Catatan Arafat Nur, dimuat di Harian Waspada.
BEBERAPA hari lalu saya
mendatangi Puskesmas Muara Dua Lhokseumawe untuk memeriksakan diri. Masalah
yang saya hadapi adalah tidak bisa tidur dan saraf dalam keadaan tegang selalu.
Perawat yang menangani saya pun bertanya apakah saya ada memakai narkoba.
Pertanyaan semacam itu
baru pertama kali saya alami. Tentunya, saya menduga, perawat itu sudah sering
menangani beberapa orang menyangkut gangguan “keresahan” yang biasanya dialami
kebanyakan pemakai narkoba. Pemakai narkoba bukan lagi rahasia umum di Aceh,
saya memaklumi.
Lantas saya menjawab,
bahwa saya tidak pernah memakai narkoba. Anehnya, perawat perempuan itu tidak
percaya. Pancaran matanya yang tajam memandangi raut wajah saya dengan sungguh-sungguh,
dan saya menemukan kesan dari wajahnya itu bahwa saya tidak menjawabnya dengan
jujur.
Lantas dua perawat lain
memeriksa tekanan darah saya. Hasilnya normal. Saya kembali ke perawat tadi dan
dia mengajukan pertanyaan serupa. “Jujur saja, kalau ada makai bilang saja
makai. Tidak perlu disembunyikan,” desaknya tajam.
“Saya tidak pernah memakai
narkoba jenis apa pun. Saya hanya perokok, itu pun tidak berat. Sebungkus rokok
bagi saya tahan dua tiga hari,” saya menjawab. Saya tahu merokok bukanlah hal
yang baik bagi kesehatan, tetapi saya sudah terlanjur kecanduan sehingga tidak
dapat meninggalkan, selain menguranginya sebisa mungkin.
Kemudian si perawat
menanyakan kenapa saya bisa jadi begini. Saya pun menjelaskan bahwa hal ini
saya alami sewaktu-waktu saja kala saya menghadapi kerjaan menulis novel. Saya
memang sedang menyelesaikan novel Zakara,
karena setelah novel Lampuki
meluncur, penerbit dan pembaca bertanya-tanya tentang novel saya selanjutnya
yang belum ada kabar apa-apa.
Untuk itu saya harus
bekerja keras dengan target Juli nanti harus sudah rampung. Tidak semua bagian
dalam novel itu bisa digarap secara menyenangkan, terlebih menghadapi bagian
akhir yang perlu banyak pertimbangan. Secara terus-terusan saya harus
memusatkan pikiran pada naskah setebal 200 halaman, melawan segala kejenuhan,
dan mengorbankan waktu kesenangan pribadi untuk pekerjaan ini.
Sewaktu selesai menulis,
pikiran saya masih terus berjalan, bahkan sampai dua jam kemudian saya tidak
akan bisa tidur. “Seperti sebuah mesin yang panas, otak saya perlu didingikan.
Setelah dingin dan tenang baru saya bisa tertidur. Tetapi, akhir-akhir ini
sulit bisa tenang,” ucap saya menjelaskan pada si perawat.
Ternyata dia tidak paham
dan terkesan masih mencurigai saya sebagai pemakai narkoba. Saya merasa kesal
juga, kenapa orang-orang lain yang memakai narkoba, malah saya ikut-ikutan kena
getahnya. Dicurigai sebagai pemakai narkoba tentu tidak nyaman, sampai-sampai
saya ingin diperiksa urin untuk membuktikan kebersihan diri saya dari benda haram
itu.
Si perawat pun menulis
resep, memberikan saya tiga butir DZP, sejenis obat penenang ataupun obat tidur
yang tidak boleh dijual secara bebas. Dulunya obat ini sering digunakan oleh
anak-anak nakal pecandu narkoba dengan meminumnya sepuluh butir (bahkan lebih)
untuk sekali minum. Saya hanya perlu meminumnya sebutir selama tiga malam, dan
akan dirujuk ke dokter spesialis bila nanti tidak ada perubahan.
Begitulah, saya sudah
berusaha keras untuk menghindari masalah seperti ini dengan keteraturan dan menghindari
benturan-benturan dengan orang lain. Bahkan, saya tidak melibatkan diri dalam
pekerjaan yang dapat mengusik pikiran dan perasaan, semacam meliput
berita-berita kasus. Untung saja, redaktur saya yang baik hati tidak memberikan
tugas semacam itu, sehingga saya amat berterimakasih padanya.
Pekerjaan yang saya tekuni
ini amat ganjil dan masih sangat langka di Aceh, sehingga si perawat tadi pun
tidak akan paham akibat-akibat psikologi yang saya alami. Dalam menulis, saya
melakukan koreksi puluhan kali dengan segala kerumitannya, sehingga musykil hal
semacam ini mampu dilakukan banyak orang. Saya bertindak begitu karena ingin
menghasilkan karya yang baik, bermutu dan dapat memberikan manfaat bagi banyak
orang.
Pengalaman yang saya
rasakan, saya tidak melakukannya dengan mengkhayal, melainkan berpikir.
Berpikir secara terus-menerus inilah yang menyebabkan saraf menjadi sangat
tegang, dan akan sangat berbahaya bila terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Namun inilah risiko yang harus saya ambil ketika saya telah memutuskan diri
untuk mengabdi pada sastra, sebagai bentuk cinta dan ibadah saya pada Allah Ta’ala,
sampai-sampai saya dicurigai sebagai pecandu narkoba.(dimuat di Harian Waspada)
Novel-Novel Arafat Nur |