Kamis, 02 Juli 2015

Tempat Paling Sunyi dan Dialog Unik Burung Terbang

Oleh: Andi Ucup 

Tempat Paling Sunyi
DIALOG. Terbangun agak malas-malasan karena suara kurir JNE menggedor pintu. "Mas Andi...," katanya dengan senyuman yang biasa ia sungging setiap menyodorkan paketnya.
     "Makasih," ujarku dari balik pintu, yang kubuka sedikit. Paket itu berpindah ke tanganku secepat kilat. Pintu kemudian kututup kembali. Paket aku lempar ke sisi rak buku, sayang lemparanku buruk, ia tergolek di lantai dan tak kupedulikan. aku lanjut tidur.
    Ketika bangun lagi agak siang, aku ambil paket buku itu. Kubuka judulnya, "Burung Terbang di Kelam Malam" karya Arafat Nur. Aku memang sengaja memesan buku ini. Penasaran dengan karya Arafat. Sebab, di buku "Tempat Paling Sunyi" aku mulai terkesan dengan pemenang Sayembara Novel DKJ 2010 ini.
     Setelah mengecek HP sebentar, aku sambar buku berwarna biru terbitan Bentang itu untuk kubawa serta ke kamar mandi.
     Membuka lembar pertama, aku sudah dihujani banyak testimoni -- mulai Joko Pinurbo hingga warga biasa di Tangerang-- sebanyak empat lembar atau tujuh halaman. Ini pertama kali aku membaca novel dengan testimoni terbanyak. Mungkin ada novel lain, tapi aku belum menemuinya.
     Aku baca testimoni Jokpin sekelebat, begitu pula yang lain. Aku tinggalkan halaman-halaman yang menurutku membual itu. Aku langsung menuju halaman pertama cerita.
    Dari awal membuka kisah, pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011 ini menulis dengan biasa. Tidak menghentak atau membuat rasa menggelitik penasaran. 
Burung Terbang di Kelam Malam
Soal lead sebuah tulisan adalah kesan masing-masing pembaca. Memang tak ada patokan bahwa tulisan bagus divonis dari awal pembukaan novel. Meski dari lead pula pembaca diajak untuk tetap setia dalam lembaran-lembaran berikutnya.
    Dan apa yang dilakukan Arafat bagiku belum selincah Mahbub Junaidi dalam novelnya "Dari Hari Ke Hari" dalam membuka ceritanya. Deskripsi yang dibuat Mahbub bisa membuatku langsung hanyut.
    Namun, aku tak soal untuk melanjutkan "Burung Terbang di Kelam Malam". Setelah halaman demi halaman kubuka, asyik juga Arafat menggoyang ceritanya.
    Cerita diawali dengan tokoh Aku - seorang wartawan- yang bertemu dengan perempuan bernama Aida, gundik seorang politisi, Tuan Beransyah. Tujuan Aku menemuinya adalah untuk menyelidiki soal gundik itu dan cerita-cerita perkenalan dengan politisi Tuan Beransyah. Sebab, ia geram dengan kepongahan Tuan Beransyah, bahwa dirinya tak memiliki gundik seperti desas-desus yang beredar. Aku menilai Beransyah sebagai politisi munafik, makanya ia berkeras diri untuk menyelidiki sendiri soal gundik itu. ia ingin melawan kecongkakan Beransyah.
   Aida digambarkan sebagai perempuan berumur 38 tahun. Berparas ayu: perawakan tubuh bagus, masih padat dan ketat Berkulit agak gelap, bersih, dan terawat. Rambut panjang tergerai. Barangkali mungkin wanita Aceh. Tinggal sendiri.
     Dan, ketika Arafat menggambarkan adegan pertemuan Aku dan Aida, ada kesan tersendiri. sebab, aida tak memakai kerudung atau jilbab untuk menemui laki-laki bukan sanak saudaranya. Ini sesuatu yang ganjil. Tapi, Aida berani dan membukakan pintu. Dari situlah kemudian dialog-dialog berjalan dan mengalir.
     Sampai aku terkesan pada dialog ini:
....
"Kamu punya pacar?"
"Aku belum bisa memastikan."
"Kenapa begitu?"
"Kami sudah berkenalan sekitar dua bulan lalu dan berkawan dekat, tapi kami tidak pernah membicarakan masalah itu. Aku tidak tahu apakah dia jatuh hati kepadaku."
"Kenapa kamu ini masih kolot sekali?"
"Aku tidak ingin buru-buru..."
"Kamu sadar, tidak, bahwa kamu itu tampan? Gadis itu pasti saja sudah terpikat. Apalagi, kalian sudah berkenalan dua bulan!"

"Hmmmm."
"Aku suka hmmm-mu itu."
"Hmmmm!"

Jangkrik, sekali dialog ini! Kaki saya sampai semutan karena baca sambil jongkok di toilet. di hening toilet, tanpa ada orang segelintir, dialog-dialog ini berubah menjadi imajinasi romantis sekali. Aih, sial, aku puasa...

Kulempar buku itu ke atas mesin cuci. bercampur dengan buku P. Swantoro, "Dari Buku ke Buku". Sialnya, aku tak bisa keluar siang itu. Lantas aku mandi...

Ah, dialog sial.