Rabu, 16 Mei 2012

Lampuki, Novel yang Membuatku Berpikir Negatif

Oleh: Milati
APAKAH kehadiranku di Aceh ini tidak disukai? Pertanyaan itu yang muncul ketika aku membaca novel Lampuki karya Arafat Nur. Kenapa tiba-tiba aku bertanya begitu? Karena dalam novel tersebut digambarkan bagaimana tokoh-tokohnya tidak menyukai pendatang dari Jawa. Dan aku orang Jawa, meskipun dalam sekilas pandang banyak orang yang terkecoh dan menduga aku bukan orang Jawa. Otomatis, aku berpikir bahwa kalau orang Aceh tahu aku orang Jawa, mereka tidak akan menyukai keberadaanku di antara mereka.
        Jujur, ketika membaca novel ini, aku merasa terusik, tersinggung, marah, dan entah apa lagi rasa yang mucul. Ada sedikit rasa sesal sudah membeli dan membacanya. Aku tergoda membeli novel ini karena temanku Karzel pernah memuji novel ini. Tapi ternyata aku justru kecewa membacanya dan, maaf, tidak bisa memberikan pujian.
          Novel ini menceritakan kisah yang sensitif: konflik di Aceh. Novel ini menceritakan bagaimana menderitanya rakyat di tengah 'perang' antara pejuang/pemberontak (GAM) dengan tentara (TNI). Untuk bagian ini aku tidak terlalu ambil pusing karena aku sendiri tidak tahu peristiwa 'perang' tersebut sama sekali. Aku tidak tahu ada DOM. Aku tidak tahu GAM. Aku baru tahu setelah kuliah, setelah tsunami. Itu pun tidak terlalu rinci. Aku juga tidak terlalu paham sejarah ketika Sukarno meminta bantuan kepada Daud Beureuh dan kemudian 'mengkhianati'nya. Sejarah adalah suatu yang buram, sulit diketahui kebenarannya kecuali kita bertanya kepada saksi hidup yang jujur.
          Hanya saja ketika Teungku Muhammad, sang tokoh utama dalam novel ini, bercerita bahwa penduduk Lampuki menganggap penduduk (suku) di pulau seberang sana (Jawa) adalah bangsa lamit (budak), bangsa yang lemah yang dijajah bertahun-tahun. Sungguh, aku benar-benar tidak suka ketika sudah membawa-bawa suku. Dan pastinya aku sangat tidak nyaman ketika sukuku dikatakan bangsa lamit. Belum lagi ketika ada tokoh TNI suku Jawa yang muncul dalam cerita. Teungku Muhammad menyebutnya 'si pesek'. Asli, bukan sebuah lelucon yang lucu menurutku ketika membawa-bawa fisik. Aku tak suka lelucon itu bukan karena hidungku pesek. Memang hidungku pesek, tapi tidak semua orang Jawa pesek. Buktinya mbakku mancung.
           Yang lebih membuatku tidak nyaman ketika membaca novel ini adalah bagian di mana Teungku Muhammad menceritakan bahwa penduduk Lampuki meyakini bahwa penduduk di seberang pulau sana (Jawa) sebenarnya adalah jelmaan kaum Nabi Musa yang dulu dikutuk menjadi kera. Biarpun cuma lelucon, ini sangatlah menusuk. Sangat tidak menyenangkan dikatakan sebagai Yahudi sedangkan aku adalah penentang Yahudi.
           Dalam novel ini memang bukan hanya orang Jawa yang dijadikan lelucon melainkan juga orang Aceh yang kerap dikatakan pesong. Tapi, tetap saja aku merasa tidak nyaman. Aku masih belum bisa menghilangkan 'kecurigaan' bahwa orang Aceh tidak menyukai keberadaan orang Jawa di tanah mereka. Meskipun banyak temanku yang orang Aceh dan mereka sangat baik padaku, tetap saja tulisan dalam buku ini membuatku berpikir bahwa selain teman-temanku, orang Aceh tidak menyukai kehadiranku.
        Aku jadi berpikir, apa karena mereka benci kepada tindakan TNI di masa DOM, mereka pun jadi sebegitu bencinya kepada orang Jawa? Apa benar SEMUA anggota TNI yang bertugas di tanah ini pada masa DOM dulu adalah orang Jawa? Kenapa hanya orang Jawa yang dibenci? Apakah mereka menggeneralisasi bahwa semua orang Jawa 'serakah' karena sebagian orang Jawa yang 'mengeruk' sumber daya alam di sini? Apakah mereka menggeneralisasi bahwa semua orang Jawa itu 'jahat' karena melihat sikap buruk para anggota TNI yang bersuku Jawa? Entah. Aku bingung.
        Aku sendiri tidak ingin menggeneralisasi bahwa semua orang Aceh berpikir seperti para tokoh dalam novel Lampuki ini. Yah, semoga saja tidak semua orang Aceh membenci orang Jawa. Kalau mereka tidak menyukaiku (bukan orang Jawa secara keseluruhan) karena tingkahku yang kadang 'keras', itu masih bisa diperbaiki. Tapi, kalau mereka membenciku karena aku orang Jawa, maka aku tidak bisa berbuat banyak. Aku tidak mungkin mengubah identitas sukuku. Aku sudah terlanjur cinta menjadi orang Jawa. Ah, sudahlah. Pusing memikirkannya. Aku cuma bisa berharap bisa tetap berteman dengan kawan-kawanku yang orang Aceh yang selama ini sudah akrab denganku.(lampuki/http://catatan-millati.blogspot.com/2012/04/lampuki-novel-yang-membuatku-berpikir.html)