkemuka, mencoba membongkar kebohongan seorang calon walikota di
wilayahnya. Tuan Beransyah, sang kandidat ini, memiliki istri-istri simpanan yang
berserakan di berbagai wilayah Aceh. Ia menantang semua orang untuk membuktikan
petualangan seksualnya yang sudah terlanjur kondang dalam masyarakat.
Dalam
upayanya menjawab tantangan tersebut, Fais menelusuri satu per satu istri-istri
atau mantan istri Tuan Beransyah itu. Usaha penelusuran ini bukanlah mudah,
melainkan sebuah kerja keras, sebuah upaya auto-ethnographic yang penuh
tantangan dan biaya serta waktu dan pengorbanan yang mengakibatkan ia
terperosok dalam lingkaran setan jaringan para istri sang Tuan. Fais akhirnya
berhasil menulis hasil penyelidikannya itu dan diterbitkan di koran tempat ia
bekerja—yang kemudian memecatnya karena dianggap sangat lancang. Ia kemudian
melarikan diri karena hendak dibunuh, dan akhirnya bersembunyi di tempat
kekasihnya yang sebelumnya telah kecewa atas kelemahannya yang tidak mampu
menolak setiap godaan wanita kesepian.
Novel
ini menarik karena mengungkapkan tentang situasi moral Aceh yang sudah rusak
dan Fais terjerembab ke dalam pelukan perempuan-perempuan yang sudah tidak
perawan lagi, sebagiannya adalah istri-istri telantar Tuan Beransyah yang
mengalami alienasi dan kesepian badaniah (carnal loneliness).
Fais
akhirnya diselamatkan oleh Safira, yang juga sudah tidak perawan lagi, yang mau
mengerti perjuangannya dalam mengungkap dunia hitam masa lalu sang pemimpin.
Fais, dalam perspektif Georg Lukacs (1963)
adalah tipe pahlawan Aceh modern yang problematik (problematic hero)
di tengah nilai-nilai problematik (problematic values) peradaban Aceh
pasca DOM (Daerah Operasi Militer) yang tidak menentu.
Pasca
DOM, banyak perempuan yang ditinggal telantar oleh tentara bagai sepah dibuang.
Perempuan-perempuan ini kemudian mencari pemuasannya sendiri dengan berbagai
cara yang mungkin untuk tetap bertahan di tengah getaran dunia yang problematik
(problematic world). Dalam
kalimat Georg Lukacs sendiri, “the modern novel had become 'the epic of
an age in which the extensive totality of life is no longer directly given’.
The novel form is therefore organised around the problematic hero in pursuit of
problematic values within a problematic world.”
Novel Arafat Nur ini adalah novel
modern dalam kesusasteraan Aceh. Kendatipun novel sebagai “sastra” atau sebagai
“seni” masih jarang dibicarakan, apalagi jika bicara tingkat kesusastraan
Indonesia, Arafat Nur menuangkan persepsi masyarakat Aceh yang masih guyub
tentang apa itu novel. Kehadiran novel Burung Terbang di Kelam Malam ini
menunjukkan peradaban Aceh yang problematis mulai menemukan media ekspresi baru
terutama jika dibandingkan dengan cerita epik lainnya: prosa dan puisi atau
hikayat.
Padahal
di abad 21 ini, novel merupakan genre kesusastraan yang bisa dibilang
sangat populer, terutama jika dilihat dari kuantitas penulis maupun pembacanya,
serta dari jumlah buku yang beredar. Hal ini barangkali disumbang oleh
menjamurnya novel-novel yang, katakanlah, merupakan novel ringan atau novel
hiburan, meskipun istilah itu pasti sangat bisa diperdebatkan. Tapi kita tak
bisa menutup mata, barangkali banyak di antara penulis novel sendiri yang tak
pernah peduli, tak pernah mempertanyakan, apa itu novel? Akan tetapi, Arafat
Nur sangat sensitif dengan wacana tentang novel yang dipahami masyarakat Aceh.
Lihatlah ketika dialog Fais bertemu
dengan Aida, istri Tuan Beransyah yang ditelantarkan di Panton:
[“Ini
tidak ada sangkut-pautnya dengan tugasku sebagai wartawan,” kataku kemudian,
“aku hanya ingin menulis novel. Maka, kukatakan tadi bahwa pekerjaanku adalah
penulis.”
“Apa
itu novel?”
Aku
baru sadar bahwa masih banyak orang yang asing terhadap benda itu. Jangankan
membaca, menyentuh pun mereka tidak mau. Semasa sekolah dahulu mereka tidak
menyukai jenis buku ini dan sangat membenci buku-buku pelajaran. Sekolah hanyalah
sebuah keterpaksaan, tempat mencurahkan harapan bahwa dengan cara demikian
kelak mereka bakal mendapat pekerjaan dan punya masa depan. Sekolah bukanlah
tempat belajar, melainkan lebih banyak digunakan untuk kesibukan bermain dan
pacaran. Itulah kenyataannya. Bahkan, sampai kuliah usai pun banyak di antara mereka
yang tidak pernah menamatkan sebuah buku! Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa
lulus dan memperoleh nilai bagus.
“Novel
itu semacam buku cerita,” kataku untuk mengingatkannya.
“Oh,
iya, aku tahu!” sambarnya. “Seperti yang dibaca anak-anak nakal itu,bukan?”
Aku
agak tersinggung, “Yang kutulis ini tidak begitu!”
“Terserah
kamu saja,” ucapnya kurang peduli. “Tapi, aku senang kalau kamu menuliskan
cerita tentang hidupku ini,” lanjutnya dengan raut muka berseri-seri.]
Kenapa
novel ditulis? Kenapa novel dibaca? (Sebagaimana orang menjalani hidup malas
bertanya apa itu hidup? Kenapa ada kehidupan?) Untuk saya, itu pertanyaan penting.
Tanpa pertanyaan-pertanyaan itu, saya barangkali kehilangan gairah untuk
menulis novel. Jika ada buku semacam ini yang ditulis oleh bukan penulis novel,
tapi pastinya ia pembaca novel yang tekun, saya bisa menyebut satu yang sangat
penting: The Theory of the Novel, karya filsuf Hungaria, Georg Lukács. Sementara
novel Arafat Nur ini menceritakan bagaimana pengalaman auto-etnografis Fais
dalam menulis novel yang ia sendiri tengah berada dalam cerita itu. Lihatlah
bagimana ketika Fais bertemu dengan orang yang sangat dicintainya, Safira, dan
menceritakan rencananya untuk menulis novel:
[“Novel?”
tanyanya aneh.
“Kenapa?”
“Kamu
menuliskan cerita yang jorok-jorok, ya?”
“Tidak
begitu,” aku menyanggah dan merasa perlu menjelaskan lebih lanjut.
“Pemahaman
kita terhadap novel memang buruk sekali. Kalau sudah bicara tentang novel,
seakan-akan yang diceritakan itu semuanya masalah jorok. Sebetulnya, tidak begitu.
Aku tidak bakal menuliskan yang cabul kalau memang tidak perlu. Kalau nantinya
memang dibutuhkan untuk mendukung kekuatan cerita, ya, aku tidak bisa menghindar.”
“Kamu
menulis kehidupan nyata, ya? Maksudku, cerita yang benar-benar nyata?”
“Boleh
juga kalau ada yang beranggapan begitu.”
“Berarti
rumit, dong!”
“Tidak
juga. Malah aku tidak suka yang rumit. Bukankah hidup ini sudah cukup rumit,
untuk apa dibuat semakin pelik lagi? Aku lebih suka menulis hal biasa saja, apa
adanya, tanpa berusaha menciptakan kesan luar biasa. Menurutku, novel itu harus
sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak sekadar menuruti selera murahan
segelintir orang.”
“Wow!”
serunya. “Kalaupun tidak terlalu mengerti, aku setuju sekali denganmu, Fais!”]
Jika selama ini novel modern dan filsafat
modern tampak seperti dua rel yang berjejeran, buku-buku semacam ini merupakan
upaya segar mempertemukan keduanya, di mana kedua tradisi saling meminjam
metode dan upaya kreatif mereka. Buku lainnya adalah Aspects of the Novel
karya E.M. Forster. Novel Arafat Nur ini
juga menggambarkan banyak keheranan orang-orang Aceh, bahkan yang sudah
terpelajar sekalipun dalam memandang aspek novel yang penuh cerita fiktif,
khayal mengkhayal dan lucah. Arafat Nur telah menempatkan dirinya sebagai
“truth teller” yang lihai dalam menyusun kata demi kata yang membentuk kalimat
yang ajaib. Lihatlah bagaimana ia menuliskannya tentang
ini:
[“Jadi,
kamu ini wartawan, begitu?”
“Betul.
Tapi, aku tidak sedang dalam urusan meliput berita, sekarang aku lebih disibukkan
menulis novel ....”
“Novel?
Wah, kamu suka mengkhayal, ya?”
Selalu
saja aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebutkan kata “novel” sehingga
aku harus memberikan keterangan tambahan dan berbagai penjelasan lain di seputarnya
yang kuketahui lewat pengalaman membaca, sama sekali bukan teori—aku tidak
paham kata rumit itu! Bukan maksudku ingin berterus terang, melainkan memang aku
tidak tahu cara berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa kuutarakan untuk
lebih meyakinkannya.
“Tidak
juga,” kataku berusaha mengubah pandangannya. Tak penting lagi benar atau
keliru. Dalam sastra yang paling penting adalah bagaimana mengutarakan alasan yang
masuk akal. “Aku menuliskan berdasarkan pengalaman nyata,” lanjutku kemudian.]
Novel
Arafat Nur ini sekali lagi membuktikan bahwa apa yang dikatakan George Orwell
(1945) dalam Animal Farm, bahwa manusia hidup melawan penindasan
totalitarianisme dan fasisme menjadi sesuatu yang niscaya. Dalam banyak hal,
dua buku itu bersinggungan satu sama
lain dan terverifikasikan di dalam novel ini dengan dunia yang problematis;
Aceh adalah dunia yang penuh dengan kesimpulan filosofis yang mendalam. Secara
antropologis, manusia hidup dan mengembangkan kebudayaan berdasarkan responnya
terhadap situasi yang ada. Jika Forster banyak bicara mengenai elemen-elemen
novel, dalam beberapa tingkat nyaris teknis, buku Orwell lebih bersifat
filosofis, terutama menyangkut novel modern.
Novel Arafat Nur menjadi cukup filosofis jika kita lihat Aceh dari
kerangka konseptual George Orwell dan EM Forster.
Di
Aceh, novel adalah barang langka. Tokoh Rohana atau Nana, dalam novel ini juga
heran melihat Fais yang bekerja menulis novel. “Aku baru tahu kalau orang Aceh
ada yang bikin novel!” (hlm. 121). Apa yang ditulis oleh Arafat Nur adalah
sebuah “politics of truth” seperti George Orwell tulis dalam Homage to
Catalonia (1938). Dalam konflik dan perang, novel yang jumlahnya lebih
sedikit dari senjata, masih juga dianggap sangat berbahaya. Lihatlah bagaimana
Arafat Nur menuliskan realitas politik kebenaran tentang hal ini:
[“Apa
itu novel?” tanyanya dengan raut wajahnya yang sangat bodoh. “Rasanya seumur
hidup aku belum pernah mendengar kata itu.”
Burung Terbang di Kelam Malam |
Sadarlah
aku kemudian bahwa terkadang benda itu sangat langka dan sulit ditemukan dalam
masyarakat di sini. Mungkin dua tahun lalu—selagi perang masih berlangsung—bila
ada orang yang menggeledahi rumah-rumah penduduk, mereka lebih mudah mendapati
beberapa pucuk senjata api daripada menemukan sebuah novel. Bahkan, banyak
orang terpelajar beranggapan bahwa novel lebih berbahaya daripada senjata.
Benda itu dianggap dapat merusak akhlak, meracuni pikiran, dan menjerumuskan
anak-anak pada perbuatan maksiat. Orang-orang cenderung mengenal novel picisan
yang lumayan banyak beredar sehingga kemudian mereka menganggap semua novel
sama saja.]
Novel
sudah menjadi media baru, atau mungkin juga senjata baru, bagi masyarakat Aceh
untuk menuliskan sejarah masalalunya; meninggalkan hikayat, prosa dan puisi
lirih yang sangat terbatas baris dan sanjak. Bagi Arafat Nur, novel bukanlah
domain khayal mengkhayal, melainkan workspace untuk melukiskan masa lalu
yang sulit ditulis oleh skripsi, thesis atau disertasi sekalipun. Banyak
tragedi Aceh yang tidak bisa ditulis dalam sebentuk buku, kecuali ada beberapa
penulis yang sudah hilang urat takutnya dalam mengungkapkan tragedi Aceh (DOM,
misalnya) di masa lalu. Novel modern adalah media baru yang tepat untuk menulis
tentang tragedi Aceh yang sangat rumit dan problematis itu.
Sejarah
adalah satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Ilmuwan
sejarah atau antropolog mau tidak mau terikat pada fakta-fakta yang pernah
terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan
tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya
sendiri. Menurut Georg Lukacs (1963:53), novel sejarah ialah novel yang membawa
masa lampau kepada kita dan membuat kita mengalami hakikat masa silam yang
sebenarnya.[]