Minggu, 01 Juli 2012

Tegang Saraf Pun Dicurigai Sebagai Pemakai Narkoba

Catatan Arafat Nur, dimuat di Harian Waspada.
BEBERAPA hari lalu saya mendatangi Puskesmas Muara Dua Lhokseumawe untuk memeriksakan diri. Masalah yang saya hadapi adalah tidak bisa tidur dan saraf dalam keadaan tegang selalu. Perawat yang menangani saya pun bertanya apakah saya ada memakai narkoba.
        
Pertanyaan semacam itu baru pertama kali saya alami. Tentunya, saya menduga, perawat itu sudah sering menangani beberapa orang menyangkut gangguan “keresahan” yang biasanya dialami kebanyakan pemakai narkoba. Pemakai narkoba bukan lagi rahasia umum di Aceh, saya memaklumi.
 
Lantas saya menjawab, bahwa saya tidak pernah memakai narkoba. Anehnya, perawat perempuan itu tidak percaya. Pancaran matanya yang tajam memandangi raut wajah saya dengan sungguh-sungguh, dan saya menemukan kesan dari wajahnya itu bahwa saya tidak menjawabnya dengan jujur.
 
Lantas dua perawat lain memeriksa tekanan darah saya. Hasilnya normal. Saya kembali ke perawat tadi dan dia mengajukan pertanyaan serupa. “Jujur saja, kalau ada makai bilang saja makai. Tidak perlu disembunyikan,” desaknya tajam.
 
“Saya tidak pernah memakai narkoba jenis apa pun. Saya hanya perokok, itu pun tidak berat. Sebungkus rokok bagi saya tahan dua tiga hari,” saya menjawab. Saya tahu merokok bukanlah hal yang baik bagi kesehatan, tetapi saya sudah terlanjur kecanduan sehingga tidak dapat meninggalkan, selain menguranginya sebisa mungkin.
 
Kemudian si perawat menanyakan kenapa saya bisa jadi begini. Saya pun menjelaskan bahwa hal ini saya alami sewaktu-waktu saja kala saya menghadapi kerjaan menulis novel. Saya memang sedang menyelesaikan novel Zakara, karena setelah novel Lampuki meluncur, penerbit dan pembaca bertanya-tanya tentang novel saya selanjutnya yang belum ada kabar apa-apa.
 
Untuk itu saya harus bekerja keras dengan target Juli nanti harus sudah rampung. Tidak semua bagian dalam novel itu bisa digarap secara menyenangkan, terlebih menghadapi bagian akhir yang perlu banyak pertimbangan. Secara terus-terusan saya harus memusatkan pikiran pada naskah setebal 200 halaman, melawan segala kejenuhan, dan mengorbankan waktu kesenangan pribadi untuk pekerjaan ini.
 
Sewaktu selesai menulis, pikiran saya masih terus berjalan, bahkan sampai dua jam kemudian saya tidak akan bisa tidur. “Seperti sebuah mesin yang panas, otak saya perlu didingikan. Setelah dingin dan tenang baru saya bisa tertidur. Tetapi, akhir-akhir ini sulit bisa tenang,” ucap saya menjelaskan pada si perawat.
 
Ternyata dia tidak paham dan terkesan masih mencurigai saya sebagai pemakai narkoba. Saya merasa kesal juga, kenapa orang-orang lain yang memakai narkoba, malah saya ikut-ikutan kena getahnya. Dicurigai sebagai pemakai narkoba tentu tidak nyaman, sampai-sampai saya ingin diperiksa urin untuk membuktikan kebersihan diri saya dari benda haram itu.
 
Si perawat pun menulis resep, memberikan saya tiga butir DZP, sejenis obat penenang ataupun obat tidur yang tidak boleh dijual secara bebas. Dulunya obat ini sering digunakan oleh anak-anak nakal pecandu narkoba dengan meminumnya sepuluh butir (bahkan lebih) untuk sekali minum. Saya hanya perlu meminumnya sebutir selama tiga malam, dan akan dirujuk ke dokter spesialis bila nanti tidak ada perubahan.
 
Begitulah, saya sudah berusaha keras untuk menghindari masalah seperti ini dengan keteraturan dan menghindari benturan-benturan dengan orang lain. Bahkan, saya tidak melibatkan diri dalam pekerjaan yang dapat mengusik pikiran dan perasaan, semacam meliput berita-berita kasus. Untung saja, redaktur saya yang baik hati tidak memberikan tugas semacam itu, sehingga saya amat berterimakasih padanya.
 
Pekerjaan yang saya tekuni ini amat ganjil dan masih sangat langka di Aceh, sehingga si perawat tadi pun tidak akan paham akibat-akibat psikologi yang saya alami. Dalam menulis, saya melakukan koreksi puluhan kali dengan segala kerumitannya, sehingga musykil hal semacam ini mampu dilakukan banyak orang. Saya bertindak begitu karena ingin menghasilkan karya yang baik, bermutu dan dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.
 
Pengalaman yang saya rasakan, saya tidak melakukannya dengan mengkhayal, melainkan berpikir. Berpikir secara terus-menerus inilah yang menyebabkan saraf menjadi sangat tegang, dan akan sangat berbahaya bila terjadi dalam jangka waktu yang lama. Namun inilah risiko yang harus saya ambil ketika saya telah memutuskan diri untuk mengabdi pada sastra, sebagai bentuk cinta dan ibadah saya pada Allah Ta’ala, sampai-sampai saya dicurigai sebagai pecandu narkoba.(dimuat di Harian Waspada)
Novel-Novel Arafat Nur