Oleh: Musmarwan Abdullah
Pendahuluan
“Siapa yang berani
mengejek orang Aceh?” Kalimat ini terdengar angkuh. Apalagi diajukan
dalam sebuah forum resmi seperti ini; sebuah forum yang tak terpikir
sebelumnya untuk ikut terkontaminasi dengan hal-hal picik seumpama
prasangka etnik, rasial, dan kedaerahan.
Hingga sejauh ini, baik
di pidato-pidato perseorangan, forum-forum resmi, media massa, apalagi
dalam sebuah karya monumental semisal karya sastra—puisi, cerpen dan
novel—belum ada seorang pun, atau sekelompok orang di Indonesia yang
punya kenekatan mengungkapkan sesuatu tentang Aceh melalui bahasa yang
miring, ironis, miris, dan penuh satir bahkan ejekan.
Jawa, orang Jawa dan
sejumlah seluk kebudayaannya pernah dihantam oleh gaya satir yang penuh
perendahan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetraloginya; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Ada semacam analogi yang
berkembang di tataran para pegiat sastra di Aceh pascakonflik (berakhir
2005), bahwa jika ada penulis yang berani berkarya dengan tema sarat
pelintiran terhadap Aceh, orang Aceh dan segenap sisi kebudayaan Aceh,
maka kasus Salman Rusdy—yang tak bisa lagi hidup tenang setelah
menerbitkan novel Ayat Ayat Setan yang menghina tokoh panutan Islam dan kemudian menimbulkan kemarahan tokoh spiritual Iran—akankah terulang di Indonesia?
Maka tak ada seorang
novelis pun yang berani mengambil risiko ini di Indonesia untuk
berbicara sevulgar yang mereka mau terhadap Aceh. Kendati, berdasarkan
sejumlah perbincangan pribadi penulis dengan sejumlah pesastra di luar
Aceh, mereka memendam pertanyaan dan penasaran terhadap sejumlah hal
yang bersifat jungkir-balik antara idealisme dan fakta yang berbicara di
tataran kehidupan sehari-hari. Misalnya antara keacehislaman dan ganja,
antara Aceh dan dunia kemafiaan di Jakarta serta sejumlah daerah lain
di Indoneisa, seperti di Batam, Kepulauan Riau, misalnya. Dan sejumlah
perkara lainnya yang bersifat membingungkan antara idealisme keacehan
dan yang bertentangan dengannya.
Tapi apa boleh buat. Lampuki telah melakukan itu.
Perspeksi Lampuki
Adalah suatu
ketidakikhlasan yang terjadi pada para kritikus sastra dan pengamat
serius kesusastraan, baik di tataran dunia, Indonesia, apalagi Aceh,
yaitu ketika mereka—sepertinya—tidak mampu untuk tidak mengaitkan isi
sebuah novel dengan fakta yang terjadi pada diri atau di lingkungan
pengarang novel tersebut.
Begitu juga dengan para
pengarang novel; adalah suatu kasus keterjeratan mental yang terjadi
pada mereka dari zaman ke zaman, baik di tingkat dunia, Indonesia,
apalagi Aceh, di mana mengarang sebuah novel seakan-akan adalah sebuah
proses pemindahan fakta sejarah, lingkungan atau keseharian yang terjadi
di seputar dirinya dalam suatu format prosais yang penuh dengan
deskripsi-deskripsi dan dialog-dialog.
Dua kenyataan tersebut
telah membuat dunia sastra berjalan tersaruk-saruk hingga tidak mampu
melesat menuju ke suatu format sastrawi paling mutakhir yang akan
mengubah cara pandang kita terhadap dunia dan kehidupan dengan sistem
persepektif yang baru dan mencerahkan.
Agaknya perkembangan
sastra abad XVIII di Eropa mampu berjalan seiring menyaingi lesatan
kemajuan sebagaimana yang terjadi di dunia tekhnologi informasi,
elektronik, permesinan, kedokteran dan lain sebagainya. Tapi sekarang
sastra jauh tertinggal dari kemajuan dunia di bidang lainnya.
Di perlombaan-perlombaan
sastra dunia selama ini yang ada hanya kemenangan-kemenangan. Namun tak
ada satu pun dari hasil kemenangan itu yang mampu mengeksplorasi tatanan
dunia dari zaman ke zaman dan dari berbagai kebudayaan yang telah ada
hingga tatanan dunia baru saat ini ke dalam suatu cara pandang yang
diperbaharui.
Namun sedikit banyak Lampuki
telah mulai melakukannya. Contohnya, jika ada pertanyaan, apa pendapat
Anda tentang perang? Maka jawabannya adalah, tanyakan pendapat itu pada
seorang teungku yang kesehariannya sebagai seorang tukang bangunan
upahan dan malam-malamnya diisi dengan aktivitas mengajar mengaji pada
anak-anak bengal di lingkungannya. Jika pun Anda ingin mendapatkan
sebuah jawaban yang sangat persis terhadap, “Apa pendapat Anda tentang
perang?” mungkin jawabannya sangat sederhana, yakni, “Perang adalah
sejumlah tumpuk tahi ayam di atas balai-balai kayu tempat anak-anak
nakal diajari mengenal Tuhan.”
Penyederhanaan definisi
perang yang seperti itu tak pernah dimiliki oleh pemikiran-pemikiran
sastrawi mana pun di dunia ini. Begitu juga ketika kita bertanya, “Apa
itu serdadu?” Maka Lampuki
menjawab, “Serdadu adalah sekelompok komunitas manusia kera yang telah
diajari memegang senjata.” Maka jangan pernah mau menjadi serdadu jika
Anda yakin bahwa Anda bukan manusia keturunan kera.
Thesis seperti itu, dalam
perjalanannya kelak, akan mempengaruhi suatu tatanilai atau perspektif
baru bagi dunia untuk memperbaharui cara pandang kita, betapa untuk
sebuah persaingan, dalam hal apapun, kekerasan bukan lagi penentu
kalah-menang.
Satir Lampuki
Bagaimana
mempersandingkan tingkat kemajuan di bidang hal-hal yang bersifat
material seumpama dunia tekhnologi dengan sastra yang pada hakekatnya
adalah dunia absurd, di mana efek dan eksistensinya hanya dapat diraba
melalui pikiran, perasaan, dan kesan.
Dan ternyata bisa.
Seorang anak yang belum mampu mengucapkan kata panas atau terbakar,
hanya mampu bergidik dan menunjukkan tanda-tanda fisik yang bermakna
kengerian apabila berhadapan langsung dengan api. Fisiknya belum bisa
memberi reaksi serupa apabila efek api disampaikan dalam wujud
perlambangan bahasa. Ini menunjukkan betapa sebuah benda baru berarti
sesuatu bilamana dibahasakan.
Tekhnologi tinggi seperti
sekarang ini hanya mampu dicapai ketika kata sudah mampu
memperlambangkan segala kerumitan yang ada pada dinamika dunia
kemateriaan. Bangsa yang tidak kreatif tidak memiliki banyak kosa kata
dalam budaya tutur keseharian mereka. Dengan demikian, kemajuan di
segala bidang berangkat dari kemajuan berbahasa.
Bahkan sesuatu yang tidak
bisa kita lihat, apalagi diraba, namun ketika bahasa merangkai suatu
pencitraan terhadapnya maka mahamisteri itu pun menjadi begitu ada dan
bahkan lebih adanya dibandingkan wujud-wujud benda di sekeliling kita.
Itulah—melalui thesis sifat-20 atau diagram pembahasaan lainnya—subtansi
ilahiah menjadi begitu mewujud bahkan di kedalaman sanubari terjauh
para pengaku atheis sekalipun.
Persoalan Aceh dan
Jakarta yang demikian rumit dalam tatanan keindonesiaan bahkan
menelantarkan waktu nyaris setengah abad untuk menemukan titik terang
dan penyelesaian, ternyata di dalam Lampuki
wujud kemusykilan itu menjadi begitu sederhana; dan sekiranya dari dulu
kita mendalami hakekat itu mungkin tak perlu ada yang namanya
permusuhan Aceh-Jakarta, apalagi semua itu harus ditandai dengan
keyatiman-keyatiman yang tak terperi di kedua belah pihak dan kesedihan
panjang yang senantiasa menggerayangi sekat tipis dendam.
Apa perspektif Lampuki
dalam konteks permusuhan antardua kepentingan yang saling berseberangan
hingga mesti ada yang namanya Tahun Tahun Pembantaian segala?
Jawabannya sederhana. Di satu pihak, orang terlalu yakin dan nyaris
memaksa seluruh standar pengakuan dunia bahwa dia terlalu tampan dengan
format hidungnya yang samasekali tidak mancung itu. Sementara di lain
pihak, orang terlalu meletakkan segala pertaruhan eksistensi dirinya
pada sekecai kumis yang tebal.
Birama dan Narasi Lampuki
Lampuki
adalah sebuah novel; secara umum disebut karya sastra. Kesusastraan
sebagai bagian dari produk seni, bertujuan utama menghibur. Efek utama
yang timbul dari sebuah aktivitas penghiburan adalah rasa bahagia.
Kebahagiaan, yang dalam arti kata lebih dari hanya sekedar rasa senang
ketika membaca sebuah karya sastra, bisa ditimbulkan oleh sejumlah
sebab, di antaranya:
1. teks mampu menimbulkan
langgam birama yang berstruktur berdasarkan budaya berbahasa para
pembaca. Ini dapat kita lihat dalam sistem bahasa berpantun di tengah
penutur Melayu; walau dari sisi rangkaian teks tidak bermakna sesuatu,
namun tetap menyenangkan untuk diucapkan sebagai bagian dari pemberian
jatah bagi ekspresi jiwa manusia yang pada dasarnya adalah makhluk
besuara dan berbahasa.
2. Setiap kalimat mampu
mencerminkan watak bernarasi orang pada umumnya. Kita ambil contoh,
betapa orang setengah memaksa diri membaca sebuah artikel ilmiah;
semata-mata karena mereka membutuhkan apa yang ada dalam artikel
tersebut; dan setelah itu mereka puas karena sudah mendapatkan sesuatu
yang sebelumnya tidak diketahui.
Namun, jujur atau tidak
kita harus mengakui bahwa jiwa kita baru saja didera dan kita merasa
sangat lelah karena sistem penyampaian dalam artikel, karya ilmiah,
reportoar dan bentuk penulisan dalam berbagai karya nonsastra lainnya
tidak mencerminkan watak bernarasi pembaca.
Kita ingat ketika Umar
bin Khataab As tersentak kaget tatkala suatu malam mendengar adik
perempuannya membaca Alquran. Dia mengerti pada semua yang dibaca
adiknya karena memang itu ditulis dalam bahasa tutur mereka, namun yang
membuat dia tersentak, kenapa serangkaian kalimat tersebut memiliki
suatu sistem pembahasaan yang sangat beda dengan bahasa yang telah
mereka gunakan berabad-abad.
Dengan demikian kita
tarik suatu kesimpulan, tidak ada titik terminasi dalam berbahasa
kendati kosa kata masih yang itu-itu juga. Selalu ada ruang kosong untuk
diisi dengan kreativitas terbaru demi mengeksplorasi segala wujud ide
yang sebelumnya hanya terbenam di wilayah terdalam kecerdasan manusia
yang tidak terungkapkan lantaran belum menemui rangkaian pembahasaan
untuk mengekspresikannya.
Kita teringat pada
Galileo Galilei yang membumikan ilmu pengetahuan hasil penelitiannya
tentang angkasa luar dengan bahasa narasi, bercerita dan berdialog; dan
betapa setelah itu berpikir ilmiah menjadi langgam berpikir masyarakat
setempat kendati sang individu hanya seorang petani yang nyaris saban
waktu berada di tanah perladangannya.
Begitu juga beragam teori
filsafat yang umumnya berbasis kerumitan yang tak mungkin dicerna oleh
masyarakat awam, namun ketika Jostein Gaarder mengkreativitaskan
pemikiran-pemikiran rumit itu dalam Dunia Sophie, sebuah novel Norwegia,
maka teori filsafat yang pada mulanya hanya menjadi bahan kajian di
tataran akademik, sudah mampu dicerna oleh remaja sekolah menengah dan
orang-orang dengan tingkat pendidikan biasa.
Langgam birama yang terstruktur dan watak bernarasi tersebut sangat kental dimiliki Lampuki.
Keutuhan Sastrawi Lampuki
Karya sastra yang tidak
mengambil jarak pencinptaan dengan pribadi dan lingkungan pengarang akan
cendrung menimbulkan tiga kesan berbeda pada tiga komunitas pembaca.
1. Pembaca
yang mengenal persis pengarang atau latar-belakang setting cerita
cendrung mengapresiasi karya tersebut dengan sikap mental sebagai
seorang pembaca berita;
2. Pembaca
di luar lingkungan itu, atau yang mengenal latar-belakang setting
cerita hanya dari berita, baik berita tertulis (koran) atau audio
(radio) dan audio visual (televisi), akan mencerap isi karya tersebut
secara lebih utuh sebagai buah sastrawi;
3. Sedangkan
pembaca asing yang samasekali tidak mengenal latar-belakang serta
kebudayaan setting cerita akan sepenuhnya mampu mencerap karya tersebut
sebagai sebuah karya sastra yang utuh dan total.
Pembaca Lampuki
dari Lokseumawe atau Aceh pada umumnya akan mengesani Teungku
Pengajian, Ahmadi, serdadu dari pulau seberang dan—yang
terpenting—perangai dan watak kolektif warga Kampung Selangkangan,
sebagai sebuah cermin yang memperlihatkan kepada mereka akan kerumitan
wujud diri sendiri yang sebelumnya tenggelam di bawah tindihan kejumudan
perihal utama sehari-hari hingga jarang menjadi buah pikiran untuk
diinsafi, disadari atau untuk diketahui.
Subtansi Lampuki
bagi orang Lhokseumawe dan Aceh adalah sebagai pengabar yang sehabis
melakukan liputan di wilayah diri sendiri orang-orang Aceh, lalu
menuliskan dalam wujud berita, bahwa inilah Anda dan yang terjadi pada
diri Anda waktu itu, dan bahkan kini, malah bukan tidak mungkin hingga
nanti, atau inilah kita yang sesungguhnya.
Sedangkan bagi pembaca di luar lingkungan dan asing akan mampu mencerap Lampuki
sebagai sebuah karya sastra yang utuh dan berdiri-sendiri. Misalnya,
tanpa harus menyebut Aceh, Jawi, Jawa, seberang pulau, Jepang, Belanda,
Hasan Tiro, pembaca juga mampu menikmati Lampuki
sebagai sebuah jalinan yang kusut-masai antara si arogan yang tidak
tampan, si tampan yang menjengkelkan, dan sebuah komunitas kecil yang
kerukunannya justru terbentuk berkat pengedepanan sinisme, kedengkian,
iri dan saling membenci serta konflik politik dan peperangan yang begitu
mengerikan namun begitu bersahaja dalam deskripsi seorang guru mengaji.
Dalam konteks keacehan dan keindonesiaan, jika Anda bertanya, apa itu Lampuki?
Jawab: Lampuki adalah deskripsi sastrawi tentang struktur roman muka
kita yang tak mungkin kita terima dengan senang hati, namun sanubari
memaksa kita untuk menerima fakta yang ada bahwa kita sesungguhnya tak
lebih sebagai salah satu bagian dari sebuah komunitas “sakit” dengan
kerukunan antarsesama yang dibentuk justru berdasarkan kemesuman,
dengki, dan kebencian. Lampuki, memang unik!■
*Musmarwan
Abdullah adalah cerpenis, jurnalis, dan pengamat sastra yang tinggal di
Sigli, Pidie. Dia merupakan pembaca "maniak" karya klasik Eropa dan
karya-karya sastra modern dunia.