Rabu, 17 Agustus 2011

Ironi di Hari Kemerdekaan


Oleh Arafat Nur
(dimuat Harian Waspada, Kamis 18 Agustus 2011)

SADARKAH kita bahwa tidak semua orang merasakan gembira menjelang Lebaran? Pertanyaan sederhana ini agaknya berlebihan. Nemun, bila kita melihat di sekeliling kita, kenyataan itu tidak dapat disangkal. Apalagi di waktu-waktu sempit seperti ini, meningkatnya berbagai kebutuhan hidup tidak dapat ditolak. Tentu tidak menjadi soal bagi mereka yang punya banyak duit.
       Adalah Mukhtar,40, warga Gampong Aron, Kecamatan Aron, Aceh Utara yang hari-hari bekerja di sawah dan diwaktu lainnya mengolah tanah untuk bata. Dia tidak memiliki lahan, selain tanah tempat berdirinya rumah kecil berdinding tepas dengan atap rumbia. Sedangkan sepetak sawah yang dikerjakannya adalah lahan sewa milik orang lain, yang hasilnya hanya untuk mencukupi kebutuhan beras.
       Sedangkan bata yang dibuatnya tidak terlalu banyak, yang tak langsung laku karena banyak saingan. Kadang, untuk memperoleh bahan lauk-pauk dia berangkat ke laut dengan nelayan. Janganlah dibilang soal pakaian lebaran untuk istri dan tiga anaknya. “Dapat makan layak saja kami sudah syukur. Kami tidak terlalu memikirkan pakaian baju, kecuali baju murah untuk anak-anak agar hatinya tidak sedih,” ungkap Muktar kepada Waspada, Rabu (17/8).
       Sekeliling tetangga Mukhtar juga bukan orang kaya, cuma nasibnya agak sedikit lebih bagus. Sudah lima tahun lebih dia bersama istrinya tinggal di kampung tersebut setelah pindah dari Ikue Alue, Peudada, Bireuen. Masa yang dilaluinya adalah barisan masa sulit, lepas dari satu kekacauan perang ke wilayah lainnya yang tidak juga memihak padanya. Dahulu, dia adalah pedagang jajanan di depan SMA Meureudu, Pidie, kemudian menjadi pedagang es gogo keliling, dan terakhir menjadi petani.
       Realitas ini bukan sengaja hendak menunjukkan kesusahan seorang petani, bukan begitu maksudnya. Srimurni,27, misalkan, yang merupakan guru honor di SMP Palda Krueng Geukueh, Aceh Utara. Dia memiliki dua anak dengan suami yang melarikan diri setahun lalu dan tidak pernah kembali lagi, maka semua beban hidup dia tanggung dengan hanya uang honor sekitar Rp300 ribu per bulan. Uang sebesar itu bisakah menghidupi seorang perempuan dengan dua orang anak?
       Beragam perkara sedang dihadapi, dengan rumah menumpang, bagaimana bisa memikirkan baju lebaran, sedangkan untuk biaya makan saja kurang? Hal serupa juga menimpa Mahfuddin,37, tukang kebun yang pada masa perang dipukuli tentara dan sebagian miliknya dijarah gerilyawan. Banyak lagi barisan orang susah lain yang juga dialami mahasiswa, seperti Mukhlis, juga pegawai, nelayan, partikelir, dan juga wartawan.
       Meskipun umur perdamaian sudah enam tahun di Aceh dan kemerdekaan Indonesia sudah 66 tahun, makna sesungguhnya sama sekali belum terasakan secara utuh. Tentu banyak penyebab, karena negara ini dikendalikan oleh orang-orang yang picik dan sempit akalnya, suka korupsi seperti Nazaruddin cs, dan pengaruh kebijakan Luar Negeri yang merugikan Indonesia, terutama kalangan petaninya.
       Ekonomi Indonesia bagai sepenuhnya dikendalikan luar negeri dengan menjejalkan produk-produk mereka, sehingga Indonesia menjadi negara pengonsumsi segala jenis barang berupa pakaian, minuman, dan sejumlah barang apa saja lainnya, sampai-sampai kancing baju pun produk luar negeri. Sesungguhnya negara kita ini masih dalam keadaan dijajah, yang imbasnya berlipat-lipat tertimpa atas tempurung kepala rakyat jelata.
       Memahami keadaan sosial ekonomi demikian, sesungguhnya telah hadir dewa-dewa pemiskinan rakyat terhadap negara yang sedang berkembang melalui bantuan-bantuan asing yang menjerat, sebagaimana sebagian besar bantuan terhadap tsunami Aceh yang sebagian besaranya memang harus dipulangkan. “Hanya bantuan hibbah saja yang tidak dianggap hutan,” kata Pengamat Sosial Kamaruddin.
       Kemerdekaan hakiki yang kita rasakan di negara ini memang masih sangat jauh, apalagi dengan semakin banyaknya koruptor yang sulit sekali diberantas. “Cara memberantas korupsi di negara ini memang ada tiga. Kalau di Arab potong tangan, di China potong leher, sedangkan di Indonesia potong masa tahanan,” ujar Kamaruddin.
       Banyak sekali masalah dengan negara ini, sehingga penyair Taufik Ismail dalam sebuah puisinya menulis Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Begitu rendahnya martabat bangsa ini di mata dunia, sampai-sampai banyak orang Eropa tidak mengetahui ada negara yang bernama Indonesia. Bahkan sebagian besar negara Eropa masih menganggap Indonesia adalah salah satu provinsi Belanda pasca penjajahan kolonial.[]

Untuk mengetahui lebih jauh tentang info novel Lampuki, segera kunjungi http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki. Lampuki bisa didapatkan di sejumlah Gramedia dan sejumlah toko buku lainnya. Atau dipesan langsung melalui online, sebagaimana alamat di atas.