Minggu, 14 Agustus 2011

Petasan Mercun yang Usik Ketentraman

Oleh: Arafat Nur
(Dimuat di Harian Waspada, Sabtu 13/8/2011)

SEORANG ANAK hampir saja kena tempeleng di suatu malam menjelang shalat tharawih. Pasalnya, selagi seorang jamaah hendak menuju meunasah, seorang anak dengan bersembunyi di remangan pinggir jalan mencampakkan mercun yang sumbunya telah dibakar, yang kemudian meledak di bawah mesin kereta motor si jamaah. Si jamaah amat terkejut dan terlonjak, menyangka mesin keretanyalah yang meledak.

       Menyadari bahwa dia sedang dikerjai oleh anak-anak yang sengaja mengusik para pengendara motor di jalan ini, si korban langsung balik arah, menghmapiri sang pelaku dengan geram. Untuk sesaat urat lehernya tegang, memaki-maki si anak yang dengan raut wajah tanpa bersalah. Untung saja amarahnya tidak meledak, dan si korban mengurungkan niatnya hendak menampar si anak.
      Kejadian kecil ini terjadi tepat di mata Waspada, di bilangan jalan Buloh Blang Ara, Duson Ujong Tunong, Desa Paya Punteuet, Muara Dua Lhokseumawe. Waktu itu malam memang terasa remang, dan siangnya matahari amat terik, sehingga malam teramat gerah. Dalam suasana malam yang demikian rusuh, di sana-sini terdengar letusan mercun yang mengusik ketentraman warga.
      Sekalipun polisi terlah melarang benda itu, dan jarang sekali terdengar letusan di wilayah kota, mercun itu ternyata lewat juga ke kampung-kampung. Anak-anak nakal yang tiada punya kerjaan dan suka sekali mengusik orang lain, merekalah yang segaja meletuskannya untuk mengejutkan orang tua, terutama mereka yang latah, dan merasa amat senang bila si korban terkejut dan menderita.
       Di suatu sisi mercun sudah menjadi semacam tradisi bagi generasi muda di Aceh. Dulu mereka kerap menggunakan budee trieng (meriam bambu) yang memiliki bias ledakan yang lebih besar, yang suaranya rasa-rasanya dapat mengguncang kampung, hanya terdengar di beberapa kampung aman saja di masa perang dengan ketengangan pasang surut. Hanya sebagian kecil saja orang pernah benar-benar mendengar letusan meriam bambu di kehengingan malam ini.
       Generasi-generasi yang pernah menyulut lubang bambu yang menggunakan bahan baku minyak lampu dan karbit ini kini telah tua-tua. Banyak kisah menggemparkan mengenai ini. Saya terkenang masa belasan tahun manakala tinggal di Ulee Gle Pidie, seorang pemuda kurus coba membuat kebodohan dengan atraksi gilanya. Dia bermaksud hendak membikin effek ledakan lebih hebat lagi dengan menggunakan bahan bensin tampa mendengarkan nasihat dari kawannya. Tahukah apa yang terjadi selanjutnya?
       Tentu peristiwa ini, meskipun sudah dua puluh tahun berlalu, tidak mudah melupakannya. Si pelaku itu, saat menyulut untuk pertama sekali mengalami nasib nahas, meriam bambu meledak, dan binsin menyembur bersama kobaran api di sekujur tubuhnya. Sekujur tubuhnya benar-benar terbakar, tak mungkin bisa dipadamkan; bayangkanlah manusia dengan kobaran api besar berjalan-jalan kian kemari dengan berteriak-teriak ngeri!
       Untungnya dia tidak keburu pingsang dan masih bisa berpikir untuk meloncat ke sungai, sehingga tubuhnya tidak menjadi arang. Saya tidak tahu lagi orang itu sekarang, tapi saya sempat melihat kulit tubuhnya yang cacat. Entah sekarang dia masih hidup, atau telah menjadi korban keganasan senjata pada awal-awal tahun 1993, yang memang waktu itu tentara lagi ganas-ganasnya, bahkan ada satu kampung yang tidak lagi memiliki lelaki di sana.
       Letusan, sebagaimana bunyi mercun itu, di Aceh bukanlah barang langka. Sepanjang 30 tahun, sebelum tentara dan gerilyawan berjabat tangan, ledakan bom dan letusan tembakan lebih meriah, bagai suasana lebaran sepanjang tahun yang tiada habisnya. Bahkan bias dari semua itu sangat parah, lebih parah dari penyakit ayan, ketakutan terhadap hantu gentayangan, atau apa pun yang pernah ada di dunia ini. Ledakan itu meninggalkan trauma panjang yang tampa jeda bahkan sampai kini belum juga hilang.
       Anak-anak dan mereka yang tidak terlalu merasakan kegerian ini, tentu tak ada soal. Malahan mereka tidak tahu apa-apa tentang dunia dan tragedi, lalu tanpa memasang otak sengaja mengusik orang lain untuk mendapatkan kesenangan yang ganjil. Lebaran tanpa petasan mercun seakan-akan tidak meriah, sebagaimana perayaan lain yang akan dianggap semarak bila suasananya riuh dan rusuh.
       Namun percayalah bahwa Aceh tidak memerlukan lagi suara mercun atau suara gaduh apa pun yang dapat menimbulkan kerusuhan. Sebesar apa pun usaha untuk meledakkannya, lebaran di Aceh tetap tidak akan bertambah meriah, selain hanya menambah jumlah para penderita jantung! 
                                   Daparkan Novel LAMPUKI di sejumlah toko buku  Gramedia dan sejumlah toko buku lainnya di kota Anda. Kunjungi juga   http://id.serambi.co.id/Katalog/tampilbuku/495_lampuki