(Review atas Novel “Lampuki” Karya Arafat Nur, Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2011)
Lampuki |
ADALAH Aceh, provinsi yang terletak paling ujung di bagian barat pulau seumatra memiliki sejarah panjang baik secara mandiri ataupun dengan negara Indonesia. Secara mandiri, pada masa kerajaan, sejarah telah mencatat bahwa Aceh merupakan daerah yang berperadaban tinggi.
Beberapa kerajaan di Aceh memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan diakui pada saat itu. Banyak sekali tulisan-tulisan ataupun penelitian-penelitian yang mengungkapkan bagaimana sepak-terjang kerajaan-kerajaan di Aceh. Dengan Indonesia, Aceh juga memiliki sejarah yang cukup panjang. Aceh merupakan salah satu daerah yang sulit ditaklukkan oleh penjajah Belanda. Aceh memberikan bantuan pesawat RI 1 untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Juga konon katanya Aceh memberikan sejumlah emas untuk keperluan kemerdekaan.
Perlawanan Aceh terhadap Belanda juga membantu kemerdekaan Indonesia pada saat itu. Ada beberapa tokoh Nasional, sebut saja seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Tengku Chik Di Tiro, dan lain-lain. Namun kebaikan ini semua harus ternodai dengan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat pada awal paruh kedua abad 20.
Ini terjadi karena janji yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada Aceh pada saat itu tidak ditepati. Pemerintah seakan “acuh” terhadap perjanjian yang telah dicatat sejarah. Janji yang dimaksud adalah pelaksaan Syari’at Islam di Aceh secara kaffah.
Setelah itu, selama beberapa tahun, terjadi “gesekan-gesekan” antara masyarakat Aceh yang dikenal keras dengan pemerintah Indonesia.
Di Aceh pernah diberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) yang telah memakan korban jiwa yang tidak seidkit. Sepenggal cerita tentang bagaimana pengalaman seorang Aceh ketika masa konflik hadir melalui novel Lampuki. Bagaimana ceritanya?
Lampuki adalah sebuah kampung yang terletak di bagian utara privinsi Aceh. Daerah yang menjadi bagian penting dari cerita novel ini. Dari kampung inilah awal mula cerita (dalam novel) tentang pergesekan masyarakat Aceh, gerilyawan, dan pemerintah Indonesia, tentara. Awalnya Lampuki merupakan kawasan yang aman dan damai.
Seluruh penduduknya hidup secara rukun dan saling menghormati antar sesama warga. Bahkan hal ini juga terjalin dengan tetangga kampung sebelah. Yang ingin ke sawah dapat pergi tanpa rasa was-was. Anak-anak yang sedang bermain tidak pernah pulang karena takut. Dan yang pergi mengaji pun selalu memehuni balai tempat mengaji di setiap sore menjelang magrib. Tetapi kenyataan ini harus berubah dalam waktu yang sangat cepat. Yang terjadi adalah sebaliknya. Keadaan mencekam. Warga-warga takut berbuat. Orang-orang khawatir untuk sekedar keluar rumah. Kenapa?
Aceh pernah menjadi daerah operasi moliter (DOM) pada masa pemerintaha presiden Soeharto. Salah satu misi dari DOM ini adalah membasmi pemberontak yang menamakan diri Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tentara Indonesia dikirim ke Aceh berjumlah ribuan orang. Mereka di kirim ke setiap kampung. Terutama di daerah-daerah yang dicurigai sebagai markas komplotan pemberontak GAM. Tidak terkecuali Lampuki. Inilah salah satu sebab yang mengusik kenyamanan warga kampung Lampuki. Dimana ada asap, disitu ada api.
Lampuki sendiri juga merupakan daerah yang bisa dikatakan “tertinggal”. Bagaimana tidak, anak-anak dilarang sekolah. Mereka malah disuruh untuk ikut bersama-sama berperang dengan kelompok gerilyawan. Mereka diajak bergabung. Mereka diajak untuk berjuang dan juga “balas dendam” terhadap saudara-saudara mereka yang sudah menjadi korban konflik.
Mereka para anak kecil satu per satu dipersiapkan secara matanng untuk menjadi tentara Aceh yang siap tempur. Sejak dini sudah ditanamkan kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Nilai-nilai perjuangan para pendahulu harus terus diperjuangkan. Aceh sudah terlalu sering disakiti. Aceh sudah bosan dengan janji-janji. Sekarang saatnya berjuang untuk membentuk negara Aceh.
Ada dua tokoh yang menonjol di dalam novel ini. Yang pertama adalah tengku, guru ngaji. Ia berperan sebagai orang yang menceritakan keadaan di dalam novel (selanjutny disebut Miswar). Yang kedua adalah Ahmadi, pemberontak yang berada di kampung Lampuki. Ia menjadi orang yang diceritakan di dalam novel ini. Dua orang ini hidup di dalam satu kampung, Lampuki, namun berbeda profesi. Miswar adalah sosok guru yang menjunjung nilai-nilai kedamaian dan ketenteraman.
Ia juga memiliki keyakinan bahwa dengan pendidikan orang-orang di kampungnya akan menjadi lebih baik. Sehingga ia mengecam semua orang yang mengganggu kerukunan dan ketenteraman masyarakat kampung, ia mengecam orang-orang yang melarang anak-anak untuk bersekolah apalagi diajak berperang. Karena hal itu semakin membuat rakyat semakin menderita dan sengsara. Ia tidak senang pada tentara yang dikirim dari pulang seberang, ia juga tidak simpatik kepada pemberontak yang melawan pemerintah Indonesia.
Sedangkan Ahmadi adalah sosok yang sangar, beringas, dan keras. Ia adalah pemberontak yang digambarkan di dalam novel ini. Ia bersama istrinya menyatakan akan berjuang untuk kemakmuran warganya. Ia mengajak anak-anak yang belum cukup umur untuk pergi ke hutan mengikuti pelatihan sebagai tentara. Ia memaksa para pemuda setempat untuk sama-sama berjuan dengannya. Ia mengambil “pajak nanggroe” dari setiap warga secara paksa. Tidak jarang pukulannya menghantam orang-orang yang menolak memberikan “pajan nanggroe”.
Bahkan kadang-kadang harus berurusan dengan yang namanya nyawa. Ancam-mengamcam menjadi hal yang wajar dan biasa. Keadaan semacam inilah yang kemudian mengusik ketenteraman warga. Mereka menjadi tidak nyaman. Mereka selalu dirasuki rasa was-was. Dan sialnya, mereka tidak punya daya untuk melawan. Melawan nyawa taruhannya. Belum lagi keberadaan tentera yang juga tidak jauh berbeda. Suka mengamcam, memalak, dan tidak jarang menghidupkan bedilnya. Sungguh mencekam….
Menurutku novel ini ditulis dengan penuh kejujuran. Tidak berat sebelah, tidak punya kepentingan. Semuanya digambarkan sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Aceh selama ini (pada masa konflik). Bagi teman-teman yang ingin mengetahui bagaimana keadaan di Aceh pada masa konflik, novel ini dapat dijadikan representasi untuk itu. Semua yang diceritakan di novel ini adalah the real that happened in Aceh.
Dengan bahasa yang tidak terlalu berat, penulis novel ini mengajak para pembaca untuk masuk secara emosioal ke dalam cerita ini. Kita seakan-akan mengalami hal yang tengah dialami pelaku di dalam novel. Gaya humor dan kisah cinta pun menghiasan novel ini yang membuatnya semakin menarik dan bernilai. Selamat membaca!