Minggu, 01 Juli 2012

Riwayat Para Rompak dan Nubuat Sang Raja

Arafat Nur bersama rekan-rekan saat mengunjungi TransTV di Jakarta.
Cerpen Arafat Nur

DALAM keramaian Pasar Lamrame telah beredar kabar tentang siapa-siapa yang hendak menjadi raja. Dari desas-desus itu telah muncul sosok-sosok berparas alim, cerdik, licik, dan picik dari dua golongan; Golongan Kota dan Golongan Hutan. Golongan pertama adalah orang-orang putus asa yang tersingkir, yang hendak membangun harapannya kembali dengan cara menaburkan isi dalam pundi uang, dan akan kembali menjual negaranya demi kepentingan diri sendiri. Sedangkan golongan terakhir adalah orang-orang berbangga hati yang telah menumpahkan darah berkali-kali, dan hal itu tersurat dalam tatapan serta tampang pongahnya.

Sebagaimana sejarah yang baru terjadi pertama kali, raja tidak lagi ditunjuk oleh para junta melainkan dipilih oleh rakyat jelata sendiri, demikian jua terhadap raja-raja kecil untuk memerintah sejumlah wilayah, dan sekitar empat tahun lalu rakyat telah memilih mereka dari kalangan orang-orang yang suka berkeliaran di hutan karena gencarnya buruan prajurit pulau seberang. Sebagaimana diketahui, semua itu telah berakhir dengan saling berjabatan tangan di negeri orang lantaran negeri ini terlalu sempit memberikan ruang untuk berdamai, dan raja-raja itu sebentar lagi akan mengakhiri tahtanya setelah menuai banyak hujatan.

Dari gunjingan-gunjingan di pasar kota itu aku mendengar tak ada seorang pun dari mereka yang mendukung dan memuji para calon raja yang berhasrat hendak mengendalikan negara itu, sebab dari raut rupa mereka saja sudah terlihat nafsu kejinya, serta lagak dan tingkah-lakunya yang sama dengan tindakan para rompak. Yang mengejutkanku, sejumlah orang jelata membincangkan riwayat para calon raja itu sebagai garis keturunan lanun dan rompak, sebagaimana pemahaman sebagian kecil orang tua bijak yang muak dan kerap mengutuk para raja negeri di kesepian kampung yang sunyi.

Maka aku tidak meragukan lagi isi kitab Riwayat Para Rompak milik Almaun. Aku tidak tahu dari mana lelaki tua itu menemukan sekumpulan kertas kumal yang kuperkirakan telah berusia enam ratusan tahun itu – kuketahui dari pemilik kitab yang hampir pikun itu. Aku gagal menemukan jawaban yang tepat karena ingatan lelaki itu memang sudah amat terganggu, bahkan ada yang mengatakan kalau lelaki itu sudah pesong.

“Raja kita mendatang, tetaplah keturunan rompak!” kata Almaun, dan ucapannya itu tetap mengejutkanku.

“Kenapa demikian?” tanyaku.

“Perompak-perompak terdahulu terlalu banyak melahirkan anak jadah. Hanya mereka sajalah yang unggul. Para jin telah memberkatinya!”

“Lalu agama dan Tuhan….”

“Tak usahlah kaubicarakan tentang itu segala!”

Karena memang lelaki itu sudah terlalu tua dan ingatannya mulai terganggu, sebaiknya tak usahlah terlalu kita pikirkan omongannya. Namun, kita harus merujuk pada isi kitab Riwayat Para Rompak untuk mengungkap kebenaran rahasia ini. Sejujurnya, aku belum habis benar membaca dalam waktu yang amat singkat, yang setumpukan kecil kertas kumal itu tak boleh kumiliki, sekuat apa pun tekadku membujuknya.

“Kau cukup membacanya di sini saja, sambil menemaniku mengopi!” begitulah dia berkeras.

Tak seorang pun mengetahui akan kitab ini, sebab sepengetahuan banyak orang yang pernah menjadi pejabat Sultan Tsani, kitab itu telah dimusnahkan bersama kumpulan kitab-kitab Hamzah dari Fansur, sehingga tak ada lagi yang tersisa dari kenyataan dan kebenaran pada masa silam. Kitab Hamzah dianggap menyesatkan, sedangkan kitab Riwayat Para Rompak dianggap merusak citra para raja di “tanah yang diberkati Tuhan ini”, jelas Almaun. Seorang prajurit istana yang turut dalam acara pemusnahan besar-besaran itu secara diam-diam berhasil menyelamatkan setengah dari kitab itu, yang kemudian menjadi pusaka rahasia yang diwariskan secara turun-temurun.

“Aku adalah ahliwaris ke tujuh kitab yang tak berguna itu!”

“Kalau tidak berguna, kenapa pula aku tak boleh meminjamnya?” tanyaku menyelidik.

“Apakah kau sudah gila? Mau cepat mati?”

“Tidak.”

“Kalau begitu tak usah!” potongnya cepat. “Pasti kau heran? Kau pasti bertanya kenapa aku tidak mati. Tentu saja, karena aku dianggap gila. Maka tak ada yang percaya kalau aku menyimpan kitab berbahaya ini. Bahkan jika aku menunjukkan ke muka mereka, mereka tak akan percaya. Memangnya berapa orang yang bisa baca huruf Jawi seperti ini? Lagi pula orang-orang sekarang ini bodoh semua!”

Bahkan, aku sendiri tak akan pernah tahu akan hal itu sebelum suatu hari aku bertemu lelaki tua yang menunjukkan sekerat kicil lembaran tua yang telah koyak di sana-sini, seakan-akan waktu telah ikut bersekongkol hendak menelannya secara perlahan-lahan.

Baiklah, tentu kau tak sabar lagi ingin tahu secuil isi kitab ini yang telah dibakar oleh Almaun dengan alasan yang tidak dapat diterima dengan akal sehat, memang pada kenyataannya akal lelaki tua itu agak kurang sehat. Akhir-akhir ini dia sering mengumpat dan mencaruti raja-raja di Tanah Hijau ini dengan kata-kata, “Terkutuklah raja buduk!”

Untuk tidak mengaburkan kenyataan yang ada tentang keadaan kitab ini, aku akan menjelaskan padamu, wahai Pembaca Budiman, bahwa kitab Riwayat Para Rompak ini ditulis dengan bahasa yang agak kacau, susunan kata-katanya berpola lama yang rumit dan berbelit-belit. Dari huruf-hurufnya yang tegas tetapi tidak beraturan, menunjukkan bahwa kitab ini ditulis oleh orang yang sangat berbakat pada masa itu, yang kemungkinan juga berteman dekat dengan makhluk-makhluk yang tak kasat mata. Mungkin juga isinya berdasarkan bisikan makhluk-makhluk gaib ini dari dalam rimba. Begitu batinku mengatakannya.

Kitab itu menjelaskan secara singkat bahwa raja-raja sebelumnya adalah garis keturunan anak bajang yang punya riwayat panjang dan telah terkaburkan setelah negeri ini tidak lagi mengenal perbudakan. Tanah para perompak ini tidak akan menerima raja yang bukan dari keturunan jadah, sebab dianya (raja yang bukan anak jadah) tak bakal tahan menghadapi orang-orang keras beringas dan berakal pendek.

Tak ada lagi alasan lain mengenai ini, dan karenanya pula aku amat menyesali. Namun, dalam kitab yang berhasil diselamatkan hanya dua puluh lembar itu disebutkan, para perompak berkulit hitam dan berlengan liat, telah menggagahi beberapa perempuan di pelabuhan setelah mereka merompak Bandar Lamrame, lantas menjarahi isi kedai dan rumah-rumah nelayan di pinggir laut.

Kelak, setelah mereka pergi, mereka kembali lagi untuk menguasai pelabuhan beserta kotanya yang kaya akan lada, cengkeh, dan pala. Orang-orang keturunan terkutuk dari negara Hitam yang terkutuk inilah yang duduk berkuasa setelah membunuh raja Lamrame yang lemah, yang merupakan seorang pendatang dari negeri yang tak jelas, yang dianya juga buangan dari sebuah negeri yang dikuasai raja paling busuk perangainya di negeri asal.

Waktu itu ajaran agama di Lamrame sudah dipajang dan diserukan dengan lantang oleh pendatang-pendatang dari Tanah Jazirah dan diterima dengan baik oleh raja bajak laut yang telah menguasai tanah ini, karena ternyata keyakinan itu tidak mengusik tahta kekuasaan raja, bahkan amat mendukung kekuatan pemerintahan, tanpa terlalu ikut campur dalam urusan istana yang penuh dengan hidangan tuak dan anggur. Raja juga memberikan sumbangan bagi mereka yang dengan rajin menyerukan syariat kepada rakyat untuk beribadat dan giat bekerja, serta harus patuh pada pemerintahan baru.

Setelah raja perompak memegang kendali Lamrame, tak terbilang banyaknya lahir anak jadah dari gundik-gundik yang ditiduri setiap malam, yang kelak anak-anak ini tumbuh kuat sebagaimana ayahnya. Mereka mewarisi watak keras, kasar, picik, dan agak pongah. Atas darah bangsawan dan juga perompak itulah mereka berhak menjadi raja-raja kecil, yang kelak terus diwariskan kepada anak-cucu.

Dijelaskan pula akan terjadinya bencana raya air laut yang menghantam kota dan meratakan sebagian besar bangunan di dekat pantai, serta ribuan orang akan hanyut dan mati dalam keadaan telanjang. Kemudian berdatanganlah para pencuri yang menyaru sebagai penyelamat dan mengaku hendak mengurusi mayat-mayat, yang ternyata menjarahi terlebih dulu emas dan perhiasan yang tertinggal di tubuh dan puing-puing rumah para korban.

Tak lama kemudian disusul orang-orang kafir yang membawa uang dan makanan, juga ajaran baru, yang menurut mereka keyakinan itu lebih cocok bagi penduduk negeri yang bodoh dan tungang ini. Sedangkan orang-orang tetangga, yang telah menembak banyak lelaki dan memperkosa perempuan-perempuan di kampung ini, tersenyum-senyum memandang dari kejauhan. Sesekali mereka menyeru, “Rasain bencana Tuhan!”

Begitulah yang tertulis di halaman 30 dan 32, yang membuatku sangat terperangah. Ini benar-benar aneh, apa yang tertulis dalam kitab itu memang sudah terjadi sekitar empat tahun lalu dan telah banyak orang yang melupakannya. Perihal inilah yang membuat aku yakin, bahwa kitab riwayat yang juga nubuat—yang menurut Almaun ditulis seorang ahli nujum raja perompak—adalah tidak diragukan lagi akan kebenarannya.

Tetapi, aku tak bisa lagi membaca halaman 38, 39, dan 40 sebagai lembaran terakhir, yang di situ dijelaskan siapakah yang akan memimpin negeri ini mendatang. Tulisan Arab-Melayu pada lembaran itu telah tertutup noda hitam, yang oleh Almaun dikatakan sebagai tumpahan kopi kentalnya.

“Tak usalah kau terlalu penasaran begitu,” ucapnya menggoda. “Raja kita mendatang tetaplah lanun buduk!”[]

- Aceh, 14 Oktober 2010.