Oleh: Musmarwan Abdullah
KETIKA cadangan gas alam yang
diperkirakan mencapai 17,1 triliyun kaki kubik yang terkandung di bawah lapik
kaki orang-orang Gampong Arun ditemukan pada Oktober 1971, sejak saat itu
Lhokseumawe mulai dikenal sebagai Kota Petrodollar.
Sebagai sebuah
kota yang gemerlap dengan kemewahan di zaman Orde Baru di mana Aceh sedang
sangsai dari kewenangan mengatur Syariah Islam-nya sendiri, wajar jika wilayah
selangkangan menjadi areal pertama yang tercerabut dari kehormatannya. Terutama
dari “penjaja” luar Aceh yang mededah semua ketabuan itu di sana.
Empat
dasawarsa sejak itu, persisnya pada tahun 2011, terbitlah Novel “Putroe Neng”
karya Ayi Jufridar, lalu diikuti Novel “Lampuki” karya Arafat Nur. Kedua novel
itu ada kaitannya dengan wilayah tabu di titik sentral selangkangan, dan
keduanya popular di tingkat nasional dan internasional.
Di gebang
2013, Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya, menerbitkan himbauan yang melarang
kaum perempuan duduk mengangkang di sepedamotor yang secara tidak langsung juga
ada kaitannya dengan wilayah terhormat kaum perempuan, di mana peraturan ini
juga dibicarakan di tingkat nasional dan ikut disentuh oleh sejumlah media
internasional.
Terus-terang,
saya tidak yakin ketiga produk sepopular itu—yang berbicara dari titik subtansi
yang sama—bisa terlahir hanya di Lhokseumawe secara kebetulan semata-mata. Saya
tidak yakin bila itu hanya demi sensasi belaka.
Sekarang
mari kita teropong ke latarbelakang untuk dapat melihat semuanya dengan pikiran
semi-ilmiah, atau mari kita coba untuk mengganti gairah perspektif kita dari
“Apa Itu” menjadi “Kenapa Begitu”. Mungkin semua itu adalah jeritan bawah sadar
yang telah terkungkung selama hampir setengah abad, di mana saat itu kita hanya
bisa menangis melihat dekadensi moral menghantam anak-anak perempuan kita,
namun kita samasekali tak punya kekuatan untuk membelanya.
Di tengah gema
yang timbul akibat benturan pro-kontra terhadap himbauan Walikota Lhokseumawe,
Suaidi Yahya yang melarang perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor,
seorang kawan saya sedikit menelikung mengambil jurus melingkar untuk menanggapi
hal itu.
Kata dia,
"Sesungguhnya kalau Syariat Islam berlaku secara kaffah di Aceh, wibawa
Islam akan lebih bersinar di tingkat global, mengingat Aceh
sangat terkenal di dunia bersebab Tsunami dan kemelut tarik-ulur perdamaian
yang melibatkan dunia internasional dalam perang Aceh-Jakarta mutakhir."
Sambung
dia, "Islam di Negara-negara Timur Tengah sudah agak gimanaaaaaaa…, gitu.
Itu disebabkan media internasional banyak sekali mengekspous perilaku tak
seronok para raja dan pangeran penguasa negeri-negeri Islam tersebut. Walau
bagaimana, mengobok-obok aib pribadi para pemimpin negeri Islam sedikit banyak
akan berpengaruh pada kewibawaan Islam itu sendiri, wallahu 'a'lam
bissawab."
Burung Terbang di Kelam Malam |
"Nah,
intinya," imbuh dia, "siapa pun yang sejak dulu hingga kini merupakan
penduduk Aceh (terlepas dari suku/bangsa apa pun), maka ianya adalah
orang-orang yang telah ditakdirkan untuk menjadi manusia-manusia "pok
tembok" di mana meski jidatnya sendiri berdarah-darah namun semua itu
adalah demi perubahan berskala Asia Tenggara."
Akhir
percakapan memang agak lucu. Katanya, "Memang—sekali lagi—memang, jika
Syariat Islam berlaku kaffah di Aceh mungkin sayalah orang yang paling
kalang-kabut di antara yang ada, karena sejauh ini gaya hidup saya agak
ugal-ugalan, nyaris tanpa aturan, semua tertelan tanpa saringan, suka korupsi
dan gemar selingkuh juga. Tapi jika nanti semua sudah sepakat untuk bersyariat
secara kaffah, ya, sudahlah. Saya akan ikuti, meski setahun-dua tahun tentu
kelimpungan. Namun mana tahu kelak justru di situlah akan saya temui hakekat
sebenarnya bahwa sesungguhnya di bawah naungan hukum Tuhan-lah hidup saya akan
menjadi damai."
"Tapi,
tunggu dulu," pungkas dia. "Sorry, apa mungkin Syariat Islam bisa
berlaku kaffah di Aceh? Soalnya dihimbau untuk tak duduk ngangkang aja orang
pada mencak-mencak."[]