Oleh: Rizki Affiat
SAYA
teringat novel Lampuki karya Arafat Nur yang secara satir berkisah tentang Aceh
jaman konflik di Era Reformasi. Ahmadi, si tokoh fiksi di cerita itu,
dideskripsikan sebagai kombatan berkumis dahsyat yang ideologis, tapi naïf,
bebal, dan kampungan. “Ideologi” dalam kisah ‘perang’ Ahmadi digambarkan
sebagai sesuatu yang jauh dan terpisah dari kehidupan dan penderitaan rakyat
Aceh yang acapkali menjadi korban tak bersalah dari kedua pihak yang berperang.
Novel ini menarik karena membuat kita tidak hitam putih dalam melihat konteks perang di Aceh. Tidak melakukan glorifikasi dan romantisme sejarah, melainkan melihat secara nanar dari sisi masyarakat. Novel ini melucuti kebanggaan dan kesombongan (yang seolah sama), membuat kita bercermin tentang apa sebetulnya segala argumen, alasan, dan tindakan dari sebuah gerakan perjuangan dan nyawa-nyawa manusia dalam perang.
Novel ini menarik karena membuat kita tidak hitam putih dalam melihat konteks perang di Aceh. Tidak melakukan glorifikasi dan romantisme sejarah, melainkan melihat secara nanar dari sisi masyarakat. Novel ini melucuti kebanggaan dan kesombongan (yang seolah sama), membuat kita bercermin tentang apa sebetulnya segala argumen, alasan, dan tindakan dari sebuah gerakan perjuangan dan nyawa-nyawa manusia dalam perang.
Tapi bagaimanakah kita menarik garis yang proporsional antara
ironi satir tragedi peperangan dengan glorifikasi berlebihan dari alasan perang
yang mengarah ke chauvinisme?
Membandingkan tokoh Ahmadi, yang sangat mungkin ada banyak
jumlahnya, dengan Sang Mantan Kombatan dari Pasee atau Woyla – untuk sekedar
dua contoh saja – dalam pengamatan saya yang prematur, mencipta diskontinuitas.
Begitupun ketika saya coba membandingkan literatur dan referensi tentang para
mantan kombatan yang telah berkuasa, kaya, dan dianggap melupakan masyarakat.
Ada ‘sejarah kontemporer’ yang terpinggirkan dari narasi tentang konflik Aceh:
para mantan kombatan yang setia pada alasan pertama mereka berjuang, tapi juga
tetap setia pada konsensus perdamaian karena mematuhi instruksi.
Dan
setelah semua ini, sekian tahun ini, apa yang mereka dapatkan? Atau mungkin
pertanyaan mereka bukanlah “apa yang kami dapatkan” melainkan “apa yang sudah
rakyat Aceh dapatkan?” – dan pertanyaan terakhir itulah yang terlontar dari
mulut-mulut mereka ketika saya temui.
Usai lama berbincang, beliau pun meminta agar saya menginap satu
malam di rumah sederhana milik beliau bersama istrinya. Sepertinya itu
merupakan tradisi yang lazim untuk tamu bagi masyarakat Pasee. Saya pun
mengiyakan, sementara sobat saya harus kembali ke kampungnya dan akan menjemput
saya besoknya.
Kepada sang istri, Sang Mantan Kombatan memperkenalkan saya
sebagai orang dari Jakarta. Istrinya menghampiri saya dengan daster dan jilbab
polosnya. Kami pun mengobrol-obrol saling memperkenalkan diri. Rumah pasangan
itu begitu sederhana. Hanya ada satu kursi kayu panjang, satu kipas, satu
televisi tua, dan mesin dispenser. Sang Mantan Kombatan memperlihatkan
foto-foto anaknya yang terpampang di dinding lalu mempersilahkan saya duduk di
kursi. Karena mereka duduk di lantai, saya turun dari kursi dan ikut duduk di
lantai, tapi kemudian mereka menggelar tikar tipis untuk saya.
Mereka menyambut saya dengan suka cita: karena tidak ada
persediaan air, mereka menimba air ke sumur di rumah tetangga dan menampungnya
ke beberapa ember. Setelah itu sang istri memasakkan sayur dan ikan goreng
hasil melaut sendiri. Karena kamar untuk saya tidak ada lampu dan kasur, mereka
memasang senter dan menggelar tikar serta matras tipis. Dengan ekstra kerumunan
nyamuk yang cukup ganas juga di tengah cuaca panas, sang istri memasang kipas
angin, obat nyamuk bakar dan menyediakan selimut, yang lalu saya gunakan
sebagai alas tidur.
Di kamar mandi lampu tidak menyala sehingga malam itu ember-ember
berisi air sumur diletakkan di teras rumah. Sang Istri mencuci piring dan mandi
dengan kain di teras rumah, sementara saya merapikan barang-barang saya di
kamar.
Makan malam bersama mereka dengan nasi dan suguhan lauk ikan
berkuah serta ikan goreng menurut saya sudah sangat nikmat. Sepanjang malam
saya menghabiskan waktu dengan Sang Mantan Kombatan dan istrinya,
berbincang-bincang dengan mereka dan banyak merenung. Istrinya masih cenderung
muda, namun sudah melahirkan 10 anak. Sang istri rupanya menikah pada usia 14
tahun.
Anak tertuanya sebaya usia dengan saya. Dengan kondisi seperti itu, saya
takjub membayangkan bagaimana keluarga besar ini bertahan di tengah kemelut
konflik. Rupanya, setelah beberapa saat mengobrol, si istri menaruh kepercayaan
pada saya. Beliau bahkan meminta saya menemaninya dengan menginap beberapa hari
lagi.(http://rizkiaffiat.wordpress.com/2011/08/11/semalam-di-rumah-mantan-kombatan-gam/)